Oleh Yucundianus Lepa (Kader PKB NTT)
Sebuah Refleksi pada HUT Ke-23 Partai Kebangkitan Bangsa
Panggung politik adalah sejarah hari ini. Dan di panggung itu pula, PKB melibatkan diri sebagai elemen penting untuk ikut serta menggariskan masa depan bangsa. Benar apa yang diingatkan Richard Watson,”Masa depan itu tak tertulis, tetapi bagaimana kita membayangkannya bisa memengaruhi sikap dan perilaku kita saat ini, sebagaimana sejarah perorangan dan kolektif bisa menentukan siapa kita dan bagaimana kita bertindak…” (dalam Pengantar The Future-50 Ideas You Really Need to Know, Quercus, 2012).
Kehadiran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di atas panggung politik nasional pada tahun 1998, tepatnya pada tanggal 23 Juli 1998, didorong oleh dua hal. Pertama, sebagai respons atas perubahan yang ditandai oleh pergeseran rezim otoritarianisme ke rezim demokrasi. Kedua, sebagai wadah bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi bagi masyarakat pluralis di tengah polarisasi ideologis kepartaian dalam dua aliran utama : nasionalis dan agama.
Kini, sudah lebih dari dua dekade berlalu. Prestasi dan guratan perjuangan, adalah fakta kemarin dan hari ini. Selanjutnya tantangan ke depan menjadi sebuah refleksi untuk menata diri dan mengukuhkan tekad dalam menghadapi perubahan.
Demokrasi politik sebagai perubahan tatanan politik adalah sebuah keharusan sejarah. Namun, pengaruhnya sebagai roh partai politik yang menjadi energi gerakan perubahan terus menghadirkan tantangan. Eksistensi parpol, berikut kualitas keberadaannya, yang dalam waktu yang relatif panjang berkelindan dengan budaya politik masyarakat mengalami pergeseran yang signifikan.. Memakai perspektif Almond dan Verba (1963), mayoritas masyarakat Indonesia dinilai masih bergerak dari fase parokial menuju fase subyektif dan sebagian kecil sudah pada fase partisipatif. Hal mana menjadi fenomena yang juga dirasakan oleh PKB.
Namun, perubahan sosial yang dipicu terkronologis informasi terbukti tidak lagi mengikuti tahapan dan ramalan para pakar. Situasi aktual yang dirasakan PKB dan parpol lain, sekarang justru semakin dalamnya penetrasi “demokrasi digital” yang meniscayakan setiap elemen kekuasaan baik pemerintah maupun partai politik perlu mendengarkan warga lebih saksama lagi karena akan ada lebih banyak lagi warga yang berpolitik tanpa harus menjadi anggota partai.
Futuris Alvin Toffler menambahkan, ”Teknologi politik zaman industri bukan lagi teknologi yang pas untuk peradaban baru yang kini sedang terbentuk di sekeliling kita. Politik kita sudah ketinggalan zaman.” Boleh jadi itu ide untuk masa depan yang masih jauh. Namun, masa depan itu niscaya datang dalam berbagai elemen penggerak yang tak bisa dihindari.
Dalam karyanya The Future (Random House, 2013), mantan wakil presiden AS Al Gore menyebut ada enam penggerak perubahan global paling penting. Keenam faktor penggerak dimaksud adalah ekonomi global yang makin terhubung, terbangunnya jejaring komunikasi lintas dunia yang mempertautkan pikiran dan perasaan miliaran orang, keseimbangan ekonomi, pertumbuhan cepat tetapi tak berkelanjutan, teknologi, yang semakin revolusioner, serta perubahan mendasar dalam hubungan antara manusia dengan sistem ekologi bumi. Keenamnya tidak saja konvergen—memusat—tetapi juga berinteraksi satu sama lain.
PKB telah merespons perubahan dan tantangan itu dalam program dan platform perjuangan. Dan ini semua membutuhkan kerja keras dengan komitmen tinggi dan sinergisitas berbagai elemen. Tantangan yang dihadapi dalam negeri sebagai sebuah bangsa, juga tidak sederhana. Korupsi, penegakan hukum, radikalisme, terorisme, masih terus menjadi pekerjaan rumah.
Merujuk pada persoalan aktual sebagai konsekuensi perubahan global, dan juga persoalan kenegaraan yang berkaitan dengan mental-kultur kita sebagai bangsa, maka PKB sebagai parpol berada dalam dua tantangan yang harus dikelola : Pertama, tantangan digitalisasi demokrasi yang menuntut respons dan perubahan komunikasi politik. Kedua, tantangan ideologis berkaitan dengan nilai-nilai dasar sebagai sendi kehidupan bernegara.
Digitalisasi Demokrasi
Desakan masyarakat akan pentingnya UU mengenai Perlindungan Data Pribadi (PDP), UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), adalah sedikit fakta yang mengonfirmasi tentang perubahan sosial mendasar dalam kehidupan masyarakat. Pada sisi lain, di hari-hari ini, kita hadapi riuhnya ruang publik oleh kritik tanpa data, bergesernya media mainstream yang konstruktif berhadapan dengan media sosial yang minim etika. Penghujatan bertebaran dilandasi kebencian, penyerangan terhadap pribadi tanpa landasan etis, pembohongan publik, hoaks dan provokasi, adalah pertanda kuat bahwa digitalisasi kehidupan memasuki pula ruang politik dalam praktik berdemokrasi.
Digitalisasi meniscayakan Parpol perlu mendengarkan warga lebih saksama. Digitalisasi demokrasi, dengan demikian menjadikan setiap individu menjadi subyek politik. Subyek menjadi elemen yang hegemonik bertransformasi dalam subyektifitas untuk menghakimi, menabrak etika dan menyesaki ruang publik. Ruang sosial menjadi arena penuh polusi informasi dan keresahan. Mengobral ancaman dan dendam. Semua kontroversi ini akan terus bertahan tanpa akhir.
Dalam kondisi sosial yang bergerak acak dan saling gesek demikian, senantiasa hadir pertanyaan, di manakah peran parpol dalam edukasi dan literasi publik sehingga fungsi parpol sebagai kanal aspirasi tidak tergerus arus perubahan. Refleksi kritis PKB terhadap situasi aktual yang termanifestasi dalam Garis-Garis Besar Program Perjuangan kita harapkan dapat menjadi jawaban.
Tantangan Ideologis
Kembali ke dimensi historis. Fusi partai politik yang dilakukan rezim Orde Baru Tahun 1973, melahirkan ideologi nasionalis sekuler bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan nasionalis religius dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Walaupun parpol-parpol berbasis agama itu dikelompokkan dalam nasionalis-religius dengan ikatan ideologi Pancasila sebagai satu-satunya asas kepartaian, namun pluralisme dan inklusivitas tidak berkembang di sana.
Fusi partai dengan demikian lebih bermakna penggembosan untuk membesarkan Golkar sebagai boneka pemerintah. Ideologi nasionalis dan religius tumbuh dalam tafsir tunggal kekuasaan yang tidak memberi ruang bagi parpol untuk merumuskan platform perjuangan lebih eksploratif dan otonom. Kondisi ini menempatkan parpol hanya sebagai “gerombolan” peserta pemilu dan bukan kekuatan ideologi.
Arus kuat yang mulai menggema terkait dengan konfigurasi ideologis kepemimpinan nasional saat ini hadir kembali dengan mengusung ideologi nasionalis-religius. Aspirasi ini dapat dibaca sebagai kehendak publik dalam merespons situasi politik aktual yang berkembang saat ini.
Kebisingan-kebisingan yang bermuatan ideologis walaupun bersifat parsial dan tidak menjadi representasi publik mayoritas, namun terasa cukup mengganggu pemerintah dalam konsolidasi program dan implementasi kebijakan. Fakta aktual terkait kebisingan ideologis ini dapat kita sebut di antaranya kebijakan pemerintah dalam menangani wabah pandemi virus Covid-19 melalui pembatasan kegiatan masyarakat. Kebijakan ini diperhadapkan dengan tafsir keagamaan yang menggerus kepatuhan dan kesadaran masyarakat. Hal ini berakibat pemerintah harus mencurahkan banyak energi untuk mengklarifikasi dan mencari jalan berliku untuk membangun kesadaran kolektif.
Belum lagi masalah terorisme, radikalisme, yang terus bermutasi dalam beragam kegiatan keagamaan, pengembangan jaringan melalui pemanfaatan teknologi komunikasi, yang berpotensi sebagai ancaman terhadap kemanusiaan dan kenegaraan. Sulit untuk kita abaikan bahwa buih-buih persoalan yang mengemuka demikian adalah persoalan yang memiliki tautan erat dengan ideologi, mentalitas kebangsaan, dan religiositas masyarakat.
Dengan demikian formulasi nasionalis-religius tidak hanya menyentuh aspek ideologis tetapi juga tataran operasional. Kita tidak hanya membicarakan nasionalisme Indonesia sebagai sebuah pikiran konseptual, tetapi mengelaborasinya sebagai pekerjaan operasional. Titik simpul dari kekuatan bangsa untuk dapat menangani semua masalah ini adalah kepemimpinan nasional. Keyakinan demikian yang terus-menerus dibangun, dirawat oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sejak berdirinya pada tahun 1998 hingga sekarang dan di masa mendatang.
Reformasi Internal
Kompleksnya ”ruang publik baru” dalam era post-truth menuntut kecerdasan sosial partai dalam merespons dinamika dan tantangan yang muncul di tengah masyarakat politik. Butuh inovasi dalam berpikir dan bertindak untuk beradaptasi dengan lingkungan politik yang makin dinamis. Partai masa depan adalah partai yang memiliki kapabilitas untuk beradaptasi dengan konteks. Dominasi generasi milenial dalam piramida demografis pemilih akan dengan sendirinya memaksa partai juga berevolusi dengan zaman. Untuk itu, Hari Lahir Partai Kebangkitan Bangsa dalam usianya yang ke-23 menjadi momentum untuk melakukan refleksi sejumlah hal dasar.
Pertama, penguatan manajerial di tubuh partai. Kedua, pembenahan kualitas kepemimpinan. Ketiga, perbaikan pola komunikasi elite partai dan massa akar rumput. Keempat, perlunya implementasi prinsip demokrasi di dalam tubuh partai dalam hal diferensiasi peran dan sirkulasi kekuasaan untuk menghindari oligarkisasi dan praktik dinasti. Semua faktor kepemimpinan di atas hingga saat ini dinilai sudah baik. Hal ini paralel dengan prestasi politik yang diraih dalam kontestasi elektoral. Namun, tidak ada salahnya untuk memimpikan yang terbaik.
Dengan demikian perubahan tata laku kepemimpinan tidak lagi dipandang sebagai hal yang biasa-biasa saja. Perubahan harus dilakukan dengan cara yang lebih radikal melalui destruktif- kreatif. Destruksi kreatif akan mengarah pada pembongkaran watak kepemimpinan yang distigmatisasi sebagai “feodal” pada semua level.
Dari hasil destruksi ini setiap komponen partai dalam berbagai strata dan kelompok sosial untuk tanpa henti membangun kepemimpinan yang berwatak responsif, menjadikan masyarakat sebagai universitas untuk belajar dan memahami beragam masalah kehidupan, mengajak rakyat untuk bersama-sama memimpin dalam strata dan porsi tanggung jawabnya.
Sisi kreatif kepemimpinan, adalah merawat kepemimpinan berwatak manusiawi yang memiliki keluwesan untuk menempatkan diri dalam beragam strata sosial, tidak mudah terjerumus dalam percaturan ideologi kelompok, tidak terbawa arus dalam berbagai kelompok kepentingan, tidak mudah terbawa perasaan atas kritik dan mencari alasan pembenaran untuk melegitimasi tindakan. Melalui kepemimpinan yang kreatif, seorang pemimpin dapat menciptakan hal-hal besar dalam kehidupan sosial kemanusiaan karena pikiran dan tenaganya tidak terserap untuk hanya sekadar merawat kekuasaan.
Selamat merayakan Ulang Tahun Ke-3 Partai Kebangkitan Bangsa PKB.
Gariskan masa depan Indonesia melalui Kepemimpinan Nasional yang: berjiwa Pancasilais, berwatak Nasionalis dalam spirit Keagamaan. PKB Bangkit dan Jaya !!!
Foto utama (*/koleksi pribadi)