Oleh : Rosadi Jamani
Abang ojol terkenal solidaritasnya. Sekitar pukul 22.00 WIB, Kamis malam, 28 Agustus 2025, ribuan abang ojol mengepung Markas Brimob. Mereka menuntut pertanggungjawaban atas meninggalnya Affan Kurniawan dan kondisi kritis Moh Umar Amirudin.
Ribuan motor ojol yang menyerbu ke arah markas Brimob. Mereka datang dengan wajah muram, dada bergemuruh, dan mata menyala penuh api dendam. Affan Kurniawan sudah menjadi korban, tubuhnya hancur dilindas rantis Brimob di tengah demonstrasi. Sementara rekannya, Moh. Umar Amirudin, masih berjuang antara hidup dan mati di rumah sakit. Satu nama sudah gugur, satu nama lagi tergantung di ujung napas. Semua itu bukan karena perang dengan musuh asing, melainkan karena roda baja negara yang mestinya melindungi rakyat.
Barisan ojol itu tak bisa dibendung. Jaket hijau yang biasanya hanya jadi penanda pesanan makanan kini berubah menjadi seragam perang rakyat kecil. Helm mereka beradu cahaya matahari, kilau yang tak kalah dari tameng aparat. Klakson dan deru knalpot memekakkan telinga, bergema bagaikan genderang perang zaman modern. Markas Brimob yang angkuh dengan pagar besinya tiba-tiba terlihat kerdil, dihantam arus manusia bermotor yang menuntut satu hal, keadilan untuk Affan, kehidupan untuk Umar.
Detik-detik tragedi itu terus terngiang di kepala mereka. Bagaimana rantis hitam bermoncong baja itu melaju tanpa belas kasihan, tubuh Affan tak lagi terlihat sebagai manusia, melainkan seolah-olah hanya kerikil di jalan raya. Jeritan saksi mata tak mampu menghentikan roda yang terus menggiling, dan dalam hitungan detik, satu nyawa melayang, satu keluarga hancur. Tak ada film perang Hollywood yang bisa melukiskan ngeri itu. Inilah realitas, rakyat miskin ditindas oleh kendaraan negara, dan negara hanya berucap lirih, “maaf.”
Istana melalui Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi menyampaikan permintaan maaf atas insiden tragis ini. Disusul Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo secara terbuka menyampaikan, “Saya menyesali terhadap peristiwa yang terjadi dan mohon maaf sedalam-dalamnya… Sekali lagi, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya untuk korban dan seluruh keluarga dan juga seluruh keluarga besar Ojol.”
Kata itu, “maaf,” dilemparkan Istana dan Kapolri seperti recehan. Maaf seakan mampu menutup luka, padahal luka itu telah menjelma parit yang menganga di hati rakyat. Maaf seakan bisa membayar cicilan motor Affan, padahal istrinya kini bahkan tak tahu harus beli susu anak pakai apa. Maaf seakan cukup untuk menahan mesin ventilator yang menopang Umar di rumah sakit, padahal tiap menit hidupnya adalah pertempuran mahal melawan maut.
Di hadapan kenyataan seburuk ini, wajar bila ribuan ojol marah. Mereka meneriakkan nama Affan dengan suara serentak, seakan ingin membangunkan arwahnya dari liang kubur untuk menyaksikan bahwa ia tidak sendirian. Umar, yang kini terbujur dengan selang infus, bagai simbol perlawanan terakhir, setiap denyut nadinya adalah teriakan diam untuk melawan ketidakadilan.
Markas Brimob dikepung suara rakyat kecil yang sehari-hari hanya dihargai lima ribu rupiah per kilometer. Tapi kini mereka menunjukkan harga diri yang lebih mahal dari kendaraan lapis baja. Negara boleh memiliki rantis, gas air mata, dan peluru karet, tapi rakyat memiliki sesuatu yang lebih berbahaya: murka. Dan murka itu, bila menyatu, bisa mengguncang tembok setebal apa pun.
Tragedi Affan adalah cambuk sejarah. Umar yang tergeletak kritis adalah saksi hidup betapa murahnya nyawa rakyat di mata negara. Barisan ojol yang mengeruduk markas Brimob adalah penanda bahwa kesabaran rakyat sudah tamat. Mereka datang bukan untuk menunggu belas kasihan, melainkan untuk menuntut, jangan pernah ada lagi roda baja yang menggilas rakyat kecil. Karena sekali rakyat murka, dunia akan mengutuk, sejarah akan mencatat, dan pagar Brimob tak lagi tampak perkasa, melainkan hanya reruntuhan moral yang patah.(*)