Angin Dingin Akhir Juni

Loading

Oleh : Melkianus Nino

Biasanya jelang Agustus, angin ingin menyapu hamparan lapangan utama. Ada banyak sampah- sampah berserakan dari tangan-tangan ringan. Rajin membuang sembarangan hingga berantakan.

Saat desau, Abu terbang menutup langit-langit cakrawala, menggulung seperti gulungan kertas terisi es krim. Berpindah haluan, lalu pulang pangkuan. Tertampak di puncak tiang Merah Putih, berlinang kemerdekaan.

Bila musiman semi tiba di akhir Juni ini, selalu menjadi perhatian mata. Biar terhindar dari sesak nafas dan pilek memoles merah di ujung mancung. Bahkan bibir akan kering mengeriput .

Sekiranya musim semi sudah tiba . Sebentar ribuan daun-daun siap jatuh tak lagi siaga. Menangis sedih kepada dahan-dahan kosong tak berkuping.

Bila kicauan Elang bermain bersama awan-gemawan. Para Cilik akan bersukaria memegang sepasang bendera kecil, menjemput tamu. Tamu itu, muara Angin.

Dia semangat mendahului dan meniup sepoi. Anak-anak cilik, separuh baya dengan kebaya panjang dan berambut terurai periklan sampo Sunsilk . Mereka telah berdamai dengan Dia, Sang Angin.

Rambut-rambut muda makin tumbuh kembang, tertiupnya belum ingin dipikul bahu.

Rumput itu memohon maaf, Aku masih ingin menari.

Mereka sedang berlibur sebulan seusai bergembira karena naik kelas. Juga akan terus terhibur oleh libur tak membuat janji. ‘Oleh-oleh’ dari Covid yang belum bubar biar lekas pudar.

Mereka telah tumbuh besar dan makin tambah panjang rambut. Sebuah kado dari Si Waktu.

“Ibu, Aku telah bertambah usia lagi!”.

Ibu-ibu tersenyum dari balik Masker menyaksikan sandiwara anak. Sembari berdiri di halaman sambil menyapu puing-puing sampah. Serius mengemban tugas pokok.

Anak-anak itu, berkejaran memanggil satu dan dua nama kawanan hanya tak terjawab oleh kuping. Masker Upin-ipin membalut hidung dan seutuh mulut, hanya pelotot dua bola mata indah memotret wajah alam senja yang akan  terdampar di karam barat.

Mereka, sekelompok cilik telah ditakuti Wabah tak berwajah.

Mereka terus berkejaran meramaikan senja, sebentar pun punah ditelan jingga. Menantinya, menyaksikan seribu langkah dengan tawa malu-malu tanpa suara. Senja lambat-laun hilang.

Anak-anak tadi, satu persatu  melangkah belakang tinggalkan kesunyian. ‘Pulanglah’!, karena jam rehat dihujung pukul 18.00. Air panas telah dihangatkan dingin.

Sapuan raung meniup daun-daun, Mereka saling menampar satu dengan yang lainnya. Tawa tak menyimpan amarah, ego, kebencian nan dengki. Mereka terus menunjukkan pentas Tarian Likurai ala Penari Belu, dihibur senandung bunyi desau Angin kedamaian.

Bila gelap tiba,

Dalam balik selimut, kuping didengungkan misteri raung serigala.

“Jangan untuk panik, kemari berpiknik di buta malam agar terhibur sepanjang telah liburan panjang ” bisik si Angin.

Kini, mata telah terpejam oleh kelopak yang lelah sepanjang sehari. Mimpi membuka lembar baru, entah apa pun pemberiannya terima dengan haru. Biarkan itu hanya belaka semata.

Raungan masih mengantar malam. Pepohonan di belakang rumah, berdahan tua dihinggapi jago piaraan kakek yang lekas kawin. Berjejer melepas suara sapa dengan paduan kokokan membuka pagi.

Hadir harapan baru penuh haru, berharap badai cepat berlalu. Pergi dan bersemayam dalam kalbumu. Benak menuai tanya, jawab sungguh tak terjanji.

“Kapan?”.

Akhir-akhir Juni, bermula di lembar kalender Juli, dua kembar yang berbeda. Angin terus menghembuskan aroma. Terbang mengelilingi  dunia semakin renta oleh usia. Terhirup hidung dan susah terhirup lagi dari sesakkan kepanikan.

Mereka takut kalau terjadi apa-apa. Hadiah kepada ibu, ‘Seribu Kegelisahan’.

Anak-anak yang telah dibahagiakan oleh naik kelas bersyarat. Seragam sekolah jarang dikenakan. Semua buku-buku dalam tas beranak cucu, kosong tanpa tulisan. Kertas-kertas mengerut kusut dilahap kesedihan karena kerinduan.

Banyak kertas putih disobeki dan terbuang menjadi sampah. Tertiup kian kemari. Suasana juga belum pulih

“Mengapa?”.

Anak-anak kini, bergurau dengan liburan wabah berwajah Sembilan Belas. Dibodohi angin membawa  badai, lalu bersembunyi  di tengah mereka.

Daun-daun terus berjatuhan di atas tanah, dekat kaki pepohonan Jati. Ruang hirup semakin meluas. Wadah wabah membuka sayap, terbang di sekitar penghirupan dan sentuhan rasa.

Angin belum akan berakhir, Juni mengakhiri  di parkir dekat tepian bibir pantai. Akan ada galungan dari gulungan gelombang untuk segera berpisah bersama dedaunan yang terpisah dari belai kandungannya.

Kini hadir kabar Angin, badai beriringan seiring roda-roda waktu.

“Aku, masih ada untuk kalian. Sematkan diri sedini mungkin sebelum dini hari tiba. Balutkan dengan topeng setengah wajah. Cukupkan bening bola mata yang menyaksikan skenario dunia ini,” bisiknya. (*)

Penulis merupakan Penggiat Literasi

Menetap di Nekafehan – Belu

Foto utama (*/koleksi pribadi)