Tragedi Prada Lucky Namo dan Panggilan Reformasi Budaya Militer

Loading

Kabar meninggalnya Prada Lucky Namo (23), seorang prajurit muda TNI AD yang diduga meninggal dunia akibat dianiaya seniornya saat bertugas di Batalyon Teritorial Pembangunan 834 Waka Nga Mere, Nagekeo, NTT, mengguncang hati publik.

Dandim 1625 Ngada, Letkol Czi Deny Wahyu Setiyawan, membenarkan bahwa korban sempat dirawat intensif di ICU karena trauma berat sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhir. Empat orang prajurit telah diamankan oleh Polisi Militer karena dugaan kuat melakukan penganiayaan terhadap korban.

Peristiwa tragis ini bukan hanya mencoreng institusi, melainkan menjadi cermin retaknya etika internal militer yang seharusnya menjunjung tinggi kehormatan, kedisiplinan, dan rasa saling menjaga antar prajurit. Ini bukan lagi soal “oknum”, tapi refleksi mendalam atas budaya kekerasan yang masih tersisa dalam tubuh militer kita.

Jiwa Korsa: antara disiplin dan kekerasan

Konsep jiwa korsa, atau semangat kebersamaan prajurit dalam militer, idealnya membentuk loyalitas, kekompakan, dan rasa satu tubuh dalam suka dan duka. Namun ketika jiwa korsa dimaknai secara keliru—dijustifikasi menjadi ajang pembentukan karakter melalui kekerasan fisik maupun psikologis terhadap junior—maka ia telah bergeser menjadi alat dominasi dan represi.

Praktik semacam ini, yang kerap berbalut tradisi senioritas, bukan hanya keliru, tetapi membahayakan nyawa dan mentalitas prajurit muda. Dalam kasus Prada Lucky Namo, kita melihat bahwa kekerasan bukan lagi sekadar “disiplin ketat”, melainkan berujung pada hilangnya nyawa seorang anak bangsa yang baru memulai pengabdian.

Hak asasi manusia dan tuntutan feformasi internal

Kita tentu sepakat dan mengapresiasi bahwa TNI sebagai alat pertahanan negara memiliki tugas mulia dalam melindungi bangsa sekaligus menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusional, termasuk hak asasi manusia. Setiap prajurit adalah warga negara yang berhak atas perlindungan hukum dan perlakuan yang bermartabat, bahkan dalam konteks pendidikan dan pembinaan yang keras sekalipun.

Penganiayaan terhadap sesama prajurit, siapa pun pelakunya, adalah tindak pidana, bukan sekadar pelanggaran disiplin (indisipliner). Penanganan kasus seperti ini tidak cukup hanya dengan sanksi administratif atau pemecatan internal—tetapi harus dibuka secara transparan untuk menjaga kepercayaan publik sekaligus menjamin keadilan bagi korban dan keluarganya.

Agustus: momentum 80 tahun merdeka untuk mereformasi budaya militer

Bulan Agustus 2025 ini, bangsa Indonesia memperingati 80 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 2025)—sebuah tonggak bersejarah yang bukan hanya pantas untuk dirayakan, tapi juga menjadi momentum reflektif untuk menegaskan kembali makna kemerdekaan: kebebasan dari penindasan, penghormatan terhadap martabat manusia, dan perlindungan terhadap setiap warga negara.

Apa arti kemerdekaan jika masih ada prajurit yang gugur bukan di medan perang, melainkan dalam barak sendiri—oleh sesama rekan satuan? Apa makna “Indonesia Merdeka” jika lembaga pertahanan negara belum sepenuhnya terbebas dari praktik kekerasan yang menindas?

Momentum 80 tahun kemerdekaan harus menjadi panggilan moral dan institusional bagi TNI khususnya dan seluruh aparat negara pada umumnya untuk melakukan pembenahan menyeluruh terhadap budaya kekerasan, termasuk di lingkungan pendidikan dan pembinaan prajurit muda. Ini adalah saatnya menata ulang makna “disiplin” dalam militer tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan setiap prajuritnya.

Rekomendasi objektif untuk perubahan

Pertama, hapus total praktik perpeloncoan dan kekerasan antar prajurit, apa pun dalihnya.

Kedua, desain ulang pelatihan militer berbasis kepemimpinan inspiratif, bukan kekerasan dan ketakutan.

Ketiga, bangun sistem pelaporan dan perlindungan korban internal (whistleblower) yang aman dari intimidasi.

Keempat, proses hukum terbuka dan akuntabel terhadap pelaku kekerasan, baik pidana maupun etik.

Kelima, integrasikan nilai-nilai HAM ke dalam seluruh kurikulum dan pembinaan karier TNI, sejalan dengan kerja sama Komnas HAM dan institusi militer.

Demi biat bakti Prajurit Muda, demi masa depan bangsa

Prada Lucky Namo adalah simbol dari harapan yang hilang—seorang anak muda yang memilih jalan pengabdian, namun harus menutup usia karena kegagalan institusi dalam menjamin keselamatannya. Tragedi ini adalah luka bangsa. Dan luka ini tak akan sembuh dengan narasi “oknum”, melainkan melalui tindakan nyata, keberanian reformasi, dan keteladanan dari atas ke bawah.

TNI adalah benteng terakhir bangsa. Tapi benteng ini akan rapuh jika tidak berdiri di atas nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan penghormatan terhadap sesama prajuritnya. Pada Agustus 2025 ini, saat kita mengibarkan Merah Putih, menyanyikan lagu kemerdekaan, mari kita tegaskan kembali komitmen kita: Indonesia merdeka dari segala bentuk penindasan, termasuk di dalam barak sendiri.

Semoga keluarga Prada Lucky Namo diberikan kekuatan, dan semoga institusi TNI mengambil pelajaran besar dari tragedi ini—demi generasi prajurit Indonesia yang lebih manusiawi dan profesional.

Dan selamat memperingati 80 Tahun Kemerdekaan RI. Semoga ini menjadi momen bangkitnya kembali martabat dan kehormatan militer yang benar-benar menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan kebangsaan.

Sumber (*/Randhoe Weqng/Facebook)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *