Tajikistan sebuah negara di Asia Tengah yang berbatasan dengan Afghanistan di selatan, Tiongkok di timur, Kirgistan di utara, dan Uzbekistan di barat.
Tajikistan memiliki luas wilayah sekitar 143.100 km² dengan jumlah penduduk ±10 juta jiwa (perkiraan 2025). Negara dengan bentuk pemerintahan: Republik Presidensial, memiliki mata uang Somoni (TJS), bahasa resmi Tajik (varian bahasa Persia), dan agama mayoritas Islam (terutama Islam Sunni) ini menempatkan Dushanbe sebagai ibu kota dengan bentang an alam didominasi pegunungan, terutama Pegunungan Pamir yang dijuluki “atap dunia” karena ketinggiannya.
Sementara, ekonomi Tajikistan bergantung pada pertanian (kapas, gandum, buah), tenaga kerja migran, dan pertambangan (emas, aluminium, uranium).
Tajikistan kini resmi memberlakukan larangan penggunaan hijab (cadar atau penutup kepala islami) sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menegakkan budaya sekuler dan membatasi ekspresi keagamaan publik.
Detail pelarangan penggunaan hijab
Parlemen negara berpenduduk mayoritas Muslim tersebut mengadopsi rancangan UU tentang “tradisi dan perayaan”. Pada RUU itu, parlemen Tajikistan, Majlisi Milli, melarang penggunaan, mengimpor, menjual, dan memasarkan “pakaian asing bagi budaya Tajik”.
Dikutip kantor berita independen Tajikistan, Asia Plus, Presiden Emomali Rahmon memang menganggap pakaian keagamaan termasuk hijab sebagai “pakaian asing”. Dalam aturan baru ini, warga pun dianjurkan untuk semakin sering memakai pakaian nasional Tajikistan.
RUU itu juga mencakup sanksi administratif dan denda bagi para pelanggarnya. Padahal, negara di Asia Tengah itu memiliki penduduk mayoritas Muslim. Berdasarkan data sensus 2020, sekitar 96 persen dari total 10,3 juta penduduk Tajikistan merupakan umat Muslim.
Alasan Tajikistan menerapkan larangan penggunaan hijab
Sejak berkuasa pada 1994, “presiden seumur hidup” Tajikistan, Emomali Rahmon, memang ingin menjadikan negara tersebut sekuler.

Sebelum ada RUU terbaru ini, Tajikistan memang sudah membatasi dan melarang penggunaan hijab dan atribut keagamaan di lingkungan sekolah dan tempat kerja. Berbekal aturan baru ini, pemerintahan Rahmon ingin memperluas aturan itu dengan melarang atribut keagamaan terutama hijab di tempat publik.
Dikutip Euro News, salah satu alasan pemerintah melarang penggunaan hijab dan atribut keagamaan lainnya adalah “demi melindungi nilai-nilai budaya nasional” dan “mencegah takhayul serta ekstremisme”.
Tahapan larangan hijab di Tajikistan
Pada 19 Juni 2024, Majlisi Milli (Dewan Perwakilan Tinggi Tajikistan) menyetujui UU yang melarang importasi, penjualan, promosi, dan pemakaian pakaian yang dianggap “asing” terhadap budaya nasional—termasuk hijab. UU ini sebelumnya sudah disetujui oleh Majlisi Namoyandagon (Dewan Rendah) pada 8 Mei 2024 .
UU ini merupakan bagian dari 35 tindakan terkait agama, dan bertujuan “melindungi nilai-nilai budaya nasional” dan “mencegah takhayul serta ekstremisme” .
Sanksi denda bagi pelanggar
Tajikistan pun menerapkan denda terhadap warga biasa yang tak mengindahkan pelarangan penggunaan hijab dengan denda sekitar 7.920 somoni (±€700 / ±Rp12 juta), pejabat pemerintah: hingga 54.000–57.600 somoni (±€4.700–5.000 / ±Rp80–88 juta) dan perusahaan atau entitas hukum: juga dikenai denda signifikan (sekitar 39.500 somoni) .
Larangan penggunaan hijab dalam praktik pendidikan dan publik
Sejak 2005, Kementerian Pendidikan sudah melarang penggunaan hijab di sekolah dan universitas negeri. Hijab hanya boleh dipakai di luar lembaga pendidikan sekuler.
Banyak perempuan yang sempat ditolak masuk universitas karena memakai hijab. Di sejumlah tempat kerja, pekerja perempuan juga ditekan untuk melepas hijab atau menyesuaikannya seperti kerudung tradisional yang diikat di belakang kepala.
Selain hijab, pemerintah Tajikistan juga mengeluarkan fatwa yang melarang busana berwarna hitam, pakaian ketat, atau transparan. Semua bentuk busana “asing” dianggap tidak sesuai budaya Tajik dan dilarang dalam ruang publik.(*)
Sumber (*/ragam)