Buruh Jahit Kaget Dapat Tagihan Pajak 2,9 Miliar Rupiah

Loading

Buruh jahit berusia 32 tahun itu mengakui NIK tersebut miliknya, namun membantah keras pernah melakukan transaksi tersebut.

 

Pekalongan | Kasus tagihan pajak fantastis kembali bikin heboh. Ismanto, buruh jahit lepas asal Desa Coprayan, Kecamatan Buaran, Pekalongan, Jawa Tengah, terkejut ketika didatangi pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Pekalongan yang membawa surat resmi berisi data transaksi atas namanya senilai Rp2,9 miliar.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa kedatangan pegawai pajak tersebut bukan untuk menagih, melainkan memverifikasi data yang ada di sistem DJP.

“Kepala KPP Pratama Pekalongan menegaskan tujuan kedatangan bukan untuk menagih, melainkan memverifikasi data yang ada di sistem DJP,” katanya, Sabtu, 9 Agustus 2025.

Berdasarkan catatan administrasi, data dari DJP Pusat tahun 2021 menunjukkan NIK Ismanto digunakan dalam transaksi dengan sebuah perusahaan senilai sekitar Rp2,9 miliar. DJP ingin memastikan apakah transaksi itu benar dilakukan oleh Ismanto. Buruh jahit berusia 32 tahun itu mengakui NIK tersebut miliknya, namun membantah keras pernah melakukan transaksi tersebut.

“Saya kaget, karena saya Cuma buruh jahit lepas,” ungkapnya, didampingi sang istri, Ulfa (27).

DJP berjanji akan menindaklanjuti dugaan penyalahgunaan identitas ini dan mencari pihak yang sebenarnya melakukan transaksi tersebut. Masyarakat juga diimbau untuk menjaga dokumen pribadi dan segera melakukan klarifikasi jika menerima surat dari kantor pajak.

Kasus Ismanto mengingatkan publik pada kejadian serupa yang menimpa Antono, penjual bahan bangunan di Bojonegoro, Jawa Timur. Ia menerima tagihan pajak sebesar Rp10,4 miliar dari KPP Pratama Bojonegoro. Antono mengaku sempat dibujuk untuk melakukan “pemutihan” dengan membayar Rp600 juta, namun menolak. “Kami ini rakyat kecil hanya bisa berharap kepada presiden. Tapi, kalau harapan itu tidak terpenuhi, kami akan mencari pemimpin baru yang betul-betul berpihak kepada rakyat kecil,” tegasnya.

Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, menilai kasus Ismanto dan Antono merupakan bukti carut-marutnya sistem perpajakan di Indonesia.

“Banyaknya oknum pegawai pajak yang masih bebas berkeliaran, bahkan berani menerbitkan tagihan pajak yang tidak masuk akal. Menunjukkan, pembenahan sistem tidak berjalan efektif,” ujarnya. IWPI mendesak Kementerian Keuangan dan DJP untuk mengusut kasus ini secara transparan.

Ketua Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5I), Alessandro Rey, menambahkan, secara prosedural, surat ketetapan pajak (SKP) atau surat tagihan pajak (STP) sebesar itu tidak mungkin terbit tanpa pemeriksaan atau penelitian terlebih dahulu.

“Jadi, ini patut diduga kuat sebagai ulah oknum di KPP Pratama,” katanya.

Berdasarkan regulasi PPh Pasal 21 untuk pekerja tidak tetap atau buruh harian lepas, pajak hanya dikenakan jika penghasilan harian melebihi Rp450 ribu. Penghasilan Rp450.001–Rp2,5 juta per hari dikenakan tarif 0,5%, sedangkan di atas Rp2,5 juta dikenakan tarif 5% untuk 30% dari penghasilan sebagai objek pajak. Skema ini dibuat agar pekerja berpenghasilan rendah tidak terbebani pajak.

Karena itu, tagihan hingga miliaran rupiah terhadap buruh jahit dianggap janggal, kecuali jika ada laporan penghasilan yang sangat besar atau kesalahan input data. Para ahli pajak menduga ada salah klasifikasi status pekerja atau kesalahan perhitungan dalam sistem. Dalam situasi seperti ini, wajib pajak memiliki hak untuk mengajukan klarifikasi atau keberatan, serta meminta perincian perhitungan yang menjadi dasar penagihan.(*)

Sumber (*/melihatindonesia)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *