Jokowi Berdiri di antara Alarm Pengingat dan Rintihan Rakyat

Loading

Oleh : Prihati Utami

Kamu dibesarkan dengan kasih dan sayang ibumu, tapi kenapa kamu justru memilih hasutan orang lain demi melanggengkan kekuasaan? Ibumu sudah berpesan untuk mengendalikan diri, tetap memprioritaskan tujuan pertama dan utama sebab jabatan ada karena sebuah kepercayaan untuk mencapai tujuan tadi.

Apa itu? Motivasi hidup?

Ya, seperti alarm pengingat, bahwa ada amanah yang sedang dikerjakan dan akan terus dipertanggungjawabkan.

Begitu analogi kecil jika melihat tindak-tanduk Presiden Joko Widodo. Sudah banyak yang memprediksikan bahwa dia akan keluar dari PDI Perjuangan. 2 partai bahkan digadang-gadang menjadi tempat singgahnya nanti, selama menikmati masa pengawalan pemerintah Prabowo-Gibran. Dua partai tadi PSI dan Golkar.

PSI persentasenya kecil karena anak bungsunya sudah di sana. Persentase besarnya sih di Golkar, partai yang dipakainya untuk mengusung Gibran menjadi cawapres. Sekilas mengingatkan kehadiran Jokowi ini di Golkar sebagai penerus Soeharto. Kesamaan keduanya makin nampak, diawali dengan praktik politik dinasti.

Ya, begitulah alurnya hingga banyak menjuluki sikon hari ini dengan “Bangkitnya Orba”.

Bilangnya saja “tidak, tidak”, tapi lihat saja bagaimana di lapangan. Mahkamah Konstitusi adalah sumber awal runyamnya demokrasi kita. Selebihnya terlalu panjang untuk diceritakan dan disebutkan buktinya, kamu bisa googling sendiri tentunya.

Mungkin banyak orang mulai bertanya-tanya, apakah Jokowi itu betulan lupa dengan partai yang selama ini memberikan support sistem besar, bahkan sudah menjadi kendaraannya untuk sampai di puncak tertinggi?

Tidak ada sedikit rasa bersalah, karena telah mengingkari prinsip demokrasi, yang dipegang PDI Perjuangan untuk membangun bangsa dan negara.

Mengapa ada orang sejahat itu?

Jawaban “politik itu dinamis” tidak berlaku di sini, karena ini soal proses panjang yang penuh kematangan pikir untuk menentukan sikap dan arah tujuan perjalanan selanjutnya.

Semua harus dilakukan untuk kemaslahatan negara dan rakyat, bukan keluarga apalagi kelompok elite. Norma ataupun etika bernegara, menjadi hal yang harus ditempatkan di atas peraturan tertulis. Karena di sana ada rasa kemanusiaan dan pantas serta tidak pantasnya tindakan itu dilakukan dengan sewajarnya kita sebagai makhluk sosial.

Tapi, semua sirna dengan satu kenikmatan yang tiada tara menyenangkan, yakni kekuasaan.

Megawati Soekarnoputri mungkin merasa kecewa, karena Jokowi menusuknya dari belakang. Tapi, apa balasan membabi-buta yang dilakukan Mega? Tidak, dia bukan politisi rakus yang kesetanan mengambil tindakan karena itu hal impulsif yang bisa membahayakan tanah airnya, terutama rakyat yang hidup di dalamnya.

Lihat dia masih legowo mempertanggungjawabkan pilihannya untuk mengawal Jokowi, dengan meminta menteri untuk tetap stay demi memberi pagar tindakan Jokowi agar tetap menjadi presiden yang dicintai rakyat seperti sebelum pengkhianatan ini terjadi.

Bukan berarti dia diam melihat hal yang salah, karena dia terus dan masih menyuarakan ketidakadilan dan penenggelaman demokrasi. Dia adalah pejuang demokrasi, tidak akan dia biarkan kedaulatan rakyat itu kembali dirampas pemimpinnya sendiri.

Sudah banyak surat kecil lewat karangan bunga yang dikirimkan berbagai pihak ke kantor DPP PDI-P. Isinya kurang lebih meminta Mega untuk kembali memperjuangkan demokrasi tanah air. Ini doa dan harapan, mari terus berusaha, terus menyuarakan yang memang tidak bisa diterima akal sehat dan hati nurani kita.

Layaknya yang selalu diteriakkan ibunya kader PDIP itu, satyam eva jayate, kebenaran akan berjaya. Bagaimanapun nanti jalannya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *