Antara Lona dan Lena

Loading

Oleh. Melkianus Nino

Tak terdengar lagi bunyi ucap manusia. Kesibukan awal bias hingga petang membungkus lelah. Dan saat telah telat malam, sunyi sudah dihantam hitam. Tepatnya pada kesepian, hanya terdengar sang Master of Ceremony membuka kata per kata-cakapan sedikit lelucon juga terpaut histori Valentine. Aku duduk membelakangi daun pintu kamar, menatap ratusan buku menumpuk hampir semester. Ketegangan jiwa mengusik kalbu, mana yang tepat untuk membaca temani malam.

Namun, sulit berteman temani tumpukan itu. Sudah kupilah-pisah buku fiksi dambaanku, Pesastra Khalil Gibran. Tiada kesan penuhi gundah naluriku, yang ada hanya belaka. Aku lempari dan jatuh mengecup lantai. Aku kembali meneteskan setetes air mata, saat buku itu, kupeluk erat kayaknya cinta membendung tegang jiwa ini.

Aku tak tahu, apa yang harus dilakukan terhadap tegangnya sang jiwa. Buntung benar untung, jiwa masih menyatu-setubuh. Sedangkan cinta yang aku lamar menjadi penyatuan malah belum sama sekali hadir. Sebagai penghiburan duniawi.

Setiap rutinitas keseharianku, selalu bertemu rupa-rupa wajah dengan paras berbeda. Namun, Aku sulit memilih dan tersentuh hati. Waktu yang akan memastikan jika layak. Dan bila kayak nanti, akan kusemayamkan dengan hari lalu.

“Apakah sedemikiannya, ketegangan jiwa”.

Aku mengenakan jaket putih, menutup kepala oleh kedinginan juga pening-pusing yang menusuk kening. Aku beranjak keluar bilik dan menuju sumber suara.

Semunya bayangan serupa, seruan banyak insani datang silih berganti tanggalkan mimpi tinggalkan cerita tiada batas finis. Inginnya, jika membawa berkat. Tetapi tetap sama dan benar semua tak sama. Hanyalah mungkin kembaran yang sama tetapi Aku akan salah memilih jika rupa wajah semiripan. Nama yang berbeda dengan ciri khas pembawaan diri.

Si kembar, serahim Lona dan Lena.

Terurai rambut panjang yang sama, kulit sawo matang, hidung mancung ala Pinocio, dagu memanjang bundar ke bawah dan kedua taring yang tepat jika melepas tawa. Apalagi jika sedang merobek-nikmati seutuh pizza, serta masih banyak yang sukar dibedakan.

Aku menghadiri acara tanpa undang di acara Valentine Day di tetangga sebelah. Aku turut menyaksikan dansa perpasangan. Banyak tanya menggugah benak, saat ada suara di belakangku.

“Sukar memastikan kedua kembar cantik itu!”kata seorang lelaki.

Aku mendengar dengan perasaan dengan luapan sindiran ringan yang mengundang senyum, di hari penuh kasih sayang. Aku kembali duduk di kursi sewaan kosong sembari melumat sebatang rokok L.A merah. Kepulan asap membuat suasana di plafon tenda biru terasa berbeda.

Saat pencinta dansa merehab sejenak dari operator musik masih melirik lantunan lainnya. Aku tak menyadari kalau kursi yang Aku tempati adalah, salah satu dari si kembar itu. Perangahku, saat ada suara ringan membangunkan jiwa meranaku.

“Maaf Kak, permisi!”.

Aku membangunkan diri dari kursi hangat itu, dan bangkit dan tempati lainnya. Sedikit terkesan, tiada respons balik kepadanya. Pikiran terpaut dan terkerat batuan karang. Sulit untuk memutarnya kembali. Jiwa yang menegangkan terasa tersembuhkan oleh kedua sosok yang berdampingan denganku. Aku ingin memulai membuka suara, hanya terpaut rasa gulana.

Pemandangan malam menyerupai siang dengan mata yang tak mengedip memandang indah. Gemawan sungguh bersahabat di hujung pukul 10.00 malam. Aku ingin bersahabat lebih jauh kepada harapan yang menunda selama ini. Kemampuan masih jauh dari ambang pintu. Pintu hati terketuk untuk mengetuk salah satu kembar itu, hati menginginkan seuntai ucap perkenalan namun menjauh pada keraguan dulangi kebimbangan.

Putaran waktu dan lirikan terus menghibur persahabatan malam. Alam malam sangat bersahabat, yang sebetulnya malam adalah gerimis, namun menjauh hilang. Ada satu harapan biarkan sampai esok hingga petang nanti.

Gulir waktu saling menggantikan angka misteri. Hujung tadi, menutup selimut kesepian. Aku menunduk mengutak-atik media sosial. Aku kembali mengangkat wajah dan memandang pada Dua Paras Indah itu. Mereka telah pulang dan pergi lepaskan kasih sayang.

Keramaian dipintal tali sepi. Pintu histori Valentine malam tertutup legam sunyi. Aku meneropong dengan kotor mata, semua berpaling saling berpamitan. Dengan membalik arah, aku menuju kediaman.

Dalam bilik pembiasaan, aku terkenang ingatan tadi dan memenung kedua raut kembar. Aku telah menilai diri ini, bahwa aku terus disetrum tegangan listrik berjiwa.

Aku teringat empat jam tadi, bahwa Cinta adalah misteri. Karena misteri itu, sesuatu yang membuat getar dan teriris kata terpendam yang tak terungkap.(*)

*/Penulis merupakan Pegiat Literasi dan Menetap di Atambua

Foto utama oleh padangkita.com