Indonesia Negeri Diskon Hukuman Koruptor, Kabar RUU Perampasan Aset?

Loading

Oleh: Andre Vincent Wenas

Negeri diskon hukuman koruptor. Begitulah kesan yang muncul akhir-akhir ini gara-gara kasus Djoko Tjandra (pengusaha), Pinangki (eks Jaksa), Eddy Prabowo (eks MenKKP, Politisi Gerindra) dan Juliari P. Batubara (eks Mensos/Politisi PDIP). Kasus-kasus berbau diskon hukuman yang sebelumnya juga banyak sih sebetulnya.

Belum lagi kita bicara soal fasilitas mewah di Penjara Sukamiskin bagi para napi koruptor. Foto-foto yang terpampang di media menampilkan bagaimana Setya Novanto (eks Ketua DPR-RI/Politisi Partai Golkar), M. Nazaruddin (ex Bendahara Umum Partai Demokrat) bersama napi koruptor lainnya bergembira ria berkumpul di sebuah ruangan, kabarnya di Penjara Sukamiskin, yang telah disulap bak kamar hotel bintang lima.

Najwa Shihab juga pernah sidak ke Penjara Sukamiskin dan mendapati sel-sel penjara “palsu” yang ditempati Luthfi Hasan Ishaaq (eks Mentan/Politisi PKS) dan banyak napi koruptor lainnya. Walah…

Ada apa di Indonesia ini?

Penjara Sukamiskin itu untuk menjalani hukuman atau sekadar basa-basi pelesiran ala Holiday-Inn di mana mereka toh masih bisa doing business and pleasure as usual? Sama saja… hanya tempatnya beda! Begitu seperti potongan lirik lagu yang kerap dilantunkan para waria.

Katanya korupsi itu adalah bentuk kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Jadi semestinya hukumannya pun extra-ordinary dong ya.

Selain upaya pencegahan, lewat kampanye anti-korupsi serta berbagai upaya edukasi publik demi membangun budaya anti-korupsi, maka langkah terakhir tentunya adalah: tangkap dan hukum sang koruptor!

Nah persoalannya adalah, penangkapannya tak boleh tebang pilih, serta hukumannya pun tak boleh tawar menawar ala dagang sapi di luar ruang sidang. Begitu kan seharusnya.

Lalu kita pun menyimak kegeraman publik tentang fenomena yang memang kurang ajar ini. Mereka berteriak, “…sudahlah hukum mati saja para koruptor itu!” Ekspresi memuakkan yang memuncak.

Okelah, kita bisa memafhumi geletar kemarahan publik seperti ini. Mereka juga mempertanyakan ketegasan sikap dari KPK, juga Kejaksaan dan tentunya Kepolisian.

Sebagai triumvirat garda terdepan penegakan hukum di Indonesia apakah bandul timbangan mereka selalu berat sebelah dan pedang keadilan mereka sudah tumpul? Atau sengaja dibuat mandul? Oleh siapa Dul?

Sewaktu konferensi pers OTT Juliari P. Batubara, kita ingat ucapan Ketua KPK Filri Bahuri yang bilang bahwa Juliari bisa saja terancam hukuman mati, asalkan semua syarat hukumnya terpenuhi.

Ancaman hukuman mati itu tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”

Sedangkan ayat (1) UU 31/1999 (UU Tipikor) itu bunyinya, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).”

Ada pun penjelasan Pasal 2 Ayat (2) tentang hukuman mati itu bunyinya, “Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.”

Jadi “syarat tertentu” seperti itu mesti dipenuhi agar hukuman mati bisa dikenakan. Lalu tentu pertanyaannya, apakah Juliari P. Batubara itu juga dijerat dengan pasal 2 UU Tipikor itu? Ternyata tidak.

Juliari dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor. Itu soal suap menyuap.

Dan akhirnya kita tahu bahwa tuntutannya adalah 11 tahun penjara. Hmm… lalu apakah ia bakal dipenjara di Hotel Sukamisk-Inn… eh penjara Sukamiskin? Dengan segala fasilitas mewahnya, serta “kebebasan” untuk doing business as usual? Wallahualam.

Kecewa? Ya tentu saja. Jadi bagaimana?

Ada satu perangkat hukum yang sebetulnya paling bikin gentar para koruptor. Tapi sayangnya perangkat hukum itu belum disahkan, alias masih nyangkut di DPR-RI. Apa itu? RUU Perampasan Aset.

Ya, RUU Perampasan Aset. Di mana engkau berada saat ini? Apