Memaknai Tingkat Kemiskinan dan Ketimpangan Penduduk di NTT

Loading

Oleh : Yezua Abel Statistisi pada BPS Provinsi NTT

Perkembangan penduduk miskin di NTT selama 2 (dua) tahun terakhir menunjukkan tren yang positif baik secara persentase maupun secara absolut dibanding beberapa periode sebelumnya.

Persentase penduduk miskin Provinsi NTT September 2024 menurun sebesar 0,46% poin menjadi 19,02%, terhadap Maret 2024 dan menurun 0,94% poin terhadap Maret 2023. Sementara itu, jumlah penduduk miskin pada September 2024 juga menurun 19,63 ribu orang menjadi sebesar 1,11 juta orang, terhadap Maret 2024 dan menurun 33,17 ribu orang terhadap Maret 2023.

Meskipun tingkat kemiskinan menurun, namun disparitas kemiskinan perkotaan dan perdesaan di Provinsi NTT masih tinggi. Pada September 2024, persentase penduduk miskin di perdesaan sebesar 23,02%, sedangkan di perkotaan sebesar 8,11%. Jumlah penduduk miskin yang tersebar di wilayah perdesaan sebanyak 981,02 ribu orang, menurun 14,94 ribu orang dibanding Maret 2024. Sementara itu jumlah penduduk miskin di perkotaan turun 4,70 ribu orang dibanding Maret 2024 menjadi 126,91 ribu orang.

Kondisi kemiskinan September 2024 di NTT juga perlu mendapat perhatian karena indeks kedalaman dan keparahan meningkat. Indeks kedalaman kemiskinan menggambarkan rata-rata kesenjangan pengeluaran rumah tangga miskin terhadap garis kemiskinan bertambah jauh. Indeks ini meningkat menjadi 3,572 pada September terhadap 3,408 pada Maret 2024. Indeks keparahan kemiskinan yang menggambarkan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin juga bertambah. Indeks ini meningkat menjadi 0,962 pada September terhadap 0,848 pada Maret 2024.

Beberapa indikator sosial ekonomi yang berhubungan dengan penurunan tingkat kemiskinan dan jumlah penduduk miskin di NTT antara lain tingkat pertumbuhan ekonomi selama triwulan I – III sebesar 5,66% dan peningkatan konsumsi rumah tangga sebesar 5,39% pada periode yang sama, tingkat pengangguran terbuka (TPT) menurun 0,15% poin menjadi 3,02% pada Agustus 2024 terhadap TPT Februari yang sebesar 3,17%, nilai tukar petani September 2024 meningkat 3,55% terhadap Maret 2023 menjadi 101,43, dan pada periode yang sama terjadi deflasi barang dan jasa sebesar 0,76 persen di NTT.

Garis kemiskinan

Guna menentukan apakah seseorang atau suatu rumah tangga tergolong miskin atau tidak digunakan Garis Kemiskinan (GK). GK adalah nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pokoknya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non makanan seperti tempat tinggal dan pakaian. Jika pengeluaran per bulan berada di bawah GK, maka seseorang atau rumah tangga tersebut digolongkan miskin tetapi jika berada di atas GK digolongkan tidak miskin.

Jadi terdapat 2 (dua) jenis GK yakni GK per orang (per kapita) dan GK per rumah tangga. GK per rumah tangga dihitung dari GK per kapita dikalikan dengan banyaknya anggota rumah tangga (ART) pada rumah tangga miskin.

Penghitungan GK oleh BPS menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan pada Maret dan September setiap tahun. Perlu diketahui bahwa peran komoditas makanan terhadap GK jauh lebih besar dibanding komoditas bukan makanan yakni masing-masing sebesar 76,3% dan 23,7%.

Tren GK atau standar kemiskinan naik setiap waktu seiring dengan kenaikan harga barang dan jasa yang dicakup dalam keranjang komoditas barang yang digunakan. GK September 2024 untuk Provinsi NTT mencapai Rp533.944 per kapita atau naik 1,26% dibanding Maret 2024. Sementara itu, GK perkotaan untuk Provinsi NTT sebesar Rp645.346 per kapita atau naik 1,11% dibanding GK Maret yang sebesar Rp638.261 per kapita dan GK perdesaan naik 1,26% menjadi Rp495.180 per kapita dibanding GK Maret yang sebesar Rp488.995 per kapita.

GK per rumah tangga miskin merupakan hasil perkalian GK per kapita dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin. Pada September 2024, secara rata-rata 1 (satu) rumah tangga miskin di Provinsi NTT memiliki 5,8 anggota rumah tangga dengan GK sebesar Rp3,1 juta per bulan.

Dalam praktik sehari-hari, penduduk yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan kurang dari Rp533.944 per bulan atau rata-rata Rp17.798 per hari termasuk kategori penduduk miskin. Bagi penduduk yang miskin dengan rata-rata pengeluaran sekian rupiah tersebut hanya dapat membawa pulang 1 kg beras yang harganya sekitar Rp11.500 per kg plus beberapa ikat sayuran dan bumbu. Tentu hal ini sangat sulit bagi penduduk tersebut yang hanya dapat memenuhi kebutuhan makan saja karena daya belinya terbatas.

Bagi keluarga yang tergolong miskin atau rawan miskin juga demikian. Disebut rawan miskin karena meskipun pengeluarannya di atas GK, namun jika terjadi inflasi, maka daya belinya berkurang dan menjadi miskin secara riil. Umpamanya, jika seorang kepala rumah tangga menerima upah minimum regional (UMR) yang pada tahun 2024 sekitar Rp2,1 – Rp2,2 juta rupiah menanggung 3 ART, maka rata-rata pengeluaran untuk setiap anggota rumah tangganya sebesar Rp525 ribu – Rp550 ribu per kapita per bulan. Bagaimana untuk membayar kebutuhan anak sekolah atau jika ada ART yang sakit? Tentu kepala rumah tangga dan istrinya harus mencari penghasilan tambahan atau terpaksa berhutang.

Di sinilah pentingnya program-program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan seperti bantuan langsung tunai, Kartu Indonesia Sehat, Jaminan Kesehatan Masyarakat, Kartu Indonesia Pintar, Program Keluarga Harapan dan berbagai bantuan sosial lainnya. Program-program tersebut harus “tepat sasaran”, itu kata kuncinya.

Tingkat ketimpangan

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan pendapatan atau pengeluaran masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya kesenjangan dalam distribusi kekayaan dan peluang ekonomi di masyarakat. Ketika pertumbuhan ekonomi tidak diimbangi dengan kebijakan ekonomi yang inklusif, maka akan terjadi ketimpangan antara kelompok yang kaya dan yang miskin.

Untuk mengukur ketimpangan atau kesenjangan pengeluaran penduduk, BPS menggunakan indikator Gini Ratio (GR) dan distribusi pengeluaran menurut Bank Dunia. GR memberikan gambaran menyeluruh tentang distribusi pengeluaran dalam suatu masyarakat. Sedangkan distribusi pengeluaran penduduk lebih fokus terhadap 40% kelompok pengeluaran terbawah untuk melihat bagaimana kelompok masyarakat miskin berpartisipasi secara ekonomi.

GR didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari nilai pengeluaran konsumsi dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Nilai GR berada di antara 0 dan 1, semakin tinggi nilainya berarti semakin tinggi ketimpangan. Selanjutnya berdasarkan nilai GR, ketimpangan dikelompokkan menjadi 3 yakni ketimpangan rendah dengan nilai GR kurang dari 0,35; ketimpangan sedang berkisar 0,35 – 0,5; dan ketimpangan tinggi > 0,5.

GR NTT cenderung mengalami penurunan meskipun tidak signifikan. Pada September 2024 nilainya sebesar 0,3155 relatif tidak berubah sejak Maret sebesar 0,3156. Nilai GR di perdesaan lebih tinggi dibanding perkotaan yakni masing-masing sebesar 0,306 dan 0,282. Sebelum September 2022, nilai GR perdesaan selalu lebih kecil dibanding perkotaan.

Berdasarkan kriteria Bank Dunia, persentase pengeluaran kelompok 40% terbawah pada September 2024 sebesar 20,79 persen, turun sedikit terhadap Maret 2024 sebesar 20,93%. Dengan demikian, maka ketimpangan antar kelompok pengeluaran di NTT termasuk kategori rendah karena lebih dari 17%. Pada periode yang sama, persentase pengeluaran kelompok 40% terbawah di perkotaan 23,93%, sedikit lebih tinggi dibanding perdesaan sebesar 21,55%. Meskipun ada perubahan namun sangat kecil sehingga tingkat ketimpangan secara umum di NTT masih rendah.

Kritik terhadap angka kemiskinan

Penurunan angka kemiskinan baik di tingkat nasional maupun daerah tentu memberikan harapan bagi pemerintah dan semua pemangku kepentingan untuk pencapaian target pengentasan kemiskinan yang lebih besar. BPS dan pemerintah harus tetap terbuka untuk menerima saran dan kritik yang membangun dari semua pihak untuk perbaikan kualitas data survei dan program-program yang direncanakan.

BPS menggunakan konsep kebutuhan dasar untuk mengukur kemiskinan. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan yang diukur dengan GK makanan dan non makanan. Garis kemiskinan makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang setara dengan 2100 kkal per kapita per hari, mencakup 52 jenis komoditas. Sedangkan GK non makanan adalah nilai minimum pengeluaran untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan non makanan lainnya, mencakup 51 jenis di perkotaan dan 47 jenis di perdesaan.

Banyak pihak mengkritik klaim pemerintah bahwa angka kemiskinan di Indonesia terus menurun. Menurut mereka GK di Indonesia terlalu rendah sehingga tidak dapat mengukur kemiskinan yang sebenarnya. Selain itu GK di Indonesia hanya mempertimbangkan pengeluaran rumah tangga miskin, tanpa mempertimbangkan faktor lain seperti perubahan pola konsumsi, pendapatan, akses ke pendidikan dan kesehatan.

Untuk memperbaiki kualitas data kemiskinan, BPS terus melakukan pembaruan dan peningkatan metodologi pengumpulan data di lapangan. BPS juga berkolaborasi dengan lembaga dan ahli terkait guna memastikan ketepatan penghitungan dan analisis data yang dihasilkan. Mendengarkan masukan dari pengguna data kemiskinan, terutama pemerintah, akan membantu BPS dalam menyesuaikan pendekatan penghitungan yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang diinginkan.

Penutup

Angka kemiskinan yang dibahas di atas merupakan angka kemiskinan makro yang dapat digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi capaian berbagai program. Namun untuk program intervensi kemiskinan diperlukan data mikro menurut nama dan alamat penduduk miskin yang komprehensif. Indonesia memiliki beberapa sumber data mikro, antara lain data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), data peserta BPJS, data Regsosek.

Pemanfaatan teknologi digital dapat menjadi solusi efektif dalam pengintegrasian data kemiskinan. Dengan membangun sistem basis data terintegrasi, informasi dari berbagai sumber yang berbeda dapat disatukan secara efisien. Hal ini akan memungkinkan untuk menciptakan satu data kemiskinan yang komprehensif dan akurat, sehingga memudahkan dalam perumusan kebijakan yang tepat sasaran.

Selain itu, pentingnya kolaborasi antar instansi terkait dalam pengumpulan dan pengolahan data kemiskinan tidak dapat diabaikan. Sinergi antara berbagai lembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil akan memperkuat upaya untuk menciptakan sistem informasi kemiskinan yang terpadu. Dengan demikian, upaya penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien.

Dalam konteks globalisasi dan transformasi digital, pemanfaatan big data dan analisis data yang canggih juga dapat menjadi kunci dalam mengoptimalkan penggunaan data kemiskinan. Dengan mengimplementasikan teknologi analitis yang canggih, informasi yang terkandung dalam satu data kemiskinan dapat diolah secara lebih mendalam untuk mendukung pengambilan keputusan yang lebih cerdas dan berbasis bukti.(*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *