Bahasa Indonesia Berdaulat, Menyalakan Lentera Literasi Pascatragedi Timor Timur di Desa Noelbaki

Loading

Oleh : Paulus R. A. Ully, Gregoria W. Komaladewi, Duta Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur

 

Noelbaki 2025, di balik tembok lusuh bekas pabrik kulit yang telah lama ditinggalkan, suara-suara kehidupan mulai kembali terdengar. Sebuah bangunan tua di kaki Kota Kupang itu menjadi tumpuan harapan 25 tahun lamanya menemani para pengungsi dari Timor Timur, rumah bagi anak-anak, perempuan, dan lelaki dewasa yang membawa luka sejarah dalam ingatan dan tubuh mereka.

Pada kepulan debu dan lantai yang tak beralas, sebanyak 21 kepala keluarga hidup berdampingan, berbagi ruang, makanan, dan masa depan yang tidak pasti.

Mereka adalah korban perang saudara, perpisahan, dan pecahnya bangsa akibat referendum 1999, yang memisahkan Timor Timur dari Republik Indonesia. Banyak dari mereka kehilangan tempat tinggal, anggota keluarga, bahkan identitas. Namun satu hal tetap mereka pegang teguh: bahasa Indonesia sebagai pengikat yang tak terputus oleh garis batas politik.

Kini, lebih dari dua dekade berlalu. Luka mungkin telah mengering, namun warisan penderitaan masih terasa dalam bentuk paling sunyi, angka buta aksara yang tinggi, anak-anak yang tidak tahu cara membaca, dan minimnya akses terhadap pendidikan bermutu. Di Desa Noelbaki, tempat para penyintas membangun kembali kehidupan mereka, tantangan literasi menjadi nyata dan mendesak.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2024), Nusa Tenggara Timur mencatat angka buta aksara sebesar 4,35% penduduk laki-laki dan perempuan yang berusia di atas 10 tahun. Konsentrasi tertinggi ditemukan di wilayah pedesaan seperti Noelbaki karena akses buku dan fasilitas baca sangat terbatas.

Bahasa Indonesia tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga simbol penyatuan. Bagi masyarakat eksodus Timor Timur, bahasa ini adalah tali yang menyambungkan mereka dengan tanah air. Dalam situasi keputusasaan, bahasa menjadi rumah yang tak dapat diambil oleh siapa pun. Namun bagaimana jika anak-anak mereka tidak bisa lagi membaca dan menulis dalam bahasa ini? Akankah rumah itu runtuh oleh waktu?

Inilah titik di mana peran Duta Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur 2025 menjadi vital. Duta bahasa hadir bukan sekadar simbol kehormatan, tetapi sebagai penggerak sosial dan kebahasaan. Pada program Binar Cinta (Bintang dan Ardian Cerita Untuk Indonesia), duta bahasa memelopori gerakan literasi berbasis komunitas di Desa Noelbaki dalam membangun kembali jembatan bahasa dan budaya yang hampir retak oleh peperangan dan keterasingan.

Program Binar Cinta bukanlah sekadar pelatihan membaca atau mendirikan rak buku. Ia adalah ruang harapan, di mana anak-anak usia 7–13 tahun dari latar belakang pengungsian dapat berekspresi, menulis puisi, membaca cerita rakyat, dan mendongeng dalam bahasa Indonesia. Bahasa dan sastra tidak hanya diajarkan, tetapi dihidupkan. Anak-anak diajak untuk menyadari kekuatan kata, memahami sejarah mereka sendiri, dan menumbuhkan empati melalui sastra.

Di tengah keterbatasan buku dan fasilitas, masyarakat diajak bergotong royong. Inovasi lahir dalam bentuk program daur ulang kertas untuk menggalang dana demi memenuhi kebutuhan hidup dan belajar. Pendekatan ini memperkuat nilai kemandirian dan partisipasi aktif masyarakat, sehingga pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab negara, tetapi juga hasil kerja sama seluruh elemen desa.

Lebih dari itu, pojok baca didirikan sebagai pusat interaksi anak dan masyarakat. Tempat ini bukan hanya ruang sunyi untuk membaca, tetapi juga wadah diskusi, kelas sastra, dan lokakarya menulis. Anak-anak yang dulu hanya mengenal duka, kini mengenal diksi, imajinasi, dan harapan.

Keunikan Desa Noelbaki terletak pada sejarahnya sebagai tempat perlindungan dan transisi. Anak-anak yang tumbuh di desa ini adalah generasi pascakonflik, sebagian besar lahir dari orang tua yang tetap setia pada NKRI dan terpaksa mengungsi ke Desa Noelbaki setelah tragedi 1999. Mereka menghadapi dilema identitas sebagai Warga Negara Indonesia atau bukan?

Menilik kondisi itu, bahasa Indonesia memegang peran strategis. Melalui pembelajaran bahasa dan sastra, anak-anak ini tidak hanya belajar membaca dan menulis, tetapi juga menyusun ulang narasi tentang siapa mereka. Mereka diajak memahami bahwa menjadi Indonesia bukan soal dokumen resmi, melainkan tentang rasa memiliki, berbahasa, dan berbudaya.

Duta bahasa menjadi corong nasionalisme yang inklusif dalam menumbuhkan rasa cinta tanah air tanpa memaksakan sejarah, melainkan melalui pengenalan nilai-nilai luhur dalam bahasa pemersatu bangsa ini.

Program Binar Cinta selaras dengan visi Balai Bahasa Provinsi NTT, yaitu meningkatkan literasi melalui program kebahasaan. Dalam setiap puisi yang ditulis oleh anak-anak Desa Noelbaki, dalam setiap dongeng yang mereka bacakan dengan suara gemetar, terselip semangat kebangkitan dan keinginan untuk menjadi bagian dari bangsa yang lebih besar.

Pendidikan bermutu di desa bekas pengungsian ini bukan utopia. Ia sedang dirintis bukan oleh kemewahan, melainkan oleh cinta terhadap bahasa, kerja keras relawan, dan kepercayaan bahwa setiap anak Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari kota besar hingga daerah terpencil menjadi saksi bahwa setiap anak berhak untuk belajar, bertumbuh, dan bermimpi.

Bahasa Indonesia adalah rumah. Di Noelbaki, rumah itu sedang dibangun kembali, satu huruf demi satu huruf, oleh anak-anak yang pernah kehilangan segalanya. Bersama Duta Bahasa Provinsi NTT, mereka tidak hanya belajar mengeja kata, tetapi juga mengeja masa depan Indonesia yang cerah.(*)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *