Pondok Jaga, Tanaman Kehutanan, Visi dan Misi Pengelola

Loading

Oleh : Drs. Ignatius Sinu, MA

Antropolog, pensiunan Dosen Ilmu Sosial pada Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana

Ketika berjalan-jalan di beberapa kawasan hutan sering ditemukan sebelum masuk ke dalam kawasan hutan buatan, atau hutan tanaman dengan vegetasi dominan ampupu, mahoni, jati ditemukan rumah pemanen berukuran kecil yang ditinggal pergi penghuninya.

Ternyata bangun permanen itu adalah pondok jaga yang dibangun pada masa lalu, tahun 1970-an, dalam rangka menghijaukan kawasan hutan, yang rona awalnya adalah kawasan gundul dengan vegetasi dominan rumput padang. Kawasan itu sudah menjelma menjadi kawasan hutan buatan dengan vegetasi dominan tanaman kayu-kayuan mahoni, ampupu, jati, dan lain-lain yang bernilai ekonomi.

Rumah tua itu ternyata pondok jaga, yang dulunya ditunggui para rimbawan, orang-orang yang mendapatkan kepercayaan menjaga tumbuh kembangnya tanaman pepohonan yang ditanami atas nama penghijauan, menjadi kawasan gundul kawasan berpohon yang berfungsi ekologi.

Pondok dalam kerangka pikir saya adalah rumah kecil yang dibangun sementara, dengan bahan-bahan yang didapatkan di sekitar tempat itu dalam rangka menjaga tanaman pertanian, seperti padi dan jagung. Ketika selesai memanen tanaman padi dan jagung, dan hasilnya dibawa ke lumbung atau ke rumah tinggal, pondok itu ditinggalkan begitu saja, dan rusak diterpa alam.

Apa yang saya bayangkan dengan merujuk ke pengalaman masa lalu di kampung ini sama dengan definisi pondok seperti diambil dari Kamus Umum bahasa Indonesia (KBBI) adalah rumah kecil, khususnya rumah tradisional atau kuno, atau rumah yang digunakan secara musiman. Orang Inggris menyebut pondok dengan cottage, dengan pengertian rumah kecil, rumah tradisional, rumah yang berpenampilan tua dan sederhana.

Di Amerika, pondok terdiri dari satu lantai, di Kanada bisa berupa sebuah rumah besar, namun tetap disebut pondok. Pondok sebagaimana kerangka pikir saya lebih berupa shelter dalam kebudayaan Inggris, yaitu naungan sementara yang bisa untuk berlindung dari matahari dan hujan. Rumah yang lebih luas seperti di Kanada, sama dengan di Indonesia, khususnya di suku bangsa-suku bangsa di NTT.

Di Timor disebut rumah bulat dengan bagian dalam yang luas, terdapat panggung. Pada bagian bawah digunakan sebagai tempat tinggal dan dapur, sementara pada bagian panggungnya digunakan untuk menyimpan hasil pertanian, terutama padi dan jagung.

Orang Lamaholot menyebutnya dengan kebeng atau kadang-kadang diartikan dengan lumbung. Panggung atau lumbung memiliki sifat sakral. Hasil pertanian berupa padi dan jagung dibawa masuk ke dalam lumbung dengan upacara adat, begitu pula ketika diambil keluar dari dalam lumbung. Yang bisa naik ke dalam adalah wanita yang sudah menikah, atau ibu rumah tangga. Wanita lain bisa masuk ke dalam lumbung atas izin wanita yang empunya lumbung.

Pada era modern pondok atau cottage dalam bahasa Inggris sudah menjelma menjadi naungan kecil mungil nan indah yang diperuntukan bersenang-senang, menjadi tempat wisata. Di Indonesia pondok adalah asrama. Pondok bernuansa keagamaan dan sakral. Pondok menjadi satu dengan pesantren sehingga menjadi pondok pesantren. Sehingga pondok pesantren didefinisikan sebagai lembaga pendidikan agama Islam dengan sistem asrama atau pondok. Di pondok pesantren kyai sebagai figur sentral. Di sana para santri secara intensif mendapatkan pendidikan agama Islam di bawah bimbingan kyai, pendiri sekaligus tokoh panutan.

Visi dan misi

Suatu waktu kami mengajukan pertanyaan “sekolah menjadi apa?” kepada murid-murid SD dampingan WVI (World Visi Indonesia) di Kabupaten Sikka. Sekitar 49 anak dari 50 anak memberikan jawaban menjadi guru, dan hanya satu menjawab menjadi polisi. Murid-murid itu di desa pedalaman. Yang menarik adalah sudah sejak dini di dalam diri anak-anak seusia sekolah dasar sudah punya visi, yaitu guru dan polisi, dengan penjelasan dari masing-masingnya yang lucu dan unik, namun bernilai tinggi bagi masa depan anak-anak.

Guru dan polisi bagi mereka adalah orang baik, bisa menjadikan anak-anak pintar dan baik, bisa menjaga keamanan. Rujukan masa depan mereka adalah guru mereka, dan keanggunan polisi yang dilihat tatkala bepergian ke kota, walaupun sepintas, namun langsung jatuh hati. Guru mereka adalah orang baik, dan polisi yang dilihat adalah orang baik. Sedangkan ketika merujuk ke orang tua mereka sedikit ragu lantaran keadaan dan sikap tingkah laku orang tua di dalam proses tumbuh kembang anak-anak yang mungkin kurang disukai.

Pertanyaan sederhana dan jawaban sederhana anak-anak sekolah dasar itu adalah visi. Guru dan polisi adalah cita-cita yang harus dikejar dan didapatkan untuk sebuah masa depan yang lebih baik, lebih baik dari kondisi kehidupan bersama orang tua di desa. Visi adalah impian, cita-cita, nilai hidup di masa depan. Dengan visi yang dimiliki dan terucap spontan tergambar dalam upaya-upaya yang mereka lakukan di dalam misi yang mereka emban tahap demi tahap, yaitu belajar rajin, rajin berdoa, setia, jujur, patuh terhadap orang tua, lanjut ke jenjang pendidikan berikut dengan prestasi yang membanggakan orang tua.

Visi dan misi sebagaimana dijelaskan referensi-referensi lebih ke ekosistem sebuah organisasi, visi, misi, tujuan, dan cara mencapai tujuan organisasi. Pengertian visi yang bisa menggambarkan cita-cita anak-anak SD di pedalaman kabupaten Sikka, sebagaimana disampaikan Burt Nanus adalah sebuah pandangan masa depan yang realistis, bisa dipercaya, atraktif, dengan suatu kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi sekarang.

Visi adalah tujuan besar di masa yang akan datang, tujuan jangka panjang. Tujuan besar itu hanya bisa dicapai melalui upaya jangka panjang, cara-cara, dan langkah-langkah yang dilakukan dan dilewati satu demi satu. Para ahli menjelaskan bahwa misi adalah pernyataan tentang apa yang dilakukan sekarang untuk mencapai visi di masa depan.

Misi menggambarkan tindakan, strategi, dan pendekatan yang diambil untuk mencapai tujuan jangka panjang. Dalam konteks murid sekolah dasar, misi bisa diartikan sebagai langkah-langkah konkret yang diambil selama masa belajar, masa tumbuh kembang untuk mencapai visi menjadi guru dan polisi.

Pondok jaga dan tanaman kehutanan

Program-program pemerintah yang turun dalam wujud proyek-proyek adalah program-program visioner yang ambisius. Program-program di sektor kehutanan adalah demi kelangsungan hidup alam dan kelestarian sumber daya, terutama kelestarian dan kelangsungan hidup umat manusia. Kawasan-kawasan yang dijangkau program-program pemerintah di sektor kehutanan dalam perencanaan dijamin akan berbuah menjelma kawasan gundul menjadi kawasan berpohon, kawasan hutan tanaman bernilai ekologi, ekonomi, dan sosial.

