Satu dalam Kebersamaan

Loading

Penulis : Melkianus Nino

Pagi yang indah, duduk di beranda rumah di antara kursi kosong ditemani segelas teh hangat. Sebatang pena dan sebuah buku. Aku sangat merindu rumah belajar, ingin berseragam.

Bibir keruh telah dibasahi seteguknya. Aroma khas, melalang buana; sungguh telah menemani aku, pena, dan buku.

Di balik pagar bonsai kuning, memamerkan kilap menguning. Langkah kaki teman sejawat yang berseragam biru-putih bergandengan tangan sembari bersenda-gurau beranjak menuntut ilmu.

Aku teringat masa itu

Sewaktu bersama

Sepayung, seseragam dan beramai.

“Kapan harus seperti dulu?”.

Keindahan itu pesona, dicipta-Nya. Kita tak pernah tahu, dari mana entah juga ke mana singgah kita.

Berteduh di tengah guyuran hujan, hendak berhenti sejenak menanti redah. Dan meminta tolong kepada si penunggu teduh. Lihatlah, dia ada di situ dan di dalamnya. Ketuklah dan beri sapa.

“Maaf, aku harus berhenti sesaat saja. Karena hujan telah datang di antara kita!”.

“Silakan, tempati kursi kosong. Aku, si penunggu teduh telah ada di sampingmu untuk bercerita”.

“Terima kasih!”.

“Sekali maaf, siapakah kamu?”.

“Aku, si Jas Hitam . Hendak ke kantor parlemen, hujan menghalangiku”

Si tuan teduh, berkaki tiga tak mengulang tanya, hanya menatapi raut wajah si Jas Hitam yang tampan membuang senyum. Si tuan teduh diam seribu bahasa , larut dalam bisu.

****

Si bocah sulung , datang dengan basah kuyup tak berpayung hanya selembar mantel kusut di atas kepalanya.

Keduanya berpaling ke pusat suara.

“Salam jelang siang!”.

“Salam juga”. Jawab si Jas Hitam.

Dengan memegang sebilah parang, langkahnya menuju dan mengganti pakaian basah.

“Kek, siapakah si bocah itu?”.

“Dia, cucu sulungku, orang tuanya merantau ke seberang, demi hidup semenjak masih ingusan. Dia tidak melanjutkan sekolah karena biaya yang serba mahal dan kedua orang tuanya pun hilang kabar” terang si penunggu teduh.

Si Jas Hitam, diam seribu tanya mendengar keluh-kesah sang kakek tua sembari duduk termenung mengupingi di teras gubuk dekat persimpangan. Dalam hening, si Jas Hitam pamit dan pergi karena cuaca telah cerah kembali. Si penunggu teduh menatap keheranan pada pemuda tampan berjas hitam, berdasi dan bersepatu ala Aladin.

Beberapa jam kemudian…

Bunyi ketukan terdengar dari pintu berdaun tripleks kepucatan berulang bunyi. Si bocah itu, menemani kakek tua menuju pusat ketukan.

“Mat siang kek!”. Sapa tukang pos.

“Mat siang juga, ada apa dan maksud kedatanganmu?”.

“Ada sekemas titipan. Sejam tadi, seseorang tak dikenal menghantar ke kantor kami. Tujuan, alamat di sini!”.

“Terima kasih banyak”.

Tanpa pamit, si tukang pos pergi dan meninggalkan si penunggu teduh dan cucunya. Dengan menggendong titipan tadi, gegas ke ruang tamu. Dibukanya titipan itu, ada pecahan 1.000 perak,sepucuk surat dan perlengkapan sekolah. Dengan memeluk cucu kesayangannya, si penunggu teduh menetes air mata kegirangan. Diam membatin.

“Terima kasih Tuhan, sepanjang derita hidup masih ada yang terbaik dari yang tak disangka. Kebersamaan kami, adalah berdua kami. Ketika kebersamaan itu selalu hadir dari orang ketiga…!”.

Si cucu sulungnya memegang selembar surat dan membaca di hadapan sang kakek yang buta aksara.

“Terima kasih kek, atas amal-budi baikmu yang telah memberi ruang-naung sesaat buatku. Aku terharu dengan masa laluku. Aku, adalah barisan dalam gedung rakyat, karena kebaikan-pengertiannya akan terkenang hingga detik ini. Aku masih ada di sini demi kebersamaan.

Kenakan seragam sekolah kepada si adik-cucu, aku dan kakek. Lekaskan dia untuk bersekolah kembali, aku ingat dengan masa lalunya. Dan 1.000 perak tadi, sebagai biaya hidup dan biaya sekolahnya.

Aku ,akan terus mengenang rumah teduh kakek, aku akan kembali pada esok dan lusa nantinya”.

Aku,

Si Jas Hitam.(*)

*/Penulis merupakan Pegiat Literasi dan Jurnalis Garda Indonesia Biro Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU)

Foto (*/istimewa)