Cara Mengajarkan Anak Agar Berani Mengambil Keputusan

Loading

Banyak orang tua tanpa sadar mendidik anak untuk selalu menunggu arahan. Akibatnya, ketika dewasa, mereka bingung menentukan pilihan, takut salah, dan cenderung ikut arus.

Fakta dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa keterampilan mengambil keputusan sejak dini berhubungan erat dengan tingkat kepercayaan diri dan kemampuan memimpin di usia dewasa. Pertanyaannya, mengapa anak yang pintar sekalipun sering tumbuh menjadi pribadi yang ragu-ragu saat menghadapi pilihan hidup?

Dalam keseharian, hal sederhana seperti memilih baju atau menentukan makanan sering kali diambil alih oleh orang tua. Alasannya praktis: agar cepat dan tidak ribet. Namun kebiasaan kecil ini membuat anak kehilangan kesempatan melatih otot mental dalam mengambil keputusan. Anak akhirnya terbiasa bergantung, dan semakin lama semakin sulit berani memilih.

1. Memberi ruang pada pilihan kecil

Anak belajar berani mengambil keputusan bukan dari hal besar, tetapi dari pilihan sederhana sehari-hari. Ketika mereka diminta memilih antara dua baju, menentukan menu sarapan, atau memutuskan permainan apa yang ingin dimainkan, itu adalah latihan berharga yang membangun rasa percaya diri.

Contoh mudah, seorang anak diberi kesempatan memilih apakah ia ingin membaca buku cerita atau menggambar sebelum tidur. Dari luar terlihat sepele, tetapi bagi anak, proses memilih ini memberi rasa kepemilikan terhadap tindakannya.

Kebiasaan memberi ruang pada pilihan kecil membantu anak menyadari bahwa setiap keputusan memiliki konsekuensi, entah itu menyenangkan atau mengecewakan. Dari sinilah fondasi keberanian mengambil keputusan besar akan tumbuh.

2. Mengajarkan logika sederhana dalam memilih

Anak sering kali takut salah karena mereka tidak tahu dasar dari pengambilan keputusan. Memberikan mereka kerangka berpikir sederhana bisa membuat proses ini terasa lebih jelas. Misalnya, ajarkan konsep sebab-akibat atau untung-rugi dengan bahasa yang mudah mereka pahami.

Seorang anak yang bingung memilih antara bermain di luar atau menonton televisi bisa diajak berpikir, “Kalau main di luar, kamu bisa lari-lari dan sehat. Kalau nonton, kamu bisa istirahat tapi mungkin kurang bergerak.” Dengan begitu, anak belajar bahwa keputusan bukan tentang benar atau salah, tetapi tentang konsekuensi yang harus dipertimbangkan.

Cara ini menumbuhkan keberanian karena anak tidak lagi memilih secara buta, melainkan dengan alasan. Di sinilah peran orang tua sebagai fasilitator, bukan pengendali.

3. Menormalisasi kesalahan sebagai bagian dari proses

Ketakutan terbesar anak dalam mengambil keputusan adalah salah. Mereka merasa kesalahan akan berujung pada kritik atau hukuman. Padahal, kesalahan justru merupakan ruang belajar yang paling efektif.

Contohnya, seorang anak yang memilih membawa mainan ke sekolah lalu mendapat teguran dari guru. Alih-alih dimarahi, orang tua bisa mengajaknya merefleksikan, “Apa yang bisa kamu lakukan lain kali supaya tidak ditegur?” Dengan begitu, kesalahan tidak dipandang sebagai akhir, melainkan proses belajar.

Menormalisasi kesalahan mengajarkan anak bahwa keberanian mengambil keputusan lebih penting daripada hasil sempurna. Dalam jangka panjang, mereka tumbuh menjadi individu yang berani mencoba tanpa takut gagal.

4. Memberi teladan melalui keputusan orang tua

Anak belajar bukan hanya dari teori, melainkan dari apa yang mereka lihat sehari-hari. Ketika orang tua berani mengambil keputusan dengan tenang dan bertanggung jawab, anak menangkap pola itu dan menirunya.

Misalnya, orang tua yang menjelaskan alasannya memilih bekerja dari rumah ketimbang keluar kota, menunjukkan kepada anak bahwa setiap keputusan memiliki dasar pertimbangan dan konsekuensi. Anak belajar dari contoh nyata, bukan sekadar nasihat kosong.

Di titik ini, penting bagi orang tua juga terbuka dengan keraguan. Mengatakan, “Aku masih mempertimbangkan” atau “Aku memilih ini karena lebih baik untuk kita,” memberi pesan bahwa pengambilan keputusan adalah proses, bukan jawaban instan. Konten semacam ini banyak saya bahas lebih dalam di logikafilsuf, tempat saya menguraikan strategi parenting dari sudut pandang filsafat dan psikologi.

5. Menghargai keberanian, bukan hanya hasil

Ketika anak berani mengambil keputusan, apresiasi sebaiknya diberikan pada keberaniannya, bukan pada hasil akhirnya. Fokus pada proses membuat anak merasa aman untuk mencoba lagi meski hasilnya tidak sesuai harapan.

Seorang anak yang memilih tampil di depan kelas meski grogi layak mendapat pujian atas keberaniannya, terlepas dari seberapa baik ia berbicara. Penghargaan semacam ini memperkuat rasa percaya diri dan mendorong anak untuk terus berlatih mengambil keputusan.

Dengan begitu, anak belajar bahwa nilai keberanian tidak kalah penting dibanding nilai kesempurnaan. Mereka akan lebih siap menghadapi tantangan hidup tanpa terus mencari pengakuan eksternal.

6. Mengajarkan refleksi setelah membuat keputusan

Keberanian mengambil keputusan tidak cukup berhenti pada tindakan, tetapi juga pada kemampuan merenungkan hasil. Anak yang diajak berdiskusi setelah mengambil keputusan akan lebih cepat memahami pola dan memperbaiki kesalahan.

Contoh, setelah anak memilih ikut kegiatan olahraga ketimbang kursus musik, orang tua bisa bertanya, “Apa yang kamu rasakan setelah ikut? Apa yang menurutmu menyenangkan, apa yang tidak?” Pertanyaan ini mengasah kesadaran dan evaluasi diri.

Refleksi membuat anak mengerti bahwa setiap keputusan membawa pengalaman baru yang bisa dijadikan bekal untuk keputusan selanjutnya. Dengan cara ini, anak belajar dari dirinya sendiri, bukan hanya dari instruksi orang lain.

7. Memberi batasan yang sehat dalam pilihan

Kebebasan tanpa batas justru bisa membuat anak bingung. Karena itu, memberi pilihan yang sehat dengan batasan jelas adalah cara terbaik untuk melatih mereka mengambil keputusan secara terarah.

Seorang anak boleh memilih ingin tidur jam 8 atau jam 9, tetapi tidak bisa memilih untuk tidak tidur sama sekali. Batasan ini memberi ruang kebebasan sekaligus struktur yang menenangkan.

Dengan adanya batasan, anak belajar bahwa kebebasan bukan berarti tanpa arah. Mereka paham bahwa keputusan yang baik lahir dari keseimbangan antara keinginan pribadi dan aturan yang ada di sekitarnya.

Mengajarkan anak berani mengambil keputusan bukan soal memaksa mereka dewasa terlalu cepat, melainkan membekali mereka dengan keterampilan hidup yang akan berguna sepanjang hayat. Menurut Anda, apa keputusan pertama yang sebaiknya mulai dilatih pada anak di rumah? Tinggalkan jawaban Anda di kolom komentar dan bagikan tulisan ini agar semakin banyak orang tua mendapatkan wawasan baru.(*)

Sumber (*/logikafilsuf)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *