Oleh : Denny JA
Di depan Stasiun Termini, Roma, pada sore 22 September 2025, seorang ibu muda bernama Giulia menggenggam erat tangan putrinya yang berusia sembilan tahun.
Di kejauhan, ribuan orang meneriakkan, “Palestina Libera! Palestina Libera!” Spanduk berkibar, bendera Palestina menutupi langit ibukota Italia.
Giulia datang bukan karena ia keturunan Arab, bukan pula karena ia punya hubungan politik tertentu.
Ia hanya seorang perawat rumah sakit yang, setiap malam, menyaksikan tayangan anak-anak Gaza yang meninggal tanpa sempat memeluk ibunya.
“Aku tidak bisa tidur tenang,” ujarnya kepada seorang jurnalis, “jika Italia diam.”
Hari itu, Roma bukan sekadar ibu kota. Ia menjelma ruang hati kolektif, tempat luka Gaza bergema dalam dada orang-orang Italia.
Dari Milan hingga Napoli, dari Genoa hingga Venice, rakyat turun ke jalan. Mogok nasional melumpuhkan pelabuhan, kereta, hingga kantor publik.
Italia bergetar—bukan karena gempa bumi, melainkan oleh suara nurani.
Apa yang tengah terjadi? Mengapa rakyat Italia berdemo begitu besar, begitu antusias, begitu emosional, menuntut pemerintah agar mengikuti Inggris dan Prancis: mengakui Palestina sebagai negara yang berdaulat? Saya lama merenung, membaca sejarah, dan berakhir dengan tiga kesimpulan ini.
Sebab pertama: luka kemanusiaan yang menyatu
Rakyat Italia digerakkan oleh sesuatu yang melampaui politik: empati yang mendalam terhadap penderitaan manusia.
Sejak awal 2024, media Italia menayangkan tanpa henti gambar anak-anak Palestina yang terjebak reruntuhan, rumah sakit yang hancur, sekolah yang berubah jadi kuburan massal. Italia adalah negeri yang mengenal sejarah panjang penderitaan. Roma kuno menyimpan kisah perbudakan.
Kota Livorno, abad ke-17, pernah menjadi pelabuhan pengungsi Yahudi yang lari dari Inkuisisi. Orang Italia akrab dengan jejak diaspora, luka, dan pengasingan. Maka, ketika mereka melihat Gaza, resonansi emosional itu mudah muncul: seolah penderitaan orang lain adalah pantulan dari sejarah sendiri.
Di Milan, seorang mahasiswa berteriak, “Seperti kakekku dulu melawan fasisme, kini aku berdiri bersama Palestina!”
Narasi perlawanan terhadap tirani hidup kembali dalam konteks modern. Generasi muda Italia menemukan cermin perjuangan moral dalam wajah anak-anak Gaza.
Secara psikologi sosial, ini adalah fenomena identifikasi kolektif: rakyat mengadopsi penderitaan bangsa lain sebagai bagian dari identitas moral mereka.
Seperti teori empati politik Martha Nussbaum, penderitaan jauh sekalipun dapat memicu komitmen etis bila ia digambarkan dengan wajah yang akrab—anak kecil, ibu hamil, keluarga biasa. Maka seruan “Palestina Libera” bukan hanya slogan politik. Ia doa, seruan nurani, sekaligus terapi moral bagi masyarakat yang menolak menjadi penonton pasif.
Empati inilah bensin pertama yang menggerakkan demonstrasi terbesar Italia dalam dekade terakhir.
Sebab kedua: warisan historis dan politik Italia
Italia punya hubungan rumit dengan dunia Arab dan Mediterania. Dari zaman Romawi, jalur perdagangan minyak, rempah, dan budaya menyatukan Napoli hingga Alexandria.
Venice, kota laguna, sejak abad pertengahan sudah berdagang intensif dengan dunia Islam. Namun sejarah modern membawa luka lain: intervensi kolonial Italia di Libya, Perang Dunia II, serta keterlibatan dalam NATO yang sering berpihak ke Barat dalam konflik Timur Tengah.
Kini, generasi baru Italia ingin melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu itu. Demonstrasi mendesak pengakuan Palestina adalah usaha mengoreksi sejarah.
Di Genoa, pelabuhan yang dulu mengirim kapal perang, kini justru dipenuhi buruh yang memblokade kapal senjata menuju Israel..Ini bukan kebetulan, melainkan simbol pembalikan sejarah: pelabuhan perang menjadi pelabuhan solidaritas.
Secara politik, Italia juga mengalami krisis representasi. Pemerintahan Giorgia Meloni dinilai terlalu keras, terlalu tunduk pada garis Washington, dan abai pada aspirasi rakyat sendiri. Maka, isu Palestina menjadi kanal baru untuk melawan elit. Demonstrasi ini bukan hanya tentang Palestina, tapi juga tentang Italia mencari wajah moralnya kembali.
Sejarah Italia mengajarkan bahwa negeri ini selalu menjadi panggung pertemuan Timur dan Barat. Maka, tuntutan mengakui Palestina adalah bagian dari identitas geopolitik Italia yang ingin lebih mandiri, tidak lagi sekadar pengikut.
Sebab ketiga: gelombang besar global dan legitimasi hukum
Tak bisa dipisahkan, demonstrasi Italia terjadi di tengah gelombang global. Inggris, Kanada, Australia, dan Prancis sudah mengakui Palestina di Sidang Umum PBB.
Eropa bergerak. Italia, sebagai negara besar Uni Eropa, merasa terpojok bila tetap diam. Lebih dari 200 hakim, jaksa, dan pakar hukum Italia ikut menandatangani seruan dukungan untuk Palestina.
Dari perspektif hukum internasional, rakyat tahu pendudukan Israel bertentangan dengan resolusi PBB. Blokade Gaza bisa dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Maka, protes di jalan memperoleh legitimasi moral sekaligus yuridis.
Dalam filsafat politik, ini sejalan dengan gagasan Michael Sandel: keadilan tak hanya soal prosedur hukum, tapi juga keberanian moral komunitas untuk berkata, “ini salah, dan harus dihentikan.”
Italia, yang sering memproklamasikan diri sebagai negeri hukum (stato di diritto), kini diuji oleh rakyatnya sendiri.
Demo besar ini menuntut negara bertindak sesuai prinsip hukum internasional, bukan hanya sesuai kalkulasi diplomatik.
Selain itu, globalisasi informasi mempercepat perubahan opini publik. TikTok, Instagram, dan media daring memperlihatkan langsung wajah remaja Gaza.
Realitas tak lagi dimediasi pemerintah. Rakyat merasa lebih dekat dengan Palestina ketimbang dengan elit politik di Roma.
Gelombang global, legitimasi hukum, dan revolusi digital menjelma badai sempurna. Rakyat pun memenuhi jalanan.
Di tengah kompleksitas geopolitik, rakyat Italia memahami bahwa pengakuan Palestina bukan sekadar simbolis. Ini adalah langkah konkret untuk memutus siklus kekerasan struktural.
Sebagaimana diingatkan Antonio Gramsci, hegemoni kekuasaan harus diimbangi dengan ‘perang posisi’ budaya. Solidaritas global menjadi senjata melawan ketidakadilan. Pengakuan kedaulatan Palestina menjadi kunci perdamaian abadi, bukan sekadar gencatan senjata sementara.
Demo besar di Italia adalah lebih dari sekadar politik luar negeri. Ia adalah refleksi filosofis tentang siapa kita sebagai bangsa.
Rakyat Italia bertanya: apakah kita hanya mesin ekonomi, ataukah manusia yang masih bisa menangis melihat anak bangsa lain dibantai?
Filosofi utamanya: kemanusiaan adalah batas terakhir identitas sebuah bangsa. Bila empati hilang, jiwa bangsa ikut lenyap.
Giulia, ibu muda di Termini, menutup hari dengan suara serak: “Aku tak tahu apakah pemerintah akan mendengar. Tapi aku ingin anakku tahu, ibunya pernah berdiri di jalan, menuntut agar Palestina merdeka.”
Itulah warisan sejati: bukan hanya hukum, bukan hanya sejarah, tetapi jejak moral dalam hati generasi yang akan datang.
Italia bergetar, dunia pun tercatat: pada September 2025, rakyat Italia mengajarkan kita semua bahwa solidaritas lintas benua adalah bentuk paling indah dari kemerdekaan jiwa.(*)
Jakarta, 25 September 2025
Referensi
1. Rashid Khalidi, The Hundred Years’ War on Palestine (Metropolitan Books, 2020).
2. Edward Said, The Question of Palestine (Vintage, 1992).