Cerpen “Jeritan Istri, Ratapan Anak Diplomat”

Loading

Oleh : Rosadi Jamani

Malam itu harusnya sederhana. Di bawah temaram lampu jalan, seorang istri berdiri menunggu di pintu rumah. Priscillia menatap suaminya, Zetro Leonardo Purba, diplomat muda Indonesia, yang mengayuh sepeda dengan senyum lelah. Ia ingin segera menyambutnya, meraih tangan suami tercinta, lalu masuk bersama ke rumah, bercengkerama dengan tiga buah hati mereka.

Namun takdir kejam datang tanpa aba-aba. Deru motor meraung, dua sosok asing melintas cepat. Lalu, dor! dor! dor! tiga peluru menyalak, merobek malam, merobek tubuh lelaki itu. Zetro terhuyung, darah menyembur, lalu jatuh di aspal tepat di depan mata istrinya.

Priscillia menjerit, suara parau yang memecah langit,

“Bang… jangan tinggalkan aku, Bang!”

Ia berlari, memeluk tubuh yang masih hangat tapi semakin dingin. Darah membasahi bajunya, mengalir ke tangannya, bercampur dengan air mata yang jatuh tanpa henti. Tubuhnya gemetar, bibirnya bergetar, suaranya pecah,

“Kau janji kita akan tua bersama, Bang… kau janji akan lihat anak-anak kita besar… jangan pergi sekarang… jangan di depan mataku…”

Orang-orang berkumpul, lampu-lampu menyinari tubuh yang tergeletak. Tapi bagi sang istri, dunia sudah runtuh. Detik itu, ia bukan lagi perempuan yang punya sandaran hidup. Ia hanya seorang istri yang kehilangan separuh jiwanya.

Di klinik, saat monitor medis menampilkan garis lurus, tangisnya meledak,

“Ya Tuhan… ambil nyawaku saja, jangan dia… anak-anak kami butuh ayahnya…”

Namun doa itu hanya bergema di ruangan dingin. Zetro pergi, tak kembali.

Di rumah, tiga anak menunggu. Si sulung, dengan wajah polos, bertanya, “Ma, ayah kenapa lama?” Si tengah menggenggam boneka lusuh, memandang pintu seakan ayahnya akan muncul membawa senyuman. Si bungsu, yang bahkan belum bisa memahami arti kehilangan, hanya menangis keras mencari dekapan ayah.

Priscillia menatap mereka, hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ayah mereka kini tidur dalam peti dingin? Dengan suara tersendat, ia berkata,

“Nak… ayah kalian sudah pergi. Ayah tak akan pulang lagi…”

Tangisan anak-anak pun pecah. Si sulung mencoba menahan air mata, tapi tubuh kecilnya bergetar. Si tengah berbisik lirih sambil menatap foto ayah di meja:

“Ayah, jangan tinggalin aku… aku masih butuh ayah…”

Si bungsu, dengan tangis yang belum bisa diucapkan dengan kata-kata, hanya memeluk ibunya erat-erat.

Kini rumah itu sunyi. Kursi makan yang dulu penuh tawa kini kosong. Sepeda yang dikayuh Zetro malam itu masih terparkir, menjadi saksi bisu. Foto keluarga di dinding kini bukan lagi sumber bahagia, melainkan belati yang menusuk tiap kali dipandang.

Setiap malam, Priscillia terduduk di kursi ruang tamu, menatap pintu, berharap keajaiban terjadi. Ia sering berbisik pada udara, seolah suaminya masih bisa mendengar,

“Bang… pulanglah sekali lagi. Aku janji tak kan melepasmu lagi. Pulanglah, meski hanya dalam mimpi…”

Air matanya jatuh, membasahi lantai

Malam Lince bukan hanya lokasi kejahatan. Ia adalah makam luka, tempat di mana seorang istri kehilangan separuh nyawa, dan tiga anak kehilangan pelukan ayah mereka. Tragedi ini bukan sekadar berita. Ia adalah jeritan manusia, jeritan cinta yang dipaksa hancur oleh kekejaman peluru.

Dari kisah pilu ini, kita belajar bahwa di balik setiap seragam, jabatan, atau pangkat yang melekat pada seseorang, ada hati yang berdenyut, ada keluarga yang mencintai, dan ada air mata yang jatuh diam-diam ketika takdir merenggut paksa. Seorang diplomat bukan hanya representasi negara, tetapi juga seorang suami, seorang ayah, seorang manusia yang sama rapuhnya dengan kita. Tragedi ini mengingatkan kita bahwa nyawa jauh lebih berharga dari segala bentuk ambisi, kekerasan, atau kekuasaan yang dipertaruhkan di jalanan.

Ratapan istri dan tangisan anak-anaknya adalah jeritan nurani yang seharusnya mengguncang dunia. Bahwa, kekerasan tidak hanya melukai korban, tetapi juga memutuskan banyak ikatan kasih yang tak tergantikan. Hidup ini fana, sementara cinta keluarga adalah abadi.(*)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *