Jenete mengungkapkan saat ini sementara mengelola lahan seluas 1,5 hektar. Jenis tanaman hortikultura dilakukan penanaman bergulir. Ke depan, ia bakal memfokuskan menanam cabai karena dapat beradaptasi dengan musim.
Kupang | Satu dasawarsa terdapat gap antara ilmu dan praktik petani kecil dalam bertani. 30 tahun lalu, petani masih menggunakan tradisi bertani relevan, namun di tengah tantangan iklim yang semakin keras, mereka perlu beradaptasi dan modifikasi dengan pengetahuan baru.
Menilik kondisi tersebut, maka CIRMA (Centrum Inisiatif Rakyat Mandiri) sebuah private foundation sekaligus sebagai organisasi masyarakat sipil di level sub-nasional merangkai skema program untuk memajukan petani kecil. Seperti pelatihan yang dihelat pada 20—22 Mei 2025 di Neo El Tari Kupang.
Perlu diketahui, yayasan ini didirikan pada 2018, didedikasikan untuk mengkatalisasi perubahan positif pada komunitas miskin dan miskin ekstrem melalui program berbasis komunitas di bidang sanitasi, akses air bersih, keadilan iklim, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, pertanian cerdas iklim dan pemberdayaan ekonomi.
Adapun sekitar 20 petani (termasuk penyuluh pertanian dan petani milenial) dari kabupaten/kota dari daratan Timor terdiri dari 12 orang utusan dari 6 desa dan 2 petani milenial. Mereka dilengkapi pengetahuan tentang iklim kemudian diharapkan dapat mentransfer pengetahuan atau pemahaman kepada petani di desa masing-masing.
Direktur CIRMA, John Mangu Ladjar menyampaikan, pelatihan ini menjadi bekal bagi mereka menjadi local champion di setiap kampung sehingga bisa memulai aksi-aksi bagaimana mendorong, memajukan petani dari aspek pengetahuan dan praktik-praktik petani yang lebih cerdas.
Dikatakan Jhon, CIRMA berkolaborasi dengan BMKG sejak Januari 2025, sebagai mitra strategis membangun capacity building bagi staf dan petani-petani kecil yang ada di 30 desa.
“Kita terus speak up agar praktik baik ini direplikasi bagi pihak-pihak yang punya misi yang sama untuk pertanian cerdas iklim di daratan Timor,” tandasnya.

Jenete To’kuan, petani milenial asal TTS jadi pionir
Jenete To’kuan, guru honorer bahasa Inggris di SD Negeri Penmina, mengajar hanya tiga hari, sisanya tiga hari dalam seminggu digunakan menjadi petani.
Perempuan kelahiran Bisuaf, Timor Tengah Selatan, 31 Januari 2001 ini tertarik melakoni pertanian itu karena orang tua petani, melihat prospek melihat dunia kerja yang semakin sempit, lalu melihat lahan tidur sebagai suatu peluang.
Perempuan berusia 24 tahun berdomisili di Bisuaf, Dusun 03 Desa Noinbila Kecamatan Mollo Selatan ini pun menjabarkan bagaimana cara mengelola lahan tidur itu, menanam sesuatu dari situ dan mendapatkan uang dari situ.
“Jadi misalnya saya kuliah ambil guru, saya harus menjadi guru. Saya kuliahnya sarjana ekonomi harus kerja di kantor, tidak perlu. Bisa lihat peluang yang ada di kampung kita, daripada kita pergi untuk cari uang di luar dengan menjadi TKW, lebih baik kita gunakan dan olah lahan tidur di sekitar kita,” tekannya.
Jane pun mengungkapkan saat ini sementara mengelola lahan seluas 1,5 hektar. Jenis tanaman hortikultura dilakukan penanaman bergulir seperti wortel, cabai, petcai, terong, kol. Ke depan ia bakal memfokuskan menanam cabai karena dapat beradaptasi dengan musim.
Jane juga mengakui dengan mengikuti pelatihan yang dihelat oleh CIRMA, dia lebih paham tentang cuaca dan iklim. Saat ini, petani menanam hanya memprediksi, mendengarkan penjelasan BMKG dengan prediksi-prediksi apa yang akan terjadi tiga bulan, enam bulan ke depan. Dan tidak hanya menggunakan insting saja.
“Pelatihan ini menjanjikan petani cerdas iklim dan membantu kami memahami adaptasi perubahan iklim,” tutupnya.
Penulis (+roni banase)