Dokumen RUU Perampasan Aset. Draftnya beredar ke mana-mana, sampai emak-emak arisan pun lebih paham pasal perampasan dibanding harga cabe rawit. Ini semua dipicu ultimatum mahasiswa yang gagah perkasa, mengibarkan spanduk di Senayan, memberi DPR tenggat 30 hari untuk mengesahkan.
Hari ini, jam pasir sudah menetes seminggu, dan para wakil rakyat masih sibuk berdebat, mungkin tentang warna karpet ruang sidang ketimbang nasib bangsa.
RUU ini, bila disarikan dengan bahasa warung kopi, intinya negara bisa merampas aset tanpa harus nunggu pelakunya terbukti bersalah di pidana. Ya, bayangkan ada mobil mewah parkir di depan rumah, asal-usulnya gelap, negara bisa bilang, “Sini mobilnya, masuk garasi republik!” Konsepnya disebut civil forfeiture, rezim hukum in rem, alias yang diadili bukan manusianya tapi hartanya. Filosofinya? Kalau harta sudah berdosa, biar manusianya pura-pura suci, tetap saja hartanya ditarik ke kas negara.
Tentu, di atas kertas, ini tampak heroik. Aset hasil korupsi, narkoba, pembalakan liar, judi daring, semua bisa disapu, tak peduli pelakunya mati, kabur, sakit permanen, atau entah menguap ke dimensi lain. Bahkan Pasal 5 tegas menyebut, aset hasil tindak pidana, aset yang dipakai untuk kejahatan, aset pengganti, sampai barang temuan seperti kayu gelondongan misterius di hutan pun bisa dicaplok negara. Tidak main-main, syaratnya jelas, minimal Rp100 juta dan terkait pidana dengan ancaman 4 tahun penjara.
Namun, di balik semangat sakti itu, ada aroma bahaya. Bayangkan Pasal 38, yang menyuruh pihak ketiga yang keberatan membuktikan sendiri bahwa asetnya sah. Artinya rakyat jelata yang punya rumah sederhana tapi dipakai menumpang sembunyi koruptor, bisa dituntut menunjukkan surat tanah, kuitansi, sampai foto saat gali fondasi. Beban pembuktian bergeser, asas praduga tak bersalah mendadak berubah jadi praduga tak mampu. Filosof hukum klasik dari Beccaria mungkin akan bangkit dari kubur sambil teriak, “Hei, yang kau adili manusia, bukan kasur busa!”
Lebih absurd lagi, Jaksa Agung jadi tokoh sentral. Ia bukan cuma tukang dakwa, tapi juga bendahara, manajer aset, bahkan bisa menjual barang rampasan sebelum ada putusan tetap. Pasal 56 membolehkan lelang dulu, urusan siapa pemiliknya belakangan. Uang hasil lelang? Masuk kas negara sebagai penerimaan bukan pajak. Kalau barang tak laku? Pasal 57 santai bilang, ya sudah, jadi milik negara saja. Luar biasa, negara kita bisa jadi reseller barang haram dengan stempel legal.
Di sisi lain, RUU ini memang selaras dengan Konvensi PBB Antikorupsi 2003, yang sudah disahkan lewat UU 7/2006. Dunia menuntut kita keras pada korupsi. Investor asing pun diyakini bakal tersenyum manis melihat Indonesia berani memburu harta haram.
Publik tentu juga mendukung, siapa sih yang tak mau lihat rumah koruptor berubah jadi panti jompo, mobil narkoba jadi ambulans, atau vila gelap jadi rumah baca?
Tetapi mari jujur, undang-undang secanggih apa pun bisa runtuh bila mental pengelola miring. Tanpa pengawasan ketat, pasal-pasal itu bisa menjelma jadi pedang bermata tumpul ke oligarki, tapi tajam ke rakyat kecil. Maka, dukungan publik harus keras, bukan sekadar bersorak di jalan. Rakyat harus kawal, awasi, tuntut transparansi.
Mahasiswa sudah berteriak, “Sahkan atau kami turun lagi!” DPR menunduk pura-pura sibuk batuk, padahal tangannya sibuk menghitung jatah parkir di Senayan. Rakyat menunggu, seperti nonton sinetron, apakah ini happy ending, atau lagi-lagi drama politik penuh iklan?
Absurdnya, kalau RUU ini gagal, rakyat bakal bilang DPR takut kehilangan asetnya sendiri. Kalau lolos, rakyat tetap harus awasi, jangan sampai hasil rampasan berubah jadi proyek wisata elite. Filsafat hukumnya sederhana, harta haram harus dirampas, tapi akal sehat rakyat jangan ikut dirampas.
Maka, mari kita kawal. Kalau perlu, bikin aplikasi baru, “GoRampas” order rampas aset koruptor terdekat, rating lima bintang kalau cepat cair.
“Kenapa Dewan sangat takut dengan RUU itu, Bang?”
“Kalau takut tentu ada apa-apanya. Saya suka motto LSM merangkap wartawan, kalau merasa benar kenapa mesti takut.” (*)
Penulis (*/Rosadi Jamani,Ketua Satupena Kalbar)