Oleh : Melkianus Nino
Ketika sang senja berbalik ke peraduannya, malam kian gelap-gulita. Rerumput merebah dan dedaunan membungkus kedinginan, berselimut mimpi juga berbaring pulas. Dingin menyiram berkabut putih, lintasi pandang mata dan tak lagi melirik.
“Mereka berbaring dalam lelap!”.
Malam di ujung sepi, tiada lagi menemani. Kesaksian empat mata saling menatap menebarkan senyuman turut beranjak ke bilik mesra. Saling cinta, sehati hidup-mati dalam penaungan.
Waktu berlalu pergi di malam bisu. Riang jangkrik bernyanyi lagu kemerduan, disambut katak-katak sawah melantunkan nyanyian di keliling petakan. Indahnya sungguh tak berbanding.
Esok pagi tiba, Pauline digandeng tangan Marshall menuju gubuk di tengah hamparan sawah. Warna membias kecokelatan, menguning padat bulir padi merunduk.
“Marshall, tengoklah sekejap ke sana tunduk padi makin menua. Kapankah untuk panenan?”.
“Iya Pauline, hasil sudah memberi tampak baru dari awal keringat kerja keras. Aku yakin sehari-dua hari ke depan, kita siap lumbung sebagai bekal setahun ke depan!”.
“Aku, juga sama memikirkan yang sama. Penantian waktu, juga sebuah kesabaran panjang. Entah, esok atau lusa!. Dan sepanjang setahun kemarin, Aku juga sedang dalam beban memikul kandungan yang terisi buah hati idaman kita!”.
“Dia, yang pertama dan utama . Entah penuh lemah lembut ataupun sosok serupa denganku, Aku hanya berharap Ia hadir dan sempurna”.
“Aku juga memiliki sepikir yang sama.” terang Pauline.
Membuang tawa, menebar senyum lesung Marshall. Membuat hati Pauline turut dipesonai kebahagiaan. Dalam gubuk alang-alang, rupa Ciptaan-Nya, mengarungi gelombang hidup penuhi misteri. Hidup selalu dalam suka-duka, demikianlah itu ujian per insani. Kepalkan dalam jemputan dan selalu panjatkan kepada Dia, harapan akan datang pada waktu yang tak menentu.
Dia yang mungil, nantinya akan datang. Akan melihat alam baru rupa keduanya. Kapan waktunya dan di mana, sabarlah menantikan. Kehidupan baru milik kita, akan datang diterang pagi, mentari menyambut jingga juga gelapnya malam.
Mentari mengukir bias panas di luas cakrawala. Waktu saling menggantikan jubah warna-warni, sebentar lagi kita akan kembali pada naungan tempat ini, yakinlah sebentar senja juga akan kembali berselimut kehangatan. Bersama nyala pijar lampu, akan menerangi warna hitam-buta.
#####
Dengarkan di luar sana, suara gonggongan menyapa gelap . Masih sama seperti malam biasa, sang jangkrik melantunkan hening membentang.
“Bisikan datang pada lelap , Nantikan dia harapanmu, ciptaan-Ku”. dalam mimpi Marshall.
9 bulan berjalan …
Marshall membuka lembaran pampangkan kalender, rupa warna, nama tanggal tertera. Hiasan itu, mengetuk kenangan kemarin di tengah persawahan.
Marshall mengajak Pauline ke kisah merindukannya padi, warga desa sedang menyiapkan Himne Panen, bergandingan turun ke sawah untuk bersukaria. Tibanya kehidupan.
Dalam gubuk ilalang, mata bening Pauline memandang keramaian di tengah gelombang kemuning dan kehidupan. Pauline merasakan sentak-sentakan di balik jeritan berulang tak hentinya. Marshall mendekatinya dengan penuh kelegaan di kirana, dia telah datang bersama keramaian.
Mentari begitu menghangatkan, berlabuh mengejar si Jingga. Raung angin meniup Sepoi sembari membisikan surai ramaikan petani. Dengan melepaskan lelah di atas baring bilah bambu.
“Selamat datang mungil, selamat sambuti terang. Hadirnya kehidupan batu di atas baring beralas batang padi hampa” surai ramaikan petani.(*)
Foto utama (*/hellosehat.com)