Oleh Yezua Abel, Statistisi pada BPS Provinsi NTT
Angka kemiskinan Provinsi NTT Maret 2023 sebesar 19,96 persen dari total penduduk NTT. Meskipun secara persentase turun 0,09 poin dari 20,05 persen pada Maret 2022, namun secara absolut jumlah penduduk miskin bertambah 9,49 ribu orang menjadi 1,14 juta orang.
Kemiskinan masih menjadi isu sentral di NTT, karena berbagai upaya pembangunan belum dapat menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Sudah lebih dari dua dasawarsa negeri ini hidup dalam era reformasi, salah satu perubahan dalam sistem pemerintahan adalah pemberian otonomi kepada daerah. Namun upaya bersama penanggulangan kemiskinan di daerah belum mencapai target yang diharapkan.
Data kemiskinan yang akurat dan mutakhir menjadi penentu strategi penanggulangan kemiskinan. BPS menghasilkan data dan indikator kemiskinan melalui survei sosial ekonomi nasional (Susenas). Selain itu, BPS juga menghasilkan banyak data dan indikator terkait kemiskinan seperti kondisi ketenagakerjaan, statistik pendidikan, statistik kesehatan, statistik perumahan, indeks pembangunan manusia, indeks kesetaraan gender, dan lain-lain.
Data dan indikator kemiskinan yang dihitung dari hasil Susenas bersifat makro karena menggunakan data sampel. Data ini hanya dapat digunakan untuk menganalisis kondisi kemiskinan pada waktu tertentu atau untuk mengevaluasi pencapaian program pengentasan kemiskinan. Untuk intervensi program sebaiknya menggunakan data mikro hasil sensus yang memiliki informasi menurut nama dan alamat orang miskin. Data kemiskinan mikro yang terakhir adalah data Registrasi Sosial Ekonomi tahun 2022 yang dikumpulkan BPS berkolaborasi dengan Bappenas, kementerian dan perangkat daerah terkait.
Literasi data kemiskinan perlu terus ditingkatkan melalui berbagai forum agar pembuat kebijakan dan masyarakat umum memiliki pemahaman dan wawasan yang cukup tentang kemiskinan. Bahwa pengentasan kemiskinan tidak semata-mata tugas pemerintah, namun masyarakat harus mendukung sehingga program pengentasan kemiskinan dapat efektif dan tepat sasaran. Hal ini penting untuk mempercepat proses penurunan angka kemiskinan.
Kondisi Kemiskinan di NTT
Kemiskinan merupakan kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kemiskinan dapat diukur dari banyak aspek atau dimensi tergantung pada kerangka konseptual dan metodologi yang digunakan. Namun dimensi yang paling banyak digunakan adalah pendapatan dan konsumsi atau pengeluaran rumah tangga.
BPS menggunakan konsep kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar untuk makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan (GK). Penduduk dikatakan miskin apabila memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah GK. GK untuk NTT pada tahun 2023 mengalami kenaikan baik untuk makanan maupun non-makanan yang didorong oleh inflasi harga konsumen yang terjadi pada saat survei.
Analisis tren kemiskinan setahun terakhir menunjukkan bahwa GK rata-rata NTT mengalami peningkatan dari Rp461 ribu pada Maret 2022 menjadi Rp507 ribu per kapita per bulan pada Maret 2023 atau mengalami peningkatan sebesar 10,1 persen. GK makanan sebesar Rp389,5 ribu dan GK non-makanan Rp117,7 ribu.
Secara nasional, angka kemiskinan Indonesia Maret 2023 sudah di bawah dua digit yakni 9,36 persen sedangkan NTT masih di atas angka nasional yakni 19,96 persen. Kemiskinan di NTT terkonsentrasi di wilayah perdesaan di mana angka kemiskinannya sebesar 23,76 persen sedangkan di perkotaan hanya 9,12 persen. Jumlah penduduk miskin di NTT pada Maret 2023 sebanyak 1,14 juta orang atau 19,96 persen dari total penduduk NTT meningkat dibanding Maret 2022 yang sebesar 1,13 juta orang. Jumlah penduduk miskin di perdesaan sebanya1,06 juta orang, sedangkan di perkotaan hanya 135,57 ribu orang.
Secara spasial, Kota Kupang tetap menjadi wilayah dengan GK tertinggi pada Maret 2023 yakni Rp733 ribu per kapita per bulan. Kabupaten lain yang memiliki GK relatif tinggi adalah Sabu Raijua dan Ende yakni masing-masing Rp526,8 ribu dan Rp518,9 ribu per kapita per bulan. Sedangkan Sumba Tengah merupakan kabupaten dengan GK terendah yaitu Rp362 ribu. Kabupaten lainnya memiliki GK antara Rp400 sampai 500 ribuan per kapita per bulan.
Permasalahan kemiskinan bukan hanya pada jumlah atau persentase yang tinggi, tapi juga pada disparitas antarwilayah. Jika kabupaten/kota dipetakan, maka kabupaten yang memiliki persentase kemiskinan tinggi adalah Sumba Tengah 31,78 persen, Sabu Raijua 28,37 persen, dan Sumba Timur 28,08 persen, Sumba Barat Daya 27,48 persen, Sumba Barat 27,17 persen, Rote Ndao 27,05 persen, dan TTS 25,18 persen. Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki persentase rendah adalah Kota Kupang 8,61 persen, Flores Timur 11,77 persen, Ngada 12,06 persen, Nagekeo 12,33 persen, Sikka 12,56 persen, Malaka 14,42 persen, Manggarai Barat 16,82 persen, dan Manggarai 19,69 persen. Disparitas antarwilayah terjadi karena keragaman faktor ekonomi dan sosial budaya di NTT.
Dari sisi jumlah, maka tiga kabupaten yang memiliki jumlah penduduk miskin paling banyak adalah Timor Tengah Selatan 119,5 ribu orang, Sumba Barat Daya 101,4 orang, dan Kupang 90,2 ribu orang. Sedangkan tiga kabupaten yang paling sedikit jumlah penduduk miskinnya adalah Nagekeo 18,6 ribu orang, Ngada 20,6 ribu orang, dan Sumba Tengah 24,2 ribu orang.
Setelah pandemi, perkembangan jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota di NTT berfluktuasi atau naik turun. Beberapa kabupaten yang konsisten menurunkan angka kemiskinan dalam 2 tahun terakhir ini adalah Malaka, Belu, dan Sikka dengan rata-rata penurunan masing-masing sebesar 4,74 persen; 3,28 persen; dan 2,65 persen. Sedangkan kabupaten yang angka kemiskinannya naik terus adalah Rote Ndao dengan rata-rata kenaikan 1,76 persen. Kabupaten Flores Timur juga patut mendapat perhatian karena mengalami kenaikan paling tinggi di tahun 2023 sebesar 10,15 persen.
Tingkat kemiskinan cenderung menurun, namun perlu diperhatikan adanya indikasi kemiskinan kronis di antara 1,14 juta penduduk di NTT. Mereka adalah kaum marginal dalam kehidupan sosial maupun ekonomi. Banyak sekali di antaranya yang masuk kategori sangat miskin (ekstrem) dengan pengeluaran per kapita sangat jauh di bawah GK sehingga perlu program pengentasan yang berlapis. Meskipun sudah menerima bantuan sosial tunai, program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri perdesaan, program keluarga harapan, dan bantuan lainnya namun mereka tetap sulit untuk keluar dari perangkap kemiskinan.
Hasil sensus pertanian 2023 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga pertanian yang menggunakan lahan kurang dari 0,5 Ha (gurem) di NTT bertambah menjadi 467 ribu unit atau meningkat 61,2 persen selama 10 tahun terakhir. Hal ini menguatkan fenomena kemiskinan yang terjadi di perdesaan, karena sektor pertanian identik dengan penduduk di perdesaan.
Selain masalah kerentanan kemiskinan, juga perlu diperhatikan dinamika yang berkaitan dengan perubahan komposisi rumah tangga miskin pada suatu waktu. Seberapa jauh kesenjangan pengeluaran antarpenduduk miskin akibat perubahan komposisi tersebut yang dapat dilihat dari indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan.
Indeks kedalaman kemiskinan (P1) merepresentasikan besarnya total uang yang harus disediakan untuk mengangkat seluruh individu dan rumah tangga miskin sampai pada garis kemiskinan. Sedangkan indeks keparahan kemiskinan (P2) merupakan ukuran kemiskinan yang memberikan bobot yang lebih besar kepada masyarakat yang lebih miskin. Meskipun cenderung menurun sejak 2016 namun kedua indeks ini untuk daerah perdesaan lebih tinggi dibanding perkotaan. P1 dan P2 di daerah perdesaan masing-masing adalah 4,068 dan 0,983 sementara itu P1 dan P2 di daerah perkotaan masing-masing adalah 3,325 dan 0,798.
P1 menunjukkan bahwa jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin di perdesaan dari GK perdesaan lebih jauh dibandingkan dengan kondisi yang sama di perkotaan. P2 menunjukkan bahwa kondisi kemiskinan di perdesaan juga lebih berat yang mana rata-rata perbedaan pengeluaran antar-rumah tangga miskin di perdesaan lebih tinggi dibandingkan kondisi yang sama untuk rumah tangga miskin di perkotaan.
Kolaborasi Pemerintah dan Masyarakat
Tujuan utama yang ingin dicapai oleh setiap pemerintahan adalah penghapusan segala bentuk kemiskinan sehingga seluruh penduduknya hidup sejahtera. Tujuan ini telah menjadi target pemerintah baik jangka pendek, menengah maupun panjang dengan besaran tertentu yang ingin dicapai. Karna itu untuk mencapai target-target pembangunan khususnya penurunan angka kemiskinan yang signifikan maka semua perangkat daerah yang terlibat harus memiliki misi yang sama, fokus dan strategi yang tepat untuk pengentasan kemiskinan di bumi Flobamorata.
Dunia tanpa kemiskinan merupakan tujuan (goal) pertama dari tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) atau SDGs yang menjadi kesepakatan negara-negara anggota PBB. SDGs dimulai 1 Januari 2015 dan akan berakhir pada 31 Desember 2030. Apakah Indonesia dapat mencapai tujuan ini? Indonesia juga punya cita-cita mewujudkan Indonesia Emas 2045 untuk menjadi salah satu negara maju di dunia. Tentu kita harus optimis jika pemerintah memiliki program dan kebijakan yang tepat dan didukung penuh oleh masyarakat maka target yang sulit pun pasti dapat dicapai.
Pemberdayaan masyarakat dan peningkatan literasi terhadap berbagai isu terutama kemiskinan perlu ditingkatkan. Berbagai program pengentasan kemiskinan harus melibatkan masyarakat misalnya melalui sosialisasi atau forum komunikasi publik. Hal ini akan mendorong partisipasi aktif dari komunitas lokal dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi program pengentasan kemiskinan karena solusi yang dihasilkan lebih sesuai dengan kebutuhan dan keadaan lokal.
Penyusunan program pengentasan kemiskinan yang terbaru biasanya mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan inklusif, serta memahami kompleksitas dari kemiskinan multidimensi. Meskipun pendekatan spesifik dapat berbeda tergantung pada konteks daerah namun ada beberapa hal yang prinsip berkaitan dengan penentuan strategi yang tepat yakni:
- perlunya instrumen yang kuat baik secara hukum maupun teknis yang fokus kepada mereka yang benar-benar miskin untuk segera mendapat penanganan;
- perlunya intervensi kebijakan yang tepat sesuai kebutuhan spesifik daerah atau masyarakat;
- monitoring dan evaluasi terhadap pemerintah/lembaga terkait agar implementasi kebijakan di lapangan sudah benar atau tepat sasaran.
Saat ini RPJMD 2020—2024 hampir berakhir, dan RPJMD berikutnya mesti disiapkan oleh pemerintah. Hasil evaluasi terhadap pencapaian pembangunan khususnya kemiskinan menjadi sangat penting menentukan kebijakan dan strategi ke depan. Ketersediaan data dan informasi kemiskinan cukup lengkap sehingga akan memudahkan perencana dan pengambil keputusan menentukan strategi yang tepat dalam pengentasan kemiskinan. Semoga target penurunan angka kemiskinan di bumi Flobamorata secara signifikan dapat tercapai.(*)