Telisik Hendi, Koruptor Lulusan Amerika Yang Ditangkap KPK

Loading

Prabowo yang ingin membersihkan para brengsek di BUMN mulai terbukti. Lewat KPK, Hendi Prio Santoso, jadi korban pertama. Nama Hendi dulunya melambung setinggi gas bumi yang ia kelola. Kini jatuh berdebam seperti tabung gas tiga kilo yang bocor di dapur ibu-ibu kompleks.

Hendi lahir di Jakarta, 5 Februari 1967. Ia pernah dipuja sebagai putra terbaik bangsa. Lulusan Amerika Serikat, pemegang gelar Bachelor of Business Administration di bidang Finance dan Economics. Anak bangsa dari tanah air yang bisa menembus University of Texas dan University of Houston. Sebuah prestasi yang membuatnya layak duduk di singgasana korporasi milik negara. Dari JP Morgan Securities, ia melangkah penuh gaya ke PGN. Lalu, mendaki puncak Semen Indonesia, hingga akhirnya memegang tongkat kekuasaan sebagai Direktur Utama MIND ID, holding tambang raksasa negeri ini.

Ia pernah dipuji sebagai sosok modern, rasional, dengan visi global. Dalam laporan LHKPN, ia tercatat punya harta Rp218 miliar lebih, dengan tanah dan bangunan bak kerajaan kecil, kas yang menggunung. Bahkan, sebuah Alphard mewah dan motor Revo sederhana, seolah ingin menunjukkan sisi merakyat. Luar biasa, seorang direktur yang bisa hidup di antara angka miliaran, namun tetap menyimpan sepeda motor rakyat jelata. Semua orang mungkin pernah percaya, Hendi adalah simbol manajemen profesional yang lahir dari rahim globalisasi.

Tapi sebagaimana filsafat gas, mengalir ke ruang kosong, tak terlihat, tapi perlahan mencekik jika bocor. Begitulah kisahnya berakhir di tangan KPK. Dari pucuk direktur hingga jeruji besi, hanya butuh satu pasal dan satu transaksi. Dugaan suap USD 500 ribu dan advance payment USD 15 juta dalam kasus jual-beli gas antara PGN dan PT Inti Alasindo Energy menjungkirbalikkan marwahnya. Uang sebanyak itu bukan sekadar angka, melainkan simbol kerakusan manusia yang lupa bahwa setiap rupiah dari BUMN adalah keringat rakyat. Ia yang pernah bicara efisiensi kini justru menjadi representasi inefisiensi paling brutal, mencuri hak publik dengan menyelipkan fee di balik kontrak.

Filsafat korupsi berkata, manusia yang terlalu lama memegang kekuasaan akan melihat uang sebagai oksigen, dan tanpa sadar ia berhenti bernapas dengan moral. Hendi, lulusan Amerika, adalah contoh bagaimana sekolah di negeri Paman Sam tidak otomatis membuat seseorang imun dari godaan komisi. Gelar akademik yang harum tak menjamin ketulusan. Justru di negeri ini, semakin tinggi gelar, semakin dalam jurang yang siap menelan.

Ironi terasa kental. Dari seorang direktur yang pernah dielu-elukan, kini ia hanya nama dalam daftar tahanan KPK. Dari ruang rapat dengan AC dingin, kini ia mencicipi sel pengap dengan tikar tipis. Dari Alphard elegan, kini hanya mobil tahanan yang membawanya. Dari deretan miliar, kini ia menghitung hari demi hari, dua puluh hari pertama yang bisa berlanjut menjadi tahun-tahun panjang.

Inilah drama terbesar seorang Hendi. Ia dipuja seperti raja, lalu jatuh seperti badut yang tersandung panggungnya sendiri. Kisahnya menjadi pelajaran epik tentang absurditas kekuasaan dan kerakusan. Bahwa manusia bisa mengelola gas untuk menerangi bangsa, tetapi jika tamak, ia justru meniupkan gas beracun ke dalam paru-paru negara.

Lalu, kita para pengopi tanpa gula, rakyat yang menyaksikan, hanya bisa merasa pahit dan tertawa getir sambil berkata, “Selamat datang di panggung korupsi Indonesia, Tuan Hendi, lulusan Amerika yang akhirnya belajar pelajaran paling penting, bahwa hukum tak peduli apakah engkau sarjana Houston atau sekadar tukang las di Cakung. Jika kau tamak, kau tamat.” (*)

Penulis (*/Rosadi Jamani, Ketua Satupena Kalbar)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *