ID (identitas diri) liputan wartawan yang sudah dicabut, diserahkan lagi. Istana seperti tak berdaya menghadapi gempuran netizen plus organisasi wartawan.
Ceritanya! Sebuah kartu ID liputan, benda seukuran KTP biasanya cuma tergelincir di dalam dompet bersama struk belanja dan kartu parkir. Kali ini, kartu itu berubah jadi pusaka sakral, lebih berharga dari keris Mpu Gandring, lebih dicari dari tiket konser Lyodra Tiara Ziva (LTZ).
Ketika ID liputan wartawan CNN Indonesia, Diana Valencia, dicabut oleh Istana hanya karena ia bertanya soal isu keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG), seketika dunia maya pecah. Netizen, makhluk yang biasanya ribut soal gosip artis atau war tiket konser, tiba-tiba bersatu bak pasukan perang dalam epik kolosal. Mereka menyerbu dengan senjata pamungkas, cuitan, komentar, meme, hingga tagar #SaveDiana yang bertebaran lebih deras dari hujan di bulan Desember.
Kronologinya memang absurd. Di Lanud Halim Perdanakusuma, Diana bertanya soal ribuan siswa yang keracunan MBG. Pertanyaan itu dianggap “di luar konteks” oleh Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI). Seketika, ID liputan Istana miliknya dicabut. Padahal, pekerjaan jurnalis memang mencari konteks yang tidak nyaman, menggali pertanyaan yang bikin pejabat keringat dingin. Tapi alih-alih menjawab dengan elegan, yang terjadi justru seperti drama sinetron, kartu disita, akses ditutup, dan publik dipaksa menonton babak baru kebebasan pers yang digadaikan.
Lalu datanglah gelombang protes. Dewan Pers langsung berteriak, pencabutan itu pelanggaran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, menegaskan akses itu harus dipulihkan segera. Abdul Manan, anggota Dewan Pers, lebih pedas lagi, tindakan BPMI sama saja dengan melarang wartawan meliput di Istana. Forum Pemred, IJTI, PWI, AJI ikut nimbrung, seperti Avengers yang mendengar ada kota diserang alien. Semua berteriak kompak, kembalikan ID itu, atau bersiaplah menghadapi badai.
Badai itu bernama netizen. Dengan jurus khas mereka, like, share, repost, retweet, isu ini melesat jadi trending, lebih cepat dari gosip percintaan Amanda Manopo & Kenny Austin.
Setiap komentar seperti panah api yang dilempar ke benteng Istana. Setiap meme adalah bom waktu yang meledak di timeline. Istana pun kewalahan. Akhirnya, setelah rapat, mediasi, dan mungkin juga membaca ribuan komentar pedas, pada Senin, 29 September 2025, ID liputan itu dikembalikan langsung kepada Diana Valencia. Serah terima disaksikan Pemred CNN, Titin Rosmasari, dan pejabat Istana, seolah-olah ini penandatanganan perjanjian damai antara dua kerajaan yang baru saja berperang.
Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Istana, Yusuf Permana, pun muncul dengan pernyataan klasik, kejadian ini tidak akan terulang kembali, Kepala Biro Pers sudah menyesal, dan semua pihak diminta move on. Kalimat itu terdengar manis, tapi netizen tahu, tanpa mereka, ID itu mungkin masih terkurung di laci Istana. Di titik inilah netizen merasa menang. Mereka berhasil membuktikan, sekali lagi, jari-jari mereka lebih tajam dari samurai, lebih efektif dari pasal-pasal hukum yang kadang tidur di rak buku.
Kemenangan ini bukan sekadar tentang selembar ID. Ini adalah simbol bahwa suara rakyat, meski diketik sambil rebahan dengan kuota darurat, bisa mengguncang istana yang megah. Ini bukti kebebasan pers bukan mainan birokrasi, tapi hak yang dijaga berjuta mata digital. Netizen merayakannya dengan meme, dengan caption heroik, dengan gelak tawa sarkastis. Mereka tidak hanya jadi penonton, tapi sutradara yang mengubah jalannya cerita.
Begitulah, di akhir babak ini, para netizen berdiri di atas puing-puing komentar, mengangkat jempol mereka ke langit biru sambil berteriak, “Hidup kebebasan pers! Hidup netizen!” Karena dalam republik absurd ini, hanya ada satu kekuatan yang tak bisa dilawan siapa pun, the power of netizen.(*)
Penulis (*/Rosadi Jamani, Ketua Satupena Kalbar)