MK Resmi Larang Menteri, Wamen dan Komisaris BUMN Rangkap Jabatan

Loading

Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih menilai, dalil pemohon soal larangan rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris BUMN sejalan dengan norma UU BUMN.

 

Jakarta | Mahkamah Konstitusi (MK) resmi melarang wakil menteri (wamen) merangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara maupun swasta. Putusan ini tertuang dalam perkara Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh advokat Viktor Santoso Tandiasa bersama seorang driver online bernama Didi Supandi.

“Amar putusan: 1. Mengabulkan permohonan pemohon I untuk sebagian,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 28 Agustus 2025.

MK menyatakan Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:

a. Pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan,

b. Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta, atau

c. Pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih menilai, dalil pemohon soal larangan rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris BUMN sejalan dengan norma UU BUMN. “Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah menegaskan dalam amar Putusan a quo mengenai larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri termasuk sebagai komisaris, sebagaimana halnya menteri agar fokus pada penanganan urusan kementerian,” ucap Enny.

Enny menambahkan, jabatan komisaris pun memerlukan konsentrasi waktu tersendiri. MK pun mengungkap bahwa praktik rangkap jabatan wakil menteri masih terjadi, bahkan tercatat ada sekitar 30 wamen yang juga menjabat sebagai komisaris BUMN.

Meski demikian, MK memberikan tenggang waktu (grace period) paling lama 2 tahun bagi pemerintah untuk menyesuaikan ketentuan larangan ini. “Mahkamah mempertimbangkan diperlukan masa penyesuaian dimaksud paling lama dua tahun sejak putusan a quo diucapkan,” kata Enny.

Selain itu, MK memerintahkan agar fasilitas wakil menteri sebagai pejabat negara dipenuhi secara proporsional sesuai jabatannya, untuk mencegah alasan rangkap jabatan demi menambah fasilitas.

Putusan ini tidak bulat. Dua hakim konstitusi, yakni Arsul Sani dan Daniel Yusmic P. Foekh, menyampaikan dissenting opinion. Daniel menilai pendirian MK dalam putusan sebelumnya Nomor 80/PUU-XVII/2019 seharusnya tetap dipertahankan, sehingga larangan tidak perlu dituangkan ulang dalam amar putusan. Sementara Arsul menilai MK semestinya menjalankan due process secara deliberatif dan partisipatif dengan mendengarkan keterangan pemerintah, DPR, serta pihak terdampak.

Perkara ini sendiri diputus relatif cepat, hanya melalui dua kali sidang dan tanpa sidang pleno mendengarkan keterangan pemerintah atau DPR.(*)

Sumber (*/melihatindonesia)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *