Warga Empat Desa di Manggarai Demonstrasi Bisu Jalan Rusak

Loading

Kerusakan jalan ini berdampak signifikan pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Warga kesulitan mengakses ke kota untuk menjual hasil pertanian seperti kopi, kemiri, dan kakao.

 

Manggarai | Demonstrasi sebagai bentuk ekspresi politik dan sosial merupakan fenomena penting dalam dinamika masyarakat modern. Dalam konteks pembangunan infrastruktur, khususnya jalan, peran partisipasi masyarakat sangat krusial untuk menjamin keberlanjutan dan efektivitas pembangunan tersebut.

Manggarai, sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang masih mengandalkan akses jalan sebagai sarana utama mobilitas dan distribusi barang, mengalami berbagai tantangan infrastruktur, terutama kerusakan jalan yang sering kali tidak mendapatkan perhatian memadai dari pemerintah daerah.

Kerusakan jalan ini berdampak signifikan pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Warga kesulitan mengakses ke kota untuk menjual hasil pertanian seperti kopi, kemiri, dan kakao.

Hal ini akan menyebabkan biaya transportasi atau kendaraan menjadi mahal karena alasan jalan rusak, memaksa mereka menjual hasil pertanian kepada tengkulak dengan harga yang amat rendah.

Selain itu, kondisi jalan yang buruk juga membahayakan keselamatan pengendara, bahkan setiap pengendara roda dua yang melintasi jalan tersebut nyaris terancam kehilangan nyawa.

Dalam kajian pembangunan, infrastruktur jalan merupakan elemen vital dalam mendukung perekonomian dan mobilitas masyarakat. Kualitas jalan yang buruk dapat menghambat distribusi barang dan jasa, meningkatkan biaya transportasi, serta menurunkan kualitas hidup masyarakat (Sutrisno, 2018).

Selain itu, kerusakan jalan yang dibiarkan berlarut-larut dapat menciptakan ketimpangan sosial dan ekonomi antar daerah.

Demonstrasi bisu yang dihelat oleh warga empat desa di Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan bentuk protes terhadap kondisi jalan rusak yang telah berlangsung lama. Jalan utama yang menghubungkan keempat desa yakni Desa Lando, Desa Beamese, Desa Perak, dan Desa Golo dengan Kota Kecamatan dan Kabupaten Manggarai telah mengalami kerusakan parah, mengakibatkan kesulitan akses bagi warga, terutama dalam hal transportasi dan perekonomian. Kerusakan Jalan tidak hanya berdampak buruk terhadap mobilitas warga, tetapi juga terhadap aspek ekonomi, pendidikan, dan layanan kesehatan.

Kondisi ini kemudian memicu reaksi sosial berupa demonstrasi, menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pembangunan jalan ini dipilih dalam bentuk demonstrasi bisu seperti yang dilakukan oleh warga empat desa di Manggarai tersebut.

Hal ini menegaskan bahwa masyarakat tidak hanya pasif, tetapi aktif dalam mengawasi dan mengevaluasi pembangunan yang ada.

Mardikanto et. al. (2013) menegaskan bentuk protes non-verbal seperti demostrasi bisu memiliki makna simbolis yang kuat.

Oleh karena itu, demonstrasi bisu dipilih sebagai metode non-verbal yang efektif untuk menyampaikan pesan tanpa menimbulkan konflik terbuka dan memiliki pesan moral yang sangat mendalam terhadap pemerintah daerah Kabupaten Manggarai.

Solidaritas masyarakat memperkuat tawaran terhadap pemerintah daerah

Demonstrasi bisu juga mencerminkan solidaritas sosial antar desa yang menghadapi masalah infrastruktur serupa.

Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan membuka kesempatan bagi mereka untuk ikut menentukan dan mengawasi kebijakan pembangunan daerahnya. Solidaritas ini memperkuat posisi tawar masyarakat terhadap pemerintah daerah, sehingga harapannya adalah tuntutan mereka mendapat respons yang lebih serius (Sari dan Prabawati: 2020). Sedangkan Kurniawan (2020) dalam penelitiannya di Desa Kampung Baru, Nganjuk, menekankan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur jalan sangat penting untuk mewujudkan good governance.

Maka, demonstrasi bisu ini dipilih sebagai bentuk kontrol sosial terhadap pemerintah daerah Kabupaten Manggarai, menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pembangunan jalan.

Kondisi ini kemudian memicu reaksi sosial berupa demonstrasi, menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pembangunan jalan ini dipilih dalam bentuk demonstrasi bisu.

Bentuk demonstrasi bisu

Demonstrasi bisu sebagai bentuk protes merupakan taktik yang memiliki makna simbolis kuat. Dengan menghilangkan suara dalam aksi protes, warga mengekspresikan ketidakpuasan mereka secara damai dan efektif, sekaligus menarik perhatian publik dan pemerintah dengan cara yang berbeda dari demonstrasi konvensional yang biasanya berisik dan penuh tuntutan verbal.

Selain itu, demonstrasi bisu juga dapat dilihat sebagai strategi resistensi non-verbal yang mengedepankan pesan moral dan etis, menuntut tanggung jawab dan perhatian tanpa memicu konflik yang lebih besar.

Implikasi sosial dan politik

Keterlibatan empat desa dalam demonstrasi ini menandakan adanya solidaritas antar komunitas yang menghadapi masalah infrastruktur serupa. Solidaritas ini memperkuat posisi tawar masyarakat terhadap pemerintah daerah, sehingga harapannya adalah tuntutan mereka mendapat respons yang lebih serius.

Secara politis, aksi ini dapat dilihat sebagai bentuk kontrol sosial atas pemerintah lokal, menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pembangunan jalan.

Demonstrasi ini juga menyoroti pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, bukan hanya sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai subjek yang memiliki hak dan kewajiban dalam pengelolaan sumber daya publik.

Dampak ekonomi dan kesejahteraan

Jalan yang rusak menyebabkan gangguan distribusi barang dan jasa, peningkatan biaya transportasi, dan penurunan aksesibilitas ke pusat-pusat ekonomi.

Hal ini berkontribusi pada menurunnya produktivitas dan kesejahteraan masyarakat desa. Dengan adanya demonstrasi ini, diharapkan pemerintah dapat mengalokasikan sumber daya untuk memperbaiki jalan, sehingga meningkatkan konektivitas dan membuka peluang ekonomi baru bagi warga.

Perbaikan jalan yang memadai juga dapat meningkatkan akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Demonstrasi bisu yang dilakukan oleh warga empat desa di Manggarai atas perbaikan jalan rusak merupakan manifestasi penting dari aspirasi masyarakat terhadap keadilan dan pembangunan yang merata.

Bentuk demonstrasi ini bukan hanya sekadar protes, tetapi juga pesan moral yang menuntut perhatian dan tindakan konkret dari pemerintah. Maka, tulisan ini menggarisbawahi pentingnya peran masyarakat dalam pembangunan infrastruktur serta perlunya pendekatan yang inklusif dan partisipatif dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Selain itu, demonstrasi ini menjadi pengingat bahwa pembangunan yang berkelanjutan harus berakar pada kebutuhan nyata masyarakat, terutama di daerah-daerah yang selama ini kurang mendapatkan perhatian.(*)

Penulis: Karolus Leo, Mahasiswa Sementara Satu, Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *