Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sendiri dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi pemiliknya. Besaran pajak ditentukan dari tarif 0,5 persen dikalikan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).
Jakarta | Gelombang protes besar-besaran terhadap kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tengah melanda sejumlah daerah di Indonesia. Kenaikan yang dinilai terlalu tinggi, bahkan ada yang mencapai 1.000 persen, membuat warga geram dan turun ke jalan. Kebijakan ini dianggap memberatkan masyarakat, apalagi dilakukan tanpa sosialisasi memadai.
Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ribuan warga dari Aliansi Masyarakat Pati Bersatu menggelar aksi di Alun-alun Kabupaten Pati, Rabu, 13 Agustus 2025. Mereka memprotes kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen yang sempat diberlakukan Bupati Sudewo.
Meski kebijakan itu sudah dibatalkan, kekecewaan warga tak surut. Tuntutan mereka meluas ke isu lain seperti aturan lima hari sekolah, regrouping sekolah yang membuat guru honorer kehilangan pekerjaan, hingga PHK ratusan karyawan RSUD RAA Soewondo.
Aksi ini berujung ricuh, 34 orang luka-luka dan 11 orang ditangkap polisi sebagai terduga provokator. DPRD Pati bahkan membentuk Pansus Hak Angket untuk menyelidiki kebijakan tersebut. Bupati Sudewo menegaskan tidak akan mundur.
“Hak angket itu kan memang salah satu yang dimiliki DPRD, jadi saya menghormati hak itu,” ujarnya.
Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, juga bergejolak. Mahasiswa yang tergabung dalam PMII dan HMI melakukan aksi di DPRD Bone pada Selasa, 12 Agustus 2025, memprotes kenaikan PBB-P2 hingga 300 persen.
“Kalau alasannya penyesuaian NJOP kenapa tidak dilakukan sosialisasi? Belum tentu tanah yang menjadi zonasi orang kaya yang punya, bisa saja orang kurang mampu,” tegas Ketua Cabang PMII Bone, Zulkifli. Kepala Bapenda Bone, Muh Angkasa, mengklaim sudah melakukan sosialisasi namun mengaku belum masif. Pemkab berdalih kenaikan akibat penyesuaian Zona Nilai Tanah (ZNT) yang 14 tahun tak diperbarui.
Di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, kenaikan PBB-P2 bahkan mencapai 1.202 persen. Heri Dwi Cahyono terkejut saat tagihan pajaknya melonjak 12 kali lipat dibanding tahun lalu. Warga lain, Joko Fattah Rochim, membayar pajak dengan koin pecahan Rp200, Rp500, dan Rp1.000 yang dikumpulkan anaknya sejak SMP sebagai bentuk protes atas kenaikan 370 persen. Kepala Bapenda Jombang, Hartono, menyebut lonjakan terjadi akibat pembaruan data NJOP 2023 dan mempersilakan warga mengajukan keberatan. Tahun ini saja, 5.000 warga sudah mengajukan keringanan.
Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, juga tak luput dari masalah. Tukimah (69), warga Ambarawa, kaget saat tagihan PBB naik dari Rp161 ribu menjadi Rp872 ribu (441 persen). Keponakannya, Andri Setiawan, mempertanyakan dasar kenaikan yang diduga karena rumahnya dekat jalan utama dan perumahan. Kepala BKUD Rudibdo menjelaskan kenaikan PBB dilakukan setelah penilaian terbatas pada tanah di ruas jalan strategis sesuai ZNT BPN, namun warga tetap bisa mengajukan keberatan.
Di Kota Cirebon, Jawa Barat, warga terperanjat saat PBB melonjak hingga 1.000 persen. Darma Suryapranata harus membayar Rp65 juta dari sebelumnya Rp6,2 juta. Paguyuban Pelangi Cirebon dan Paguyuban Masyarakat Cirebon (PAMACI) mendesak pemerintah kota mengembalikan tarif seperti 2023.
“Kalau di Pati bisa membatalkan kenaikan 250 persen, kenapa di Cirebon tidak?” tanya Hetta Mahendrati. Wali Kota Effendi Edo mengaku sedang mengkaji ulang Perda Nomor 1 Tahun 2024 agar tidak memberatkan warga.
Sementara itu, kabar kenaikan PBB di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dibantah Pemkab dan DPRD setempat. Pj Sekda Guntur Priambodo memastikan tarif tetap sama seperti sebelumnya. Kepala Bapenda Samsudin menegaskan penghitungan multitarif masih digunakan dan tidak ada perubahan dari tahun sebelumnya.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sendiri dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi pemiliknya. Besaran pajak ditentukan dari tarif 0,5 persen dikalikan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tiap wilayah.
Gelombang protes ini menunjukkan keresahan publik yang luas, di tengah tekanan ekonomi pasca-pandemi. Warga di berbagai daerah menuntut keadilan dan kebijakan yang berpihak pada masyarakat.(*)
Sumber (*/melihatindonesia)