Pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Selasa, 30 Seperti 2025, Purbaya menegaskan pemerintah menanggung selisih harga tersebut sebagai wujud keberpihakan fiskal.
Jakarta | Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan harga keekonomian sejumlah komoditas energi dan non-energi yang dikonsumsi masyarakat, sebelum pemerintah memberikan subsidi agar tetap terjangkau.
Pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Selasa, 30 Seperti 2025, Purbaya Yudhi menegaskan pemerintah menanggung selisih harga tersebut sebagai wujud keberpihakan fiskal.
Ia memaparkan, harga asli solar mencapai Rp 11.950 per liter, namun setelah ditopang subsidi 43% senilai Rp 5.150, masyarakat hanya membayar Rp 6.800.
Pertalite yang seharusnya dijual Rp 11.700 per liter, turut disubsidi Rp 1.700 atau 15%, sehingga harga eceran menjadi Rp 10.000 per liter.
Untuk minyak tanah, harga keekonomiannya Rp 11.150 per liter, tetapi masyarakat hanya membayar Rp 2.500 setelah pemerintah menanggung Rp 8.650 atau 78% dari harga sebenarnya.
Subsidi juga besar untuk LPG 3 kg. Harga aslinya Rp 42.750 per tabung, namun setelah subsidi Rp 30.000 atau 70%, masyarakat cukup membayar Rp 12.750.
Pada listrik rumah tangga 900 VA bersubsidi, harga asli Rp 1.800/kWh ditekan hingga Rp 600/kWh berkat subsidi Rp 1.200 atau 67%.
Bahkan listrik 900 VA nonsubsidi pun masih mendapat dukungan Rp 400 atau 22%, sehingga tarifnya Rp 1.400/kWh.
Komoditas non-energi pun tak luput dari subsidi.
Harga pupuk urea yang seharusnya Rp 5.558 per kg ditekan menjadi Rp 2.250 per kg setelah pemerintah menanggung Rp 3.308 atau 59%.
Pupuk NPK yang harga aslinya Rp 10.791 per kg juga disubsidi Rp 8.491 atau 78%, sehingga masyarakat cukup membayar Rp 2.300 per kg.
Purbaya menegaskan, subsidi ini akan terus dievaluasi agar lebih tepat sasaran.
Ia mengingatkan bahwa sebagian besar subsidi energi masih dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu, terutama desil 8–10, sehingga perbaikan mekanisme distribusi menjadi penting untuk memastikan keadilan.(*)
Sumber (*/melihatindonesia)