Program-program itu dipercayakan kepada kaum visioner melalui mekanisme rekrutmen, atau mekanisme tender yang amat ketat, amat selektif. Namun ada juga yang mendapatkan kepercayaan malah menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan, yang berujung kegagalan dengan keluhan sana sini.

Sumbangan dari sektor kehutanan terhadap APBN relatif signifikan, bisa mencapai 24%. Karena itu, alokasi anggaran untuk Kementerian Kehutanan pun relatif besar setiap tahun. NTT termasuk provinsi yang sekalipun rendah kontribusi sektor kehutanannya terhadap APBN mendapatkan kucuran dana relatif besar untuk konservasi, rehabilitasi, dan penghijauan. Pada setiap kawasan penghijauan dibangun pondok jaga, tentunya agar ada orang yang tinggal atau minimal berada di tempat ini untuk terus memantau kondisi tumbuh kembang tanaman, mengawasi kawasan yang ditanami anakan pepohonan dari gangguan kebakaran dan lain-lain.

Saat perjalanan panjang mengurusi hutan di NTT, saya selalu merujuk ke figur yang visioner, pengusaha turunan. Dia seorang pengusaha berdarah Cina yang memulai usahanya dari nol sebagai seorang kontraktor. Saya kenal orang ini ketika awal mengurusi masyarakat terasing bersama Departemen Sosial. Ia intensif ke Kanwil Sosial, sekarang Dinas Sosial Provinsi, dan diberikan kepercayaan membangun rumah-rumah untuk pemberdayaan masyarakat terasing di NTT; kemudian intens dengan BPDAS terlibat dalam progam Hutan Kemasyarakatan (HKm), mengurusi pembibitan. Ia total dengan pekerjaannya sebagai kontraktor pembibitan tanaman kehutanan. Ia buat persemaian dekat dengan daerah penanaman. Ia membangun kerjasama yang sangat baik dengan masyarakat setempat, mulai dari pembibitan, penanaman dan pemeliharaan.

Pada program hutan kemasyarakatan (HKm) dan gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (Gerhan) ia menjadi kontraktor pembibitan di Sumba dan Belu. Di kedua tempat itu pengusaha itu berinisiatif mengelola secara intensif 25 hektar kawasan hutan dengan menanami kopi dan kakao. Empat sampai lima tahun kemudian pada lahan yang ditanami kopi dan kakao mulai dipanen. Kawasan yang sebelumnya gundul berubah menjadi kawasan kebun kopi dan kakao yang berfungsi ekologi, ekonomi, dan sosial. Kakao di Belu sudah sejak lama diekspor ke Amerika, dan di Sumba Timur diolah menjadi coklat Gauru yang digemari Eropa, terutama di Italia.

Pondok jaga yang dibangun dengan anggaran relative besar untuk menjaga tanaman kehutanan bagi kami yang dipercayakan melakukan evaluasi tanaman selalu kami jadikan indikator. Sederhana asumsi kami bahwa pondok jaga yang berpunghi dan terawat tanaman kehutanan pun terjaga, tinggat keberhasilan terjamin; sebaliknya pondok jaga yang tidak terurus atau cenderung terlantar tingkat keberhasilan pertumbuhan anakan pepohonan kehutanan kurang terjamin.

Ketika bersama kontraktor di pondok-pondok jaga saat melakukan penilaian tanaman, saya selalu kesal dengan kontraktor yang tidak punya visi. Pondok jaga dibuat sekadarnya, kemudian ditelantarkan. Sejak dibuat tidak ada yang menunggu atau menempati pondok jaga itu. Dan sebaliknya juga memberikan apresiasi kepada kontraktor yang membangun dengan sepenuh hati dan merawat pondok jaga itu. Di dalam pondok jaga itu, kami berbagi pengalaman, memberikan arahan, dan catatan-catatan yang diperlukan untuk mengurusi tanaman kehutanan demi masa depan.

Saya selalu mengatakan kepada mereka bahwa jika kontraktor punya visi dan cerdas memberdayakan kelompok tani untuk mengintensifkan 5—10 hektar kawasan dengan menanam tanaman jati, mente, kemiri, asam, kesambi, dan lain-lain, maka 5—10 tahun kemudian kawasan seluas 5—10 hektar itu akan berubah menjadi kawasan hutan mente, kemiri, asam, dan lain-lain lalu dikelola menjadi hutan wisata (pendidikan) tempat orang berekreasi. Siapkan makanan dan minuman ringan di tempat ini buat mereka yang datang berekreasi di tempat ini. Belum lagi memungut hasil hutan berupa kakao, asam, mente, kemiri.

Kawasan ini juga bisa dikelola dengan konsep alley cropping jahe, nenas, kunyit,ubi jalar, atau aneka sayur; beternak ayam, kambing, babi, dan lain-lain. Untuk itu, bisa diusulkan untuk mendapatkan HGU. Kenyataan yang kami dapatkan di beberapa kawasan adalah pondok jaga dibangun, bahkan sekadar dibangun, lalu dibiarkan terlantar, tidak ada tempat duduk. Namun di beberapa kawasan lainnya kontraktor membangun pondok jaga dengan sepenuh hati, yang tampak punya visi besar.

Pondok jaga untuk kawasan hutan

Di pondok jaga ini ditempatkan beberapa orang untuk menjaga dan merawat tanaman selama 2 (dua) tahun. Mereka selalu berada di pondok jaga dan secara bergantian bermalam di pondok jaga. Ketika diajak ngobrol tentang penanaman tanaman kehutanan mereka menjelaskan dengan baik, seperti jarak tanam, jenis tanaman, jumlah tanaman, dan masalah yang dialami selama bertugas.

Pengalaman yang menarik, namun kurang menyenangkan ketika melakukan penilaian tanaman kehutanan di Lembata pada Desember 2019. Ketika berada di kawasan, kami alami suasana sepi dan lengang. Tidak ada warga yang bisa kami ajak jalan-jalan untuk melihat tanaman yang mereka tanam. Agar di antara kami bisa saling belajar. Setelah sedikit lelah di lereng bukit mencari-cari tanaman yang hidup, saya kembali ke pondok jaga.

Lelah, lantaran teriknya matahari yang aduhai, kemarau panjang yang berdampak kematian tanaman kehutanan yang ditanam tahun 2018. Di pondok jaga saya seorang diri; sementara rekan-rekan saya belum juga kembali. Pukul 24.00 Wita, burung hantu, burung malam, burung gagak, burung elang, dan aneka suara burung lainnya bersahutan membuat suasana gaduh dan mencekam.

Tiba-tiba, saya berpikir untuk merekam suara burung. Ketika saya menghidupkan rekaman untuk merekam suara burung, suara-suara aneka burung itu mendadak berhenti seolah ada yang memberikan perintah. Suasana kembali sunyi dan terus mencekam.

Aneh memang.

Saya seorang diri di pondok jaga hingga datang dua anak muda yang konon ditugaskan di tempat ini dengan upah Rp300.000 per bulan.

Pukul 13.15 Wita, rekan-rekan saya kembali ke titik kumpul di pondok jaga yang dibangun sekadarnya dan terlantar. Mereka dengan kesal mengatakan bahwa hanya sedikit saja tanaman hidup, itu pun tumbuh merana kalah bersaing dengan rumput padang yang mengering di musim kemarau. Mereka juga kesal karena tidak ada yang mendampingi. Lalu kami kembali ke kampung untuk selanjutnya melakukan penilaian di petak I dan II.

Lagi-lagi, sulit sekali mengajak orang menemani kami. Belum lagi masalah kendaraan. Ketika di petak I dan II, kami menemukan kenyataan yang sama. Sebagian besar tanaman mati. Satu dua yang tumbuh pun sangat merana, kalah bersaing dengan rumput padang yang mengering dan rawan terbakar.

Di atas puncak bukit, saya duduk merenung sambil melihat indahnya pemandangan pasir putih di Mingar dan Selat Boleng. Di Bukit ini, bukit Tanjung Suba Wutuk, Tanjung Naga di atas batu vulkanik tua, saya duduk merenung memandang ke arah laut Sawu dan Selat Lamakera; sambil menghitung-hitung anakan kapuk hutan sesuai catatan saya yang tumbuh dan hidup walau merana diterpa terik kemarau panjang hingga Desember 2019.

Pada Desember 2018, kami ke tempat ini diguyur hujan. Kondisi alam bak permadani hijau, air jernih mengalir ke semua tempat. Saya berkhayal, jika setiap hektar 100 pohon kapuk hutan hidup dan terus tumbuh, maka pada lahan seluas 100 hektar yang ditanami kapuk hutan program penghijaun kawasan hutan, akan hidup 10.000 pohon kapuk hutan, atau wukak menurut bahasa setempat, membentuk kawasan hutan dengan vegetasi kapuk hutan.

Mungkin kawasan ini memiliki daya tarik wisata alam kapuk hutan di Tanjung Naga.

Sangat disayangkan mereka yang diberikan kepercayaan mengelola kawasan ini tidak punya visi, hanya terpaku pada tujuan jangka pendek, yaitu sedikit keuntungan dari dana proyek yang bisa digunakan untuk apa saja, termasuk bersenang-senang. Karena tidak punya visi dan arah tujuan ke mana tempat ini akan dibawa kelak kemudian, tempat ini dibiarkan berlabuh ibarat kapal tanpa awak. Tempat ini kawasan Suba Wutuk, amat subur, kawasan datar nan luas dengan sedikit bukit membentuk panorama nan indah bak permadani hijau. Tempat ini di tahun 1990-an oleh pemerintah Flores Timur dijadikan padang penggembalaan, dibangun sejumlah fasilitas peternakan sapi, dan dilepas ratusan ternak sapi untuk berkembang biak, sayangnya program itu kini pun tidak berlanjut.

Desember 2018, saya ambil gambar di tempat ini, saya kirim ke teman-teman melalui media Whatsap, termasuk ke anak saya. Semua berkomentar atas gambar itu seakan-akan kami meninggalkan kampus dan datang berwisata dan bersanang-senang di tempat ini. Anak saya memberi komentar, “bapak yang sudah ada cukup sudah, yang ada saja kita susah kelola, mau beli tambah lagi”. Karena kebiasaan saya suka membeli tanah di tempat-tempat yang jauh dari pemukiman bahkan terisolasi.

Sebelumnya, tahun 1985, saya ambil tanah di Belo; jauh dari Naikoten II dan jauh pula dari jalan raya. Anak saya bilang ke teman-temannya “bapak saya itu orang gila, karena hanya orang gila dan linglung saja yang mau membeli tanah di tempat seperti ini.” Sekarang Belo sudah menjadi kawasan pemukiman elit, tempat yang dulunya dirintis “orang gila dan linglung”.

Lalu main-main ke Batakte, Kupang Barat, bertemu dengan tuan tanah yang menawarkan “sepiring nasi” dalam wujud tanahnya yang luas. Itu lebih gila lagi karena kawasan savana belukar, jauh dari kampung, jauh dari jalan raya. Untuk datang ke tempat ini harus berjalan kaki. Lalu ajak orang kampung buat jalan yang bisa dilewati kendaraan roda dua dan empat untuk bisa membangun di kawasan ini.

Warga heran, khawatir, karena tempat ini angker. Warga amat takut datang ke tempat ini. Sekarang jalan sudah beraspal karena tempat ini kini sudah menjadi kawasan pemukiman penduduk, menyisahkan kawasan hutan buatan seorang vioner yang cenderung gila dan linglung.

Batakte, 7 Februari 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *