Gereja yang tampak agung berdiri di lereng Gunung Lawu itu menaungi sekitar 1.400 umat Katolik yang hidup di tengah kemajemukan. Perlu diketahui, mayoritas penduduk Kabupaten Magetan beragama Islam, sekitar 98,99% atau 685.786 jiwa.
Magetan | Pengalaman berharga bagi redaksi Portal Berita Garda Indonesia dapat mengikuti Misa Ekaristi pada Minggu, 28 September 2025 di Gereja Katolik Paroki Regina Pacis Magetan, Jawa Timur.
Gereja yang tampak agung berdiri di lereng Gunung Lawu itu menaungi sekitar 1.400 umat Katolik yang hidup di tengah kemajemukan. Perlu diketahui, mayoritas penduduk Kabupaten Magetan beragama Islam, sekitar 98,99% atau 685.786 jiwa, berdasarkan data semester 2 tahun 2024. Selain itu, terdapat juga pemeluk agama lain, yaitu Kristen dengan 4.994 jiwa, Katolik 1.400 jiwa, Buddha 515 jiwa, dan Hindu 88 jiwa. Sementara, jumlah penduduk Magetan, pada semester 1 tahun 2025 adalah 694.657 jiwa, terdiri dari 341.088 jiwa laki-laki dan 353.569 jiwa perempuan (data Dispendukcapil Magetan).
Menyusuri setiap lekuk Kota Magetan yang tampak asri dan bersih sembari mendengarkan riak deras air di selokan yang memberikan kehidupan bagi para petani yang sementara menanam jagung dan tebu (Magetan menjadi salah penyumbang surplus komoditi jagung dan tebu untuk Jawa Timur).
Dua malam melepas lelah di lokasi penyamakan kulit terbesar di Jawa Timur itu, belumlah cukup hingga dapat menyusuri setiap lekuk lingkungan industri kulit (LIK) termasuk lingkungan industri kecil yang bergelut di bidang industri pengolahan kulit hingga diversifikasi produk turunannya.
“Adakah orang yang tak bisa makan di sekitar kita?”, pertanyaan reflektif ini dilontarkan Romo Hersemedi, CM dalam Misa Ekaristi di Gereja Katolik Paroki Regina Pacis Magetan, Jawa Timur, pada Minggu, 28 September 2025.
Romo Hersemedi dalam renungan refleksi menekankan kepada umat tentang kehidupan Katolik yang seharusnya peduli kepada kehidupan sesama di sekitarnya.
Ia merefleksikan kehidupan seseorang yang tidak melakukan kejahatan fisik, namun melakukan dosa kelalaian, dosa tidak peduli, hidup untuk diri sendiri, menikmati segala sesuatu untuk diri sendiri, dan mengabaikan orang-orang di sekitarnya. Umat Katolik yang bernaung di dalam Gereja Katolik Paroki Regina Pacis Magetan yang terletak di kaki Gunung Lalwu itu pun khidmat mendengar dan merenungkan renungan refleksi.
“Ini merupakan cerminan tajam untuk kita hari ini. Kita mungkin kita tidak memiliki tempat tidur dari gading, namun terkadang kita sibuk dengan pekerjaan dan tidak peduli dengan keadaan sekitar,” tekan Romo Hersemedi sembari melecutkan ilustrasi di Flores punya gading, namun tak memiliki gajah.
Romo Hersemedi yang resmi menjadi pastor kepala Paroki Regina Pacis Magetan sejak 21 Juli 2025 ini mengisahkan kehidupan Santo Vicensius, seorang Imam ambisius karena di masanya menjadi Imam adalah lompatan, namun pengalaman bersama orang miskin mengubah sikapnya terhadap orang-orang susah di sekitarnya. Ia mendedikasikan hidupnya untuk membantu orang miskin dan orang-orang terlantar lalu membentuk kelompok dan perkumpulan kongregasi
Vincentius a Paulo (Vincensius a Paulo; 24 April 1581 – 27 September 1660) adalah seorang kudus (santo) dan tokoh pembaru Gereja Katolik Prancis. Vincentius juga disebut “Bapak orang miskin” karena cinta dan pelayanannya kepada orang miskin. Oleh Paus Leo XIII, Paus pencetus Ajaran Sosial Gereja, Vincentius dideklarasikan sebagai santo pelindung (patron saint) karya amal cinta kasih Gereja Katolik (bersama Santa Luisa de Marillac pada waktu Paus Yohanes XXIII dalam suratnya Omnibus Mater).
Sejarah Gereja Katolik Paroki Regina Pacis Magetan
Umat Katolik di Magetan, Jawa Timur pada kisaran tahun 1938, waktu itu belum ada pastoran, apalagi gereja. Pastor dapat beristirahat malam di rumah keluarga-keluarga Katolik.

Dilansir dari keuskupansurabaya.org, tempat ibadatnya menggunakan rumah keluarga dan berpindah pindah bahkan menggunakan ruang sidang Kantor Pengadilan Negeri pada tahun. Lalu pada 1940 tempat ibadah pindah ke rumah yang disewa di Jalan Jaksa Agung Suprapto No.1 (lokasi kapel yang sekarang dan sekaligus gereja stasi sekaligus gereja paroki yang pertama).
Tahun 1942 Saat Perang Dunia II berkobar, pelayanan di Stasi Magetan sempat mengalami kevakuman karena pada saat itu banyak Imam-imam yang di tahan oleh pemerintah Jepang. Saat itu, tempat ibadat pindah ke rumah di Jalan A. Yani (Grogol) karena gereja stasi digunakan menyimpan benda-benda suci dan berharga dari Gereja Madiun. Setelah Perang Dunia II berakhir kegiatan gerejani dimulai kembali di rumah Jalan Jaksa Agung Suprapto.
Pada era revolusi fisik (1945—1959), Indonesia dilanda semangat anti-Belanda dan nasionalisasi segala yang berkaitan dengan Belanda. Akibatnya, pada tahun 1949 didatangkan lah seorang Pastor Pribumi yaitu Pastor Ig. Dwidjosoesastro,CM untuk menggantikan Pastor J.M.van Goethem,CM.
Beberapa pastor yang pernah bertugas di Stasi Magetan (meskipun tidak menetap) pada masa itu adalah RP. H. Niesen, CM, RP. W. Jansen, CM, RD. A. J. Dibjokarjono, RP. Van der Borght, CM, RP. A. J. Wignjopranata, CM, RP. N. P. J. Boonekamp, CM, RP. Abele Brunetti, CM, RP. J. Bartels, CM, RD. H. Windrich.
Pada 1 Januari 1972, Gereja Stasi Magetan diangkat menjadi paroki seiring dengan mulai menetapnya RP. Eugenio Bellini, CM di Magetan. Dengan demikian, Stasi Magetan menjadi Paroki St. Petrus dan Paulus. Paroki ini membawahi beberapa stasi, di antaranya:
• Stasi St. Vincentius Parang yang dirintis sejak tahun 1963oleh Bapak Santoso, Bapak Heribertus Tojib, Bapak Agustinus Soebani, Bapak Stefanus Roestamadji (ketua stasi yang pertama), dan lain-lain.
• Stasi St. Yusuf Plaosan dan Kwarigan yang dirintis sejak 1967 oleh RP. Abele Brunetti, CM, Bapak Wardijo, Bapak Suyitno, Bapak Petrus Suranto, Bapak, J. E. Sumarjadi, dan lain-lain.
• Stasi St. Yosef Karangrejo yang dirintis sejak 1967 oleh RP. Carlo del Gobbo, CM, RP. Abele Brunetti, CM, Bapak Y.G.V. Soeprapto, Bapak Pudjo Susanto, dan lain-lain. Awalnya stasi ini bernama Stasi St.Petrus tetapi untuk membedakan dari pelindung gereja paroki, maka diubah menjadi St. Yosef dan sekaligus disamakan dengan pelindung SMPK.
• Stasi Maospati (pada 1996 mengambil nama pelindung St. Petrus dan Paulus) yang dirintis sejak 1968 oleh Bapak Christianus Soentoro, Bapak Bernardus, Ibu Aloysia, dan lain-lain.
• Stasi St. Maria Goranggareng yang dirintis sejak 1978 oleh Bapak Miranto, Bapak Petrus Sastro Gimun, dan para calon katekis dari STKIP Widya Yuwana Madiun.
• Stasi Kerik yang dirintis sejak 1980 oleh RP. Filipo Catini, CM, Bapak Y.F.X. Soehartono, dan para calon katekis dari STKIP Widya Yuwana.
Selain enam stasi tersebut, Paroki St. Petrus dan Paulus Magetan juga mempunyai beberapa lingkungan, di antaranya adalah Lingkungan St. Thomas (Selatan), Lingkungan St. Antonius (Timur), Lingkungan St. Stefanus (Utara), Lingkungan St. Vincentius (Barat).
Pada tahun 1995, RP. Sebastiano Fornasari, CM membangun gereja baru di Jalan Panekan. Bersamaan dengan itu pula, nama paroki juga berganti menjadi Paroki Regina Pacis Magetan (atas usulan RP. Filipi Catini, CM dan disetujui oleh Mgr. J. Hadiwikarta) hingga sekarang.
Penulis (+roni banase/ragam)