Suku Boti tinggal di pedalaman Timor Tengah Selatan, sekitar 40 km dari kota So’e, dan sekitar 4—5 jam perjalanan dari Kota Kupang, Ibu Kota Provinsi NTT. Secara administratif, Desa Boti terletak di Kecamatan Kie.
Pada tantangan krisis pangan global, masyarakat adat Suku Boti di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), menunjukkan peran kearifan lokal untuk ketahanan pangan.
Terletak di wilayah pegunungan kering di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Desa Boti tetap mempertahankan tradisi pertanian berkelanjutan yang menjamin ketahanan pangan tanpa ketergantungan pada sistem luar.
Suku Boti tinggal di pedalaman Timor Tengah Selatan, sekitar 40 km dari kota So’e, dan sekitar 4—5 jam perjalanan dari Kota Kupang, Ibu Kota Provinsi NTT. Secara administratif, Desa Boti terletak di Kecamatan Kie.
Selain itu, masyarakat Boti sangat menjaga kebersihan perkampungan, terutama di sekitar area kerajaannya. Mereka melarang perburuan hewan di kawasan perkampungan untuk menjaga kelestarian alam.
Menelisik kehidupan Suku Boti
Suku Boti tinggal di daerah terpencil yang dikelilingi perbukitan kering, sekitar 40 km dari Kota Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Meskipun hidup dalam kesederhanaan, mereka memiliki sistem pangan yang mandiri.
Kehidupan sehari-hari mereka berpusat pada pertanian tradisional, peternakan, dan pelestarian adat. Mereka menolak modernisasi yang merusak keseimbangan alam, sehingga tetap mampu memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri.
Suku Boti sangat menjaga kelestarian alam dan memiliki kearifan lokal yang unik. Mereka memiliki prinsip hidup mandiri dan menolak bantuan dari pihak luar, termasuk bantuan pemerintah seperti beras miskin.
Resiliensi pemenuhan pangan
Kunci ketahanan pangan Suku Boti terletak pada keanekaragaman tanaman pangan dan teknik pertanian yang ramah lingkungan. Mereka menanam jagung, sorgum, ubi kayu, kacang-kacangan, serta berbagai jenis sayuran lokal yang tahan kekeringan.

Sistem pertanian mereka tidak menggunakan pupuk kimia atau pestisida, melainkan mengandalkan kompos alami dan rotasi tanaman untuk menjaga kesuburan tanah.
Selain bercocok tanam, mereka juga memelihara ternak seperti kambing, ayam, dan babi dalam skala kecil. Hasil ternak tidak hanya untuk konsumsi, tetapi juga berperan dalam ritual adat dan sistem barter antar-keluarga. Dengan demikian, mereka tidak bergantung pada pasokan pangan dari luar, melainkan menciptakan siklus pangan yang mandiri.
Budaya makan menghargai alam
Masyarakat Boti memiliki budaya makan yang sederhana namun kaya nutrisi. Mereka mengonsumsi apa yang mereka tanam dan hasilkan sendiri, menghindari makanan olahan atau kemasan.
Jagung dan umbi-umbian menjadi makanan pokok, disajikan dengan sayuran liar seperti daun kelor dan buah gewang yang kaya gizi. Setiap keluarga memiliki lumbung (gudang penyimpanan tradisional) untuk menyimpan cadangan pangan, memastikan ketersediaan makanan bahkan di musim kemarau panjang.
Pelajaran dari Suku Boti untuk Ketahanan Pangan Nasional
Ahmad Arif, Inisiator Nusantara Food Biodiversity, menekankan pentingnya belajar dari masyarakat adat seperti Suku Boti.
“Keragaman hayati adalah anugerah terbesar yang kita punya, namun saat ini terjadi pergeseran budaya pangan yang menyebabkan keseragaman pangan. Kita tergantung pada beras dan gandum impor, padahal Indonesia memiliki ribuan sumber pangan lokal yang lebih adaptif,” kata Arif kepada GNFI, Jumat,13 Juni 2025.
Menurutnya, Suku Boti membuktikan bahwa ketahanan pangan bisa dicapai dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati dan kearifan lokal. Langkah konkret yang bisa diambil antara lain melestarikan benih lokal, mendorong konsumsi pangan beragam, dan mengembalikan penghargaan terhadap sistem pangan tradisional.(*)
Sumber (*/Goodnews/Firdarainy Nuril Izzah + ragam)