Oleh : Prof. Dr. Intje Picauly, S.Pi., M.Si.
Program makan bergizi gratis (MBG) di sekolah merupakan inisiatif yang telah diterapkan oleh banyak negara di dunia dengan berbagai keberhasilan dan tantangan. Negara-negara seperti Finlandia dan Swedia berhasil menerapkan program MBG secara universal dan berkualitas tinggi dengan dukungan pemerintah yang kuat dan perencanaan yang matang.
Sementara itu, negara seperti Jepang menekankan pada pendidikan gizi sebagai bagian integral dari program MBG. Di sisi lain, negara India dan Brasil menyebutkan bahwa program MBG sangat diperlukan untuk mengatasi masalah sosial seperti kecukupan gizi dan menekan kemiskinan namun masih memiliki tantangan seperti kualitas makanan, korupsi, dan logistik harus dihindari dengan cermat untuk mencapai keberhasilan yang optimal.
Lebih dari semua hal yang dibahas diatas, program MBG diharapkan dapat memberikan dampak positif yang signifikan, dalam meningkatkan gizi, kehadiran sekolah, dan hasil akademik.
Pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG) di Indonesia, yang kini menjadi salah satu kebijakan prioritas pemerintah, memiliki kekuatan dan tantangan yang kompleks. Keberhasilan dan kegagalannya sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis, sosial, dan ekonomi di setiap daerah.
Sejak pertama pelaksanaan progam MBG di Indonesia sampai saat ini sudah ada kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan sesuai harapan program ini diberbagai tempat pelaksanaan program termasuk Provinsi NTT. Hal ini berarti bahwa masih perlu banyak pembenahan pada semua aspek pelaksanaan program MBG melalui pengkajian terstruktur untuk mendapatkan masukan atau rekomendasi agar lebih kualitas produk MBG dapat ditingkatkan untuk memperoleh dampak positif yang diharapkan berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat, daerah, sampai masyarakat pengguna program dimaksud.
Berikut analisis kekuatan dan tantangan program ini, dengan penekanan khusus pada konteks Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kekuatan pelaksanaan MBG di Indonesia
Mengatasi masalah gizi dan stunting : Indonesia memiliki masalah gizi kronis, termasuk stunting. Program MBG bertujuan untuk memberikan asupan nutrisi yang memadai kepada anak-anak usia sekolah, yang merupakan investasi jangka panjang untuk kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Makanan bergizi dapat meningkatkan konsentrasi, daya tahan tubuh, dan pertumbuhan fisik siswa.
Meningkatkan partisipasi dan kehadiran sekolah : Pemberian makanan gratis dapat menjadi insentif bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk datang ke sekolah. Hal ini berpotensi menurunkan angka putus sekolah dan meningkatkan akses pendidikan yang setara.
Meringankan beban ekonomi keluarga : Bagi keluarga berpenghasilan rendah, biaya makan anak di sekolah dapat menjadi beban finansial yang signifikan. Program ini dapat mengurangi pengeluaran harian orang tua, sehingga dana tersebut bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak.
Mendorong ekonomi lokal : Jika program ini diimplementasikan dengan strategi pengadaan bahan baku dari petani atau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal, ini dapat menciptakan perputaran ekonomi di tingkat desa dan daerah.
Kelemahan dan tantangan pelaksanaan MBG di Indonesia
Beban anggaran yang sangat besar : Anggaran yang dibutuhkan untuk menjalankan program ini secara nasional sangat besar, berpotensi membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kekhawatiran muncul tentang keberlanjutan pendanaan dan bagaimana program ini akan didanai tanpa mengorbankan sektor-sektor lain yang sama pentingnya.
Kendala logistik dan distribusi : Indonesia adalah negara kepulauan yang luas dengan infrastruktur yang tidak merata. Distribusi bahan makanan segar ke daerah-daerah terpencil, terutama di pedalaman atau pulau-pulau kecil, menjadi tantangan besar. Keterlambatan pengiriman atau kerusakan makanan dalam perjalanan bisa mengurangi manfaat program.
Kualitas dan keamanan makanan : Ada risiko besar terkait kualitas dan keamanan makanan. Makanan yang disajikan harus memenuhi standar gizi yang ketat dan diolah secara higienis. Kasus keracunan makanan di sekolah yang terjadi di beberapa daerah menunjukkan bahwa pengawasan dan sanitasi masih menjadi masalah serius.
Koordinasi dan tata kelola : Pelaksanaan program ini melibatkan banyak pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, sekolah, hingga komunitas lokal. Kurangnya koordinasi yang efektif, transparansi, dan mekanisme pengawasan yang kuat dapat menyebabkan penyalahgunaan dana, korupsi, dan ketidaktepatan sasaran.
Tantangan MBG di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Provinsi NTT, dengan kondisi geografis dan sosial-ekonomi yang khas, menghadapi tantangan yang lebih kompleks dalam implementasi MBG antara lain
Kondisi geografis dan logistik yang sulit : NTT terdiri dari ribuan pulau, dan banyak sekolah berada di daerah terpencil yang sulit dijangkau. Jalan yang rusak, ketiadaan transportasi umum, dan biaya logistik yang tinggi membuat pengiriman bahan makanan segar menjadi sangat mahal dan tidak efisien.
Masalah gizi ganda : Selain stunting, NTT juga menghadapi masalah gizi lain, seperti kekurangan gizi mikro. Pemberian makanan harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik anak-anak di daerah tersebut. Menu yang seragam di seluruh Indonesia mungkin tidak efektif untuk mengatasi masalah gizi yang bervariasi.
Keragaman pangan lokal : Meskipun NTT kaya akan pangan lokal seperti jagung, sorgum, ubi-ubian, dan kelor yang sangat bergizi, tantangannya adalah mengintegrasikan pangan lokal ini ke dalam menu program MBG secara terstruktur. Pemanfaatan bahan lokal dapat mendukung ketahanan pangan dan ekonomi daerah, tetapi memerlukan perencanaan yang matang.
Risiko keracunan makanan: Mengingat keterbatasan infrastruktur, keterbatasan air bersih dan sanitasi, risiko keracunan makanan menjadi sangat tinggi di NTT. Kejadian dugaan keracunan makanan yang telah terjadi di beberapa sekolah di NTT menjadi bukti nyata bahwa pengawasan dan penjaminan mutu makanan harus menjadi prioritas utama.
Secara keseluruhan, meskipun program MBG di Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan kualitas SDM dan kesejahteraan masyarakat, keberhasilannya sangat bergantung pada kemampuan pemerintah pusat sampai daerah untuk mengatasi tantangan yang ada, terutama di daerah-daerah 3T dengan dengan tingkat kemiskinan terekstrim seperti NTT yang memiliki karakteristik unik dan kendala yang signifikan. Diperlukan pendekatan yang fleksibel, berbasis komunitas, dan disesuaikan dengan kearifan lokal untuk memastikan program ini benar-benar efektif dan berkelanjutan.
Pada proses pengolahan makanan bergizi, terdapat beberapa titik kritis yang harus diperhatikan untuk menjamin keamanan dan kualitas makanan. Titik kritis adalah tahapan dalam proses di mana tindakan pengendalian harus diterapkan untuk mencegah, menghilangkan, atau mengurangi bahaya hingga batas yang dapat diterima.
Berikut titik-titik kritis utama dalam proses pengolahan makanan bergizi gratis dengan menggunakan metode pengolahan pangan secara masal :
1. Titik kritis pengadaan bahan baku
Tahap ini sangat fundamental. Bahan baku yang tidak berkualitas atau terkontaminasi sejak awal akan sulit diperbaiki di tahap selanjutnya.
Penerimaan bahan baku : Penting untuk memeriksa kualitas, kesegaran, dan kebersihan bahan makanan segera setelah diterima. Pastikan tidak ada tanda-tanda kerusakan fisik (misalnya memar pada buah, perubahan warna pada daging) atau kontaminasi (misalnya adanya serangga, jamur). Suhu bahan makanan yang mudah rusak seperti daging, ikan, dan produk susu harus selalu terjaga.
Sumber bahan baku : Kejelasan asal-usul bahan baku sangat penting. Membeli dari pemasok yang terpercaya dan terdaftar akan mengurangi risiko kontaminasi dari sumber yang tidak diketahui.
Distribusi bahan baku : pengantaran dan pengemasan bahan baku dari pusat produksi (pemasok) dapat mempengaruhi kualitas bahan pangan. Semakin jauh tempat pengolahan dan pusat produksi (pemasok) akan lebih besar pengaruhnya terhadap kualitas termasuk kandungan gizi bahan pangan.
2. Titik kritis penyimpanan
Penyimpanan yang tidak tepat dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri, pembusukan, dan hilangnya nutrisi.
2.1. Suhu dan kelembaban : Bahan makanan yang mudah busuk harus disimpan pada suhu yang tepat. Daging, ikan, dan produk susu perlu disimpan di lemari pendingin atau freezer untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Bahan kering seperti biji-bijian atau tepung harus disimpan di tempat yang sejuk dan kering untuk menghindari kelembaban yang bisa memicu pertumbuhan jamur.
2.2. Pemisahan bahan : Makanan mentah dan matang harus disimpan terpisah untuk menghindari kontaminasi silang. Wadah penyimpanan harus bersih dan tertutup rapat.
3. Titik kritis persiapan bahan
Proses ini melibatkan penyiapan bahan sebelum dimasak, seperti mencuci dan memotong.
Pencucian dan pembersihan : Semua buah dan sayuran harus dicuci bersih dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa tanah, pestisida, atau kotoran. Alat-alat yang digunakan (pisau, talenan) juga harus bersih dan berbeda antara bahan mentah dan matang.
Pencairan (Thawing): Mencairkan bahan makanan beku, seperti daging, harus dilakukan dengan aman. Metode terbaik adalah mencairkannya di dalam kulkas, bukan di suhu ruangan, karena suhu ruangan dapat memicu pertumbuhan bakteri berbahaya.
4. Titik kritis pemasakan
Tahap ini adalah yang paling penting untuk menghilangkan bakteri penyebab penyakit.
Suhu dan waktu memasak : Makanan harus dimasak hingga suhu yang aman untuk membunuh bakteri. Misalnya, daging ayam harus dimasak hingga suhunya mencapai setidaknya 74°C. Suhu dan waktu memasak yang tepat juga menjaga kandungan nutrisi makanan.
Peralatan memasak : Peralatan seperti panci, wajan, dan kompor harus dalam kondisi bersih. Catatan : Semakin besar kuantitas bahan pangan atau makanan yang dimasak maka faktor waktu dan peralatan menjadi penentu utama makanan layak dikonsumsi atau tidak.
5. Titik kritis penyajian dan distribusi
Setelah matang, makanan harus disajikan dengan benar untuk menjaga keamanan dan kualitasnya.
Suhu makanan : Makanan yang sudah matang harus disajikan dalam suhu yang aman (di atas 60°C) untuk mencegah pertumbuhan bakteri sebelum makanan dikemas dalam posisi tertutup rapat.
Penyajian yang higienis : Petugas penyaji harus memastikan kebersihan diri (mencuci tangan, memakai sarung tangan) dan menggunakan peralatan bersih. Makanan harus segera disajikan setelah matang untuk menghindari kontaminasi dari lingkungan.
6. Titik kritis pengawasan dan evaluasi
Titik kritis terakhir adalah pengawasan berkelanjutan dan evaluasi dari semua tahapan di atas.
Sistem pengawasan : Harus ada sistem yang memantau setiap titik kritis.
Pelatihan dan pendidikan : Semua pihak yang terlibat, mulai dari juru masak hingga petugas distribusi, harus mendapatkan pelatihan rutin tentang standar kebersihan dan keamanan pangan.
Evaluasi Proses : tahapan ini harus dilaksanakan secara terbuka dan berjenjang.
Untuk mengevaluasi program Makan Bergizi Gratis (MBG), ada beberapa bagian penting yang harus dievaluasi secara menyeluruh, mencakup setiap aspek dari perencanaan hingga dampak akhir. Berikut adalah bagian-bagian yang harus dievaluasi:
Evaluasi perencanaan dan kebijakan
Bagian ini fokus pada desain program di tingkat makro.
Tujuan dan target : Apakah tujuan program (misalnya, penurunan stunting) terdefinisi dengan jelas dan realistis? Apakah target penerima manfaat (anak sekolah, ibu hamil) sudah tepat sasaran? Sistem : open target atau close target
Pertanyaannya : Bagaimana dengan nasib anak-anak putus sekolah ?
Pendanaan dan anggaran : Apakah alokasi anggaran mencukupi dan efisien? Apakah ada transparansi dalam penggunaan dana dan apakah program ini berkelanjutan secara finansial dalam jangka panjang?
Kemitraan dan koordinasi : Bagaimana koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sekolah, dan pihak swasta (vendor)? Apakah ada pembagian tugas yang jelas dan efisien?
Evaluasi rantai pasok dan logistik
Bagian ini menilai efisiensi dan keandalan sistem pengadaan dan distribusi.
Pengadaan bahan baku : Apakah bahan baku yang digunakan berkualitas, higienis, dan konsisten? Apakah ada pemanfaatan bahan pangan lokal secara maksimal?
Sistem distribusi : Seberapa cepat dan efisien makanan didistribusikan dari dapur pusat ke sekolah-sekolah? Apakah ada kendala logistik, terutama di daerah terpencil?
Fasilitas penyimpanan : Apakah ada fasilitas yang memadai untuk menyimpan bahan baku dan makanan jadi agar tetap segar dan aman?
Evaluasi proses pengolahan makanan
Bagian ini fokus pada tahap kritis di mana makanan disiapkan.
Fasilitas dan peralatan dapur: Apakah pusat pengolahan memenuhi standar kebersihan? Apakah peralatan yang digunakan memadai dan terawat?
Kualitas menu dan kandungan gizi: Apakah menu yang disajikan seimbang secara gizi, bervariasi, dan sesuai preferensi atau disukai oleh anak-anak? Apakah ada tim ahli gizi terampil dan terdidik yang terlibat dalam perencanaan menu?
Higienitas dan keamanan pangan: Apakah ada protokol ketat untuk kebersihan dan sanitasi? Apakah kasus keracunan makanan dapat dicegah dan ditangani dengan cepat?
Evaluasi dampak dan hasil
Bagian ini mengukur hasil nyata dari program di lapangan.
Dampak kesehatan: Apakah program berhasil menurunkan angka stunting, anemia, dan masalah gizi lainnya? Apakah ada laporan tentang peningkatan berat badan dan tinggi badan anak?
Dampak pendidikan: Apakah ada peningkatan kehadiran dan partisipasi siswa di sekolah? Apakah konsentrasi dan prestasi belajar mereka meningkat?
Dampak sosial dan ekonomi: Apakah program ini meringankan beban ekonomi keluarga? Apakah program ini berkontribusi pada pemberdayaan petani lokal dan UMKM?
Evaluasi pengawasan dan akuntabilitas
Bagian ini menilai bagaimana program dipantau dan dipertanggungjawabkan.
Sistem pemantauan : Apakah ada sistem yang efektif untuk memantau setiap tahap program, dari pengadaan hingga konsumsi?
Mekanisme pelaporan : Apakah ada mekanisme pelaporan yang transparan dan real-time? Siapa yang bertanggung jawab untuk melaporkan masalah dan bagaimana masalah tersebut ditindaklanjuti?
Keterlibatan masyarakat : Apakah ada mekanisme bagi masyarakat, orang tua, dan guru untuk memberikan masukan atau melaporkan masalah? Keterlibatan ini penting untuk memastikan program berjalan sesuai kebutuhan di lapangan.
Tahapan evaluasi menjadi lebih penting mengingat semua program pemerintah dan dikonsumsi khayalak umum menjadi standar utama dalam keberhasilan program.
Menjadi kesimpulan bahwa Program MBG sangat tepat dalam menunjang kualitas generasi muda dan tepat dalam mendukung upaya pengentasan kemiskinan. Namun, program ini dapat terlaksana dengan baik jika didukung oleh kerjasama berbagai lintas sektor.(*)
Penulis memiliki kepakaran (keahlian) pada ekologi pangan dan gizi masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana (FKM Undana)