Mengapa Praktik Oligarki & Demokrasi Semu Tumbuh Membudaya?

Loading

Oleh: Sumarna, APN Ditjen Strahan Kemhan

Pesatnya kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di era globalisasi sangat berdampak terhadap perubahan cara pandang dan pola pikir manusia, termasuk setiap WNI dalam menghadapi dinamika dan problematika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta kehidupan politik dan berdemokrasi yang dilandasi nilai-nilai ke-Indonesia-an berbasis legitimasi negara.

Hingga saat ini  22 tahun reformasi, kita  masih dalam masa transisi demokrasi, sehingga perlu ada dorongan dan komitmen bersama, untuk membangun sistem kepartaian yang sehat dan tidak kompatibel dengan cita-cita bersama perlu  didukung dengan pembiayaan yang cukup untuk bertahan, sehingga parpol yang tidak sehat akan hilang pada masa transisi  berdemokrasi. Tak ada negara demokrasi yang sehat, tanpa adanya parpol yang sehat, negara Indonesia ini akan maju,  jika didukung oleh parpol yang sehat. Negara mewujudkan dan melindungi terhadap keberlangsungan perpolitikan yang sehat.

Pembukaan UUD 1945 merumuskan Tujuan Negara yakni: untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdakaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, dapat terwujud agar rakyat dapat merasakan kesejahteraan. Sedangkan konsep negara demokratis yang menciptakan negara hukum untuk mewujudkan negara yang adil bagi seluruh rakyat dengan peraturan tertentu dalam penegakannya, sehingga harus bersifat profesional, adil, dan bijak sesuai norma yang berlaku.  Bahkan masalah menjadi semakin kompleks, saat kepala daerah yang dipilih lahir melalui proses oligarki.

Menurut Jeffrey Winters, akademisi dari Northwestern University, dalam bukunya Oligarchy (2011), bahwa demokrasi kerap dikuasai kaum oligarki sehingga makin jauh dari cita-cita memakmurkan rakyat.  Dalam International Encyclopedia of Social Sciences, oligarki didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan yang kekuasaannya berada di tangan minoritas. Oligarki menekankan kekuatan sumber daya material sebagai basis dan upaya pertahanan kekayaan pada diri mereka.

Secara faktual,fenomena ini kita lihat dalam praktik dinasti politik di banyak daerah atau fenomena ‘investor’ yang menjadikan kandidat sebagai pion dari beroperasinya kekayaan di daerahnya dengan penguasaan sumber daya material oleh seseorang atau sekelompok orang yang pada akhirnya melakukan penguasaan politik untuk melindungi kekayaannya. Hasil berbagai survei mengenai politik Indonesia menyimpulkan bahwa selama 13 tahun Reformasi tidak membawa perubahan mencolok di Indonesia, bahkan keadaan pada masa Orde Baru dipandang jauh lebih baik ketimbang masa Reformasi.

Menurut Jeffrey A. Winters, Direktur Buffet Institute of Global Affairs, dalam riset berjudul “Oligarchy and Democracy in Indonesia” (2013) bahwa Jokowi adalah produk oligarki. “Kemenangan luar biasa Jokowi berkat dukungan dari berbagai kalangan yang mendorong menuju kemenangan.

Pembangunan yang hanya bertumpu pada pembangunan fisik semata tidak akan membawa kemaslahatan dan kesejahteraan umum. Pembangunan mental (revolusi mental) bangsa Indonesia jauh lebih penting dan mendesak untuk dilakukan.

Menurut  Yuki Fukuoka dan Luky Djani, pada artikel yang diterbitkan dalam South East Asia Research tahun 2016 berjudul  “Revisiting the Rise of Jokowi: The Triumph of Reformasi or An Oligarchic Adaptation of Postclientelist Initiatives?” yang menganggap sejak awal Presiden Jokowi sudah bukan lagi sosok yang ia citrakan ke publik selama kampanye: mengutamakan kepentingan rakyat di atas partai.

Pemimpin negara di era Reformasi terkadang dinilai kurang tegas, dibandingkan era kekuasaan Soeharto, Pandangan itu tidak semuanya benar dan tidak semuanya salah. Kita ketahui bersama, betapa oligarki kekuasaan masih membelenggu partai-partai politik, sehingga mengganggu proses demokrasi, bahkan di dalam partai itu sendiri. Kekuatan oligarki juga tampak pada sendi-sendi kehidupan lain, jika kita lihat dari sisi penumpukan kekayaan, era Reformasi, khususnya di era Presiden SBY.  Hasil kajian Prof Jeffrey Winters dari Northwestern University,AS, mengutip data dari Capgemini and Merrill Lynch menunjukkan, pada 2004 saat SBY terpilih menjadi presiden, ada sekitar 34.000 orang Indonesia memiliki aset paling sedikit USD1 juta di luar negeri.

Demikian periode Kabinet Jokowi dengan Ma’ruf Amin, yang menambah Partai Gerindra sebagai bagian dari Kabinet Indonesia Maju. Presiden Jokowi terkesan membagi-bagi posisi pejabat negara kepada tim sukses termasuk relawan yang bergabung dalam pemenangan Pilpres 2019 untuk membangun sebuah demokrasi gotong royong. Menurutnya di Indonesia tidak ada yang namanya oposisi, demokrasi kita adalah demokrasi gotong royong.

Beberapa bulan pemerintahannya, masyarakat menaruh harapan besar untuk  bisa meningkatkan kualitas demokrasi. Seperti ditulis di awal artikelnya, Luky Djani dan Yuki Fukuoka, bahwa berkebalikan dengan  konsep ‘bersih’ dan ‘profesional’, Jokowi memberikan posisi strategis kepada kepentingan oligarki dan mengindikasikan keputusan yang dilandasi oleh partai pendukungnya, di sisi lain, politik balas budi  bisa jadi cara ampuh Jokowi memuluskan kekuasaan. Lalu bagaimana oligarki kekuasaan tunduk pada diri seorang Presiden?

Kisah demokratis ini dilakukan oleh gerakan oligarki dimana kekuasaan kaum berduit menempatkan Jokowi di hadapan para pemilihnya, sehingga Jokowi berhasil menang karena partai politik dan kaum elite memutuskan untuk mengusungnya menjadi presiden, sehingga tidak  dapat melawan kepentingan elite dan partai politik. Penggunaan UU ITE untuk masyarakat sipil, dinilai akan memunculkan permasalahan baru di masyarakat, ketika mobilisasi klientelistik menjadi kurang efektif, elite oligarki mulai selektif merangkul populisme guna mempertahankan struktur kekuasaannya.

Langkah itu untuk melumpuhkan oposisi.”sebagai bagian dari Oligarki, Wajar jika diawal kemunculannya dalam gelanggang politik nasional, Jokowi menjadi harapan kelompok sipil dan aktivis.  Ada asumsi bahwa hal ini terjadi karena kesalahan persepsi  jika terjadi pemaksaan keserentakan pada pemilu pada 2024 mendatang, sehingga akan membuat  “Demokrasi” di Indonesia semakin mundur dan kepentingan subjektif  untuk upaya penjegalan terhadap partai dan kandidat  tertentu pada Pemilu  2024 harus dihilangkan.

Bangsa Indonesia saat ini  dalam kondisi krisis kepemimpinan akibat perubahan orientasi, dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, salah satunya dalam  berdemokrasi,  yang sudah mengarah pada persimpangan jalan dari tujuan nasional. Hal itu adalah dampak dari pemimpin yang kurang responsif  memanfaatkan kondisi ini sebagai peluang, melainkan hanya dilihat sebagai ancaman.

Untuk mewujudkan keadilan diperlukan upaya pemerataan sumber daya agar kelompok masyarakat yang lemah dari kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi dapat diatasi dan dientaskan.  Terkait hal itu, pada momentum Hari Keadilan Internasional tanggal 17 Juli 2021, kita bersama masyarakat untuk  bersinergis  mensosialisasi dan menegakkan keadilan di berbagai aspek kehidupan, Hukum harus ditegakkan, sebab semua orang berkedudukan yang sama di hadapan hukum, serta pemenuhan hak rakyat dapat dilakukan dengan merata.

Penegakan hukum selama ini belum sesuai harapan dan pelaksanaannya harus berjalan selaras dengan Undang-undang yang berlaku agar tidak melahirkan masalah baru. Akibatnya, pemegang kekuasaan tidak bisa jauh dari oligarki rezim terdahulu, bedanya, dengan kemunculan kelompok buruh dan aktivis, elite politik di era pasca-Orde Baru mempertimbangkan kepentingan masyarakat kelas menengah ke bawah.

Jika langkah ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin pelaksanaan demokrasi di Indonesia akan semakin jauh dari harapan, sistem perpolitikan akan semakin kacau, dan warga masyarakat kalangan bawah akan semakin tersingkirkan, sehingga praktik Oligarki semakin tumbuh subur berkembang dan membudaya di kalangan  masyarakat Indonesia, sehingga Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa hanya sebagai slogan.

Pemerintah bersama seluruh elemen masyarakat dan rakyat, serta stakeholder terkait perlu bersinergi untuk mengambil langkah  strategis dengan menata ulang kembali Sistem Politik, perundang-undangan, pengelolaan pertahanan dan keamanan negara, sekaligus memberikan edukasi politik kepada masyarakat Indonesia, agar seluruh warga masyarakat mengerti dan pahan akan sistem politik yang sehat, serta  perlu segera merevisi UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelanggaraan Pemilu secara efisien dan komprehensif, dalam proses kenegaraan yang berimplikasi terhadap  tumbuhnya praktik oligarki & demokrasi  yang semu  membudaya di Indonesia, serta guna memberi penguatan kesadaran berpolitik bagi  setiap WNI.

Foto utama (*/istimewa/universitas indonesia)