Tak hanya keluarga, peran komunitas juga dapat menangkal mental bunuh diri. Komunitas merupakan kelompok sosial terdiri dari orang-orang yang memiliki kesamaan karakteristik.
Kupang | Keluarga dalam pandangan Salvicion dan Celis (1998) terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
Fungsi keluarga menjaga keharmonisan dan kebahagiaan, membentuk akhlak anak, memberikan dukungan moral dan solusi atas masalah, menuntun dalam mengambil keputusan.
Peran keluarga pun sangat menentukan dalam pembentukan akhlak anak, memberi contoh kepada anak dalam berakhlak mulia, menyediakan kesempatan kepada anak untuk mempraktikkan akhlak mulia, memberi tanggung jawab sesuai dengan perkembangan anak, mengawasi dan mengarahkan anak agar selektivitas dalam bergaul.
Pendeta John Manongga dalam sesi seminar kesehatan mental yang dihelat Rumah Doa Abraham Segala Bangsa Bahasa pada Sabtu, 29 Maret 2025, menyerukan menjadikan keluarga sebagai gereja kecil.
Pendeta John Manongga pun membeberkan bagaimana mencegah bunuh diri dengan membangun relasi dan komunitas. “Bunuh diri terjadi saat pelaku terputus dari relasinya tak mengenal diri sendiri, temannya, keluarga dan tak mengenal Tuhan. Kondisi bunuh diri sering terjadi dalam isolasi dan keterasingan.
Sepatutnya, imbuh anak kedua dari Alm. Abraham Manongga (pendiri Radio Lizbeth dan Rumah Doa Abraham Segala Bangsa Bahasa,red), gereja bukan sekadar “penjaga moral” tapi merupakan komunitas pemulihan (ruang pemulihan),” urainya seraya menyerukan menjadikan keluarga sebagai gereja kecil.
Tak hanya keluarga, peran komunitas juga dapat menangkal mental bunuh diri. Komunitas merupakan kelompok sosial terdiri dari orang-orang yang memiliki kesamaan karakteristik. Komunitas dapat terbentuk berdasarkan kesamaan geografi, ras, agama, hobi, profesi, dan lain-lain.
Dalam komunitas, anggotanya saling berinteraksi di lingkungan tertentu. Pendeta Jhon Manongga pun menekankan bahwa di dalam keluarga (gereja kecil,red) dan komunitas, kita dapat menemukan siapa diri kita di hadapan Allah karena di dalam ibadah ada doa, tangis, keheningan, dan pujian menjadi jalan pemulihan spiritual.
Mazmur ratapan (Mazmur 13:22, Berapa lama lagi, Tuhan, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku?) kondisi ini, beber Pendeta John Manongga, mengizinkan ekspresi putus asa tanpa sensor.
Teologi trauma melihat trauma dengan cara yang benar
Pdt. John Manongga menyatakan bahwa teologi trauma mengakui pengalaman tersebut sebagai sesuatu yang eksistensial, bukan sebagai penyangkalan diri atau dosa. Teologi trauma melihatnya sebagai kondisi yang dapat membuat seseorang kehilangan makna hidup dalam upaya mencari jawaban. Namun, jawaban itu dapat ditemukan ketika individu terhubung kembali dengan Sang Pencipta.
Teologi trauma tidak berupaya membela atau mencari alasan kepada Tuhan, melainkan menekankan bahwa individu yang mengalami pergumulan ini tidaklah sendiri. Ada komunitas, dukungan, dan kehadiran Tuhan di tengah luka. Proses pemulihan dapat dijalani melalui konsultasi, berbagi, dan menggali akar permasalahan dengan dukungan keluarga, gereja, dan komunitas, sehingga individu dapat mengingat dan memproses pengalaman traumatis dengan cara yang benar.(*)
Penulis (+roni banase/ragam)