Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS), Quo Vadis?

Loading

Oleh: Emmanuel Richardo, SP

Lebih baik di sini, rumah kita sendiri, segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa, semuanya ada di sini, Rumah kita. Demikian penggalan lagu Rumah Kita karya grup musik legendaris Indonesia God Bless sengaja penulis angkat sebagai pembuka tulisan ini untuk menggugah kita agar selalu memulai dari apa yang ada pada kita.

Termasuk saat kita berbicara membangun pertanian di NTT, maka sudah seharusnya kita memulai dengan apa yang ada di NTT, sangat kaya dengan plasma nutfah atau keragaman genetik spesifik NTT, sangat adaptif dan pastinya berkelanjutan  dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat NTT sejak berabad-abad lamanya.

UU nomor 22 tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan memberi ruang terbuka lebar bagi setiap petani termasuk komunitasnya untuk boleh menggunakan benihnya sendiri termasuk penggunaan varietas lokal yang sudah adaptif dan berkembang di suatu daerah (kabupaten).

NTT punya begitu banyak tanaman pangan yang mempunyai ketahanan luar biasa seperti sorgum, ubi kayu/ singkong, talas, porang, selain padi dan jagung yang sudah familier.

Saat ini, sorgum sudah dapat diolah sampai menjadi produk olahan seperti tepung sorgum dan beras sorgum, ubi kayu atau singkong selain dibuat tapioka saat ini bisa menggantikan posisi terigu yang berasal dari gandum dengan mengolah ubi kayu/ singkong menjadi tepung mocaf yang punya nilai jual tinggi, begitu juga dengan porang dan talas.

Di luar itu, masih banyak pangan lokal NTT yang berkembang di masyarakat bahkan sudah dilepas Menteri Pertanian sebagai varietas nasional seperti Padi Pare Wangi di Sumba Barat, Kacang tanah Sandle di Sumba Timur, Kacang hijau Fore Belu di Belu dan Malaka, Jagung Pit Kuning dan banyak varietas hortikultura yang mempunyai ketenaran tingkat nasional seperti Jeruk Keprok SoE, Alpukat Ledan Puan Sikka, Mangga Alor, dan Pisang Beranga Kelimutu Ende.

Masih terngiang-ngiang di benak penulis, pernyataan seorang mantan Kepala Dinas Pertanian Provinsi NTT Ir. Petrus Muga yang tegas mengatakan menolak benih sampah dari luar NTT dan berusaha agar NTT bisa mandiri benih.

Sejak itu, mulailah era pembangunan perbenihan tanaman baik pangan maupun hortikultura di mana mulai ditumbuhkan penangkar- penangkar benih yang tersebar di seluruh NTT dalam upaya memenuhi kebutuhan benih dan mengurangi ketergantungan dari luar NTT.

Semangat itu masih terlihat sampai tahun 2020, ketika pucuk pimpinan Dinas Pertanian Provinsi NTT beralih ke Ir. Lecky Frederich Koli, yang mana dalam sambutan mewakili Gubernur NTT saat kunjungan kerja di Desa Leontolu, Kecamatan Raimanuk, Kabupaten Belu tanggal 15 November 2020 mengatakan, “NTT ini sekian lama bergantung benihnya dari provinsi lain sehingga dalam pengembangan usaha pertanian kita sering kali mengalami hambatan-hambatan,  di mana ketika benih itu datang musim hujannya sudah lewat akibatnya produktivitas pertanian kita rendah.”

Dan hingga tahun 2021, sebenarnya upaya untuk menghasilkan benih sendiri sudah berjalan dengan baik walaupun masih perlu pembenahan dalam membentuk siklus yang saling menguntungkan antara pemerintah dan penangkar benih.

Ketika tiba tahun anggaran 2022, dalam webinar nasional yang diselenggarakan oleh Propaktani dari Kementerian Pertanian pada awal Januari, diketahui bahwa Program Tanam Jagung Panen Sapi Pola Kemitraan (TJPS-PK) di NTT, menargetkan 60.000 ha lahan pertanian masyarakat untuk ditanami jagung yang dibagi dalam 3 ( tiga) musim tanam yaitu musim tanam I (Oktober 2021—Maret 2022) pada musim hujan 2 (Januari—Maret 2022) rencana tanam 2500 ha, kemudian pada musim tanam II (April—September 2022) sebanyak 6.000 ha dan pada musim tanam I (Oktober 2022—Maret 2023) akan ditanam pada lahan seluas 51.500 ha sehingga total 60.000 ha di mana menggunakan benih jagung hibrida.

Dari sisi luasan, mungkin masih kecil 60.000 ha dibandingkan dengan kondisi eksisting lahan pertanian di NTT yang mencakup di atas 300 ribu hektar akan tetapi dari sisi penganggaran sangat jelas terlihat tidak berpihak pemerintah kepada rakyat NTT di mana mulai dari benih jagung hibrida, pupuk urea, NPK, bokashi padat dan cair, herbisida sistemik dan kontak serta pestisida semuanya dibeli di Jawa, belum lagi biaya olah lahan gunakan traktor yang juga harus dibayar petani termasuk tanggungan BBM untuk mesin pompa air dan mesin pipil.

Yang dimaksud dengan pola kemitraan yaitu Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT bermitra dengan Bank NTT dan off taker memberi kredit ke petani untuk dibelanjakan sarana produksi pertanian ( Saprodi) yang disiapkan oleh off taker kemudian hasil panennya dijual ke off taker sesuai kontrak yang ditandatangani.

Untuk 1 (satu) ha lahan TJPS PK mendapat plafon kredit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) terdiri dari biaya saprodi dan biaya tenaga kerja di mana untuk biaya saprodi petani langsung menerima dalam bentuk barang dari off taker artinya untuk biaya saprodi Bank NTT langsung membayar ke off taker sementara biaya kerja langsung diterima petani dan pengembalian kredit dilakukan saat panen ( Koran Timex, 9 Maret 2022 hal. 5)

Menurut informasi yang penulis dapatkan bahwa dari kredit 10 juta/ha pembagiannya 5 juta untuk biaya saprodi dan 5 juta untuk biaya tenaga kerja sehingga untuk tahun anggaran 2022 ini kalau ditargetkan 60.000 ha lahan untuk TJPS, maka akan digulirkan kredit ke petani TJPS sebesar Rp.600 miliar di mana sekitar Rp.300 miliar digunakan untuk pembelanjaan Saprod dari Jawa. Ini nilai yang cukup fantastis untuk daerah yang masih tinggi angka kemiskinan dan stunting.

Petani TJPS-PK hanya kebagian tugas menanam dan panen dan hasil panen sudah ada off taker yang siap membeli di mana off taker itu juga sebagai penyedia sarana produksi tersebut.

Di sinilah sebenarnya letak masalahnya, yang menurut penulis Pemerintah Provinsi NTT tidak memiliki visi dalam memberdayakan masyarakat petani NTT, yang mana mengharuskan petani miskin harus membeli benih jagung dari Jawa, padahal di saat sama sebenarnya kalau dipersiapkan dan direncanakan dengan baik, maka tidak perlu didatangkan benih dari luar NTT.

Sebagaimana dalam tulisan saya terdahulu tentang “Membangun Sistem Perbenihan Tanaman Pangan menuju NTT Mandiri Benih” bahwa untuk benih jagung hibrida harganya sangat mahal bila dibandingkan dengan benih jagung komposit seperti Jagung Lamuru yang sudah adaptif di NTT. Apalagi saat ini kita tahu bersama terjadi kenaikan harga beberapa komoditas seperti minyak goreng, kacang kedelai, cabai ditambah lagi krisis Ukraina meningkatkan harga minyak dunia yang berakibat kenaikan harga di semua lini.

Semua kondisi di atas seharusnya mengalihkan pandangan kita untuk bisa memaksimalkan apa yang ada di NTT untuk menghasilkan nilai tambah terhadap produk pangan lokal kita dan bisa bersaing di tingkat lebih tinggi.

Apalagi sejak 15 tahun yang lalu sebenarnya NTT sudah punya cita-cita untuk “Mandiri Benih” sehingga penumbuhan dan pemberdayaan penangkar di seluruh NTT digiatkan dan menghadirkan Balai Benih untuk menghasilkan benih sumber yang akan digunakan oleh para penangkar di seluruh NTT untuk menghasilkan benih yang akan dipakai pada musim hujan.

Sehingga kolaborasi yang bersifat mutualisme antara Balai Benih dan Penangkar Benih selain meningkatkan PAD bagi pemerintah juga meningkatkan pendapatan petani penangkar di NTT sehingga untuk urusan penyediaan benih di musim tanam tidak perlu mendatang benih dari luar NTT sekaligus juga dapat membangun suatu siklus perbenihan sehat dan saling menguntungkan.

Oleh karena itu, program TJPS Pola Kemitraan yg sedang dijalankan tahun ini memasuki tahun ke-3 dan dalam perencanaan untuk tahun 2023 akan meningkat menjadi 112.500 ha yang seluruhnya menggunakan benih jagung hibrida agar perlu dipertimbangkan mengingat besarnya anggaran yg akan dibelanjakan di luar NTT.

Jika terus menciptakan ketergantungan terus menerus terhadap benih dari luar NTT, maka perlu suatu terobosan agar semaksimal mungkin program yang dibuat menggunakan semua bahan lokal NTT, mulai dari benih yang dihasilkan penangkar di NTT juga menggunakan pupuk organik maupun pestisida organik yang bahannya ada di NTT.

Kondisi tersebut  bisa menyelamatkan lingkungan dan sekaligus menjamin keberlanjutan Pertanian NTT yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan petani NTT juga diharapkan pada saat yang sama bisa menurunkan angka stunting sehingga tidak salah agar kita punya cita-cita mewujudkan kedaulatan pangan di NTT.

Semoga

Kupang, Medio Maret 2022

Penulis merupakan Pengawas Benih Tanaman Ahli Muda, Anggota Ikatan Pengawas Benih Tanaman Indonesia (IPBTI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *