Oleh : Karolus Leo, Mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero
Hiruk-pikuk ketidakpastian pembangunan di Indonesia seharusnya menjadi proses yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh dan berkelanjutan sebagai simbol kemajuan suatu daerah maupun bangsa.
Jalan yang mulus, jembatan yang megah, waduk yang mengkilap, gedung sekolah yang glamor, pusat layanan kesehatan yang berkilau. Namun, di balik itu semua ada konspirasi pemangku kekuasaan yang terselubung secara terstruktur dan tersistematis dalam upaya mencari keuntungan.
Hal tersebut yang menyebabkan pembangunan yang dieluh-eluhkan sebagai simbol kemajuan suatu daerah maupun bangsa dalam praktiknya tidak lagi sepenuhnya dimaknai sebagai upaya sosial-ekonomi, melainkan dijadikan sebagai alat untuk menambah penghasilan.
Di Indonesia sendiri, pembangunan kerap kali dijadikan sebagai pengguna pencitraan bahkan, sering kali pembangunan juga dijadikan sebagai alat politik dalam konstelasi pesta demokrasi belakang ini. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pembangunan tidak lagi sekedar pelayanan publik, tetapi mesin distribusi kekuasaan dan alat memperkaya kelompok tertentu yang terorganisir dan mengakar.
Tidak menutup kemungkinan apabila bertambah besar volume pembangunan bertambah besar pula kemungkinan akan kebocoran. Ditambah dengan gaji pegawai negeri yang memang sangat minim, di negara-negara berkembang seperti Indonesia, pegawai negeri terdorong untuk melakukan perbuatan yang kadang-kadang menggunakan kekuasaannya untuk menambah penghasilannya. Dalam artinya begitu banyak para pemimpin-pemimpin negara ini sering kali melakukan penyalahgunaan kewenangan (abus de droit) dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sebagai saat untuk melakukan korupsi. Maka, dengan demikian kita tidak bisa mungkir bahwa terjadi pula korupsi besar-besaran bagi mereka yang memperoleh pendapatan yang memadai disebabkan karena sifatnya yang serakah dan tamak.
Hal ini dapat dilihat bahwa semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin meluas. Merajalelanya tindakan korupsi di Indonesia disinyalir nyaris terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah.
Tindakan korupsi saat ini tidak saja terjadi pada lingkungan pemerintahan dan pengusaha bahkan telah merambah sampai lembaga perwakilan rakyat dan lembaga peradilan. Maka negara ini, tidaklah salah jika ada canda yang menyebut bahwa, “Indonesia, sekarang ini tidak mempunyai produk asli yang mencerminkan sebagai kekayaan bangsa sendiri, kecuali hanya korupsi”. Mengapa demikian? Karena tindakan korupsi yang dulunya dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), saat ini seolah-olah kejahatan biasa-biasa saja. Mengapa dikatakan demikian? Karena korupsi di era modernisasi ini telah tumbuh dengan subur dan meluas serta tersistematis dalam tubuh Kekuasaan.
Berangkat dari argumentasi di atas, maka dikatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi permasalahan mendasar yang terstruktur dan tersistematis dalam tubuh kekuasaan bahkan telah menjadi budaya sehingga sulit untuk diberantas.
Korupsi sebagai cara dan jalan pintas untuk mendapatkan kekayaan dengan mudah dan cepat pada dasarnya merupakan gejala umum kebudayaan kita yang dikenal amat lunak, sebagai soft culture yang berkembang dalam kehidupan bangsa dan bersumber pada konsep kekeluargaan dan kekuasaan. Karena itu, memberantas korupsi di Indonesia tidak bisa dengan mengabaikan dimensi kulturalnya yang kompleks.
Kegagalan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia disebabkan kerasnya benturan kebudayaan yang ada sehingga upaya pemberantasan korupsi cenderung melunak dan dipandang masyarakat sebagai rekayasa politik semata, untuk menjatuhkan kekuasaan seorang penguasa yang tidak disukai, bukan untuk membela kepentingannya. Sesuatu yang amat ironis dan merisaukan.
Berdasarkan hasil survei lembaga konsultan PERC yang berbasis di Hongkong menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling korup di antara 12 negara Asia. Predikat negara terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Pada tahun 2005, Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia.
Sementara itu, menurut data yang dilaporkan Indonesian Corruption Watch (ICW) terkait tindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh dalam risetnya menemukan pejabat kementerian atau pemerintah daerah menjadi aktor yang paling banyak melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam data yang dilaporkan ICW pada 2019, kasus korupsi tercatat sejumlah 271 kasus dengan 580 tersangka, 444 kasus dengan 875 tersangka pada 2020, dan 533 kasus korupsi dengan 1.173 tersangka pada 2021. Angka itu naik signifikan dibanding periode 2022 yang mencapai 579 kasus dengan 1.396 tersangka. ICW mencatat jumlah kasus korupsi di tingkat desa paling besar di sepanjang 2023.
Pada laporan ICW disebutkan korupsi dengan kerugian negara terbesar sepanjang 2023 terjadi di sektor telekomunikasi dan informasi (Rp 8,89 triliun), perdagangan (Rp 6,7 triliun), sumber daya alam (Rp 6,7 triliun), dan utilitas (Rp 3,26 triliun).
Dampak politisasi pembangunan
Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan politik. Yang jadi masalah adalah ketika proyek-proyek yang dimunculkan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau kondisi fiskal negara. Sehingga terdapat kepentingan lain yang lebih besar daripada kepentingan masyarakat.
Salah satu contohnya, menjelang Pemilu 2024, salah satu proyek yang rentan dipolitisasi adalah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Meskipun ada argumen bahwa proyek ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pengkritik menganggapnya sebagai manuver politik untuk mendapatkan dukungan pemilih.
Selain itu, masih diperdebatkan apakah memindahkan ibu kota saat ini benar-benar akan memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat luas. Ditambah lagi, pengadaan kontraktor yang sering dipengaruhi oleh hubungan politik dapat merugikan efisiensi, transparansi, dan integritas dalam pelaksanaan pembangunan. Akibatnya, biaya proyek jadi lebih mahal dan berpotensi mengalami masalah dalam pelaksanaannya. Keputusan semacam ini juga sangat rentan berujung pada praktik korupsi.
Salah satu contohnya adalah proyek penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang pada akhirnya menjadi skandal korupsi, melibatkan petinggi negara setingkat menteri dan pastinya merugikan masyarakat secara finansial dan moral.
Selain praktik korupsi, politisasi dalam pembangunan infrastruktur ini berisiko membuat proyek tersebut mangkrak. Proyek pembangunan Wisma Atlet Hambalang di Bandung, Jawa Barat, juga menjadi salah skandal korupsi yang sangat kontroversial. Skandal megaproyek seluas 32 hektar dan anggaran mencapai Rp2,5 triliun ini telah menyeret sejumlah petinggi partai, termasuk anggota kabinet. Proyek ini pun mangkrak sejak 2011 hingga saat ini.
Selain itu, pertimbangan politik yang salah dapat mengakibatkan alokasi dana yang tidak tepat, dengan fokus pada proyek-proyek yang lebih menguntungkan secara politik daripada yang lebih diperlukan oleh masyarakat.
Menelisik budaya korupsi
Diakui atau tidak diakui budaya korupsi sudah membudaya dalam tata kelola pemerintahan kita bahkan sudah membudaya di tengah-tengah sebagian masyarakat, sehingga untuk mengikisnya memang diperlukan upaya yang sangat ekstra dan kesungguhan yang luar biasa. Yang bisa dimulai dari hal-hal yang kecil tetapi memiliki dampak yang luar biasa, seperti mengajarkan kepada anak-anak kita tentang nilai-nilai moral yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran.
Dikarenakan di negeri yang kita cinta ini indeks korupsi tinggi, maka yang menderita adalah rakyat jelata, karena hak-haknya sebagai warga negara dimakan oleh kerakusan para pejabatnya. Bagaimana rakyat tidak menderita? Karena pembangunan jalan yang menjadi kebutuhan mendasar, dibangun dengan ambruk. Bagaimana jalan tidak ambruk karena ternyata anggarannya sudah disunat, bagaimana sekolah tidak terurus karena biaya perawatannya digelapkan, mengapa peralatan medis di rumah sakit tidak memadai karena dana pengadaan alat tulis kantor (ATK) sudah dinikmati segelintir orang bahkan yang lebih parah lagi korupsi sudah sampai ke hal-hal yang bersifat religius seperti adanya penggelapan dana-dana pembangunan tempat ibadah.
Salah satu sikap moral yang patut kita contoh ialah bagaimana moralitas bangsa Jepang dalam menjunjung tinggi nila-nilai kejujuran dan hal itulah yang menjadi modal awal bangsa Jepang membangun kembali negerinya yang porak-poranda dari kehancuran karena dihantam oleh dahsyatnya bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat yang meluluhlantakkan Kota Nagasaki dan Hiroshima, menjadi salah satu negeri industri yang terbesar di dunia. Budaya kejujuran dari bangsa Jepang ini terlahir dari budaya Bushido yang dianut oleh para pendekar Samurai yang selalu menjunjung tinggi kejujuran di atas segala-galanya.
Berbeda dengan di Indonesia, menurut Soedarso bahwa salah satu penyebab korupsi di Indonesia adalah korupsi sebagai way of life dari banyak orang, mengapa korupsi itu secara diam-diam ditolerir, bukan oleh penguasa, tetapi masyarakat itu sendiri. Kalau masyarakat umum mempunyai semangat anti korupsi seperti para mahasiswa pada waktu melakukan demonstrasi anti-korupsi, maka korupsi sungguh-sungguh tidak akan dikenal, hal tersebut senada dengan pendapat Syed Hussein Alatas bahwa mayoritas rakyat yang tidak melakukan korupsi seharusnya berpartisipasi dalam melakukan memberantas korupsi yang dilkukan oleh minoritas. Karena korupsi itu hanya dilakukan oleh minoritas dan bukan mayoritas. Sedangkan menurut Huntington yang menurutnya bahwa korupsi disebabkan pula oleh budaya modernisasi. Bukti-bukti dari sana sini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat. Dari jawaban Huntington tersebut dapat disimpulkan bahwa:
- Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat.
- Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena modernisasi membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru.
- Modernisasi merangsang korupsi karena perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bidang kegiatan politik.
Terlepas dari semua pendapat para pakar tersebut di atas kesimpulannya bahwa budaya korupsi akan menghancurkan peradaban suatu bangsa, menghancurkan sistem perekonomian dan yang lebih parah lagi akan menghancurkan mentalitas suatu bangsa terutama kepada para generasi mudanya. Sehingga untuk mengikis budaya korupsi tersebut sedari awal kita sudah harus mengajarkan kepada anak-anak kita, keluarga-keluarga kita, sahabat-sahabat kita, tentang nilai-nilai moralitas yang bernama kejujuran, karena kejujuran suatu bangsa itulah yang akan menjadi modal pembangunan suatu bangsa menjadi bangsa yang besar, maju dan beradab.(*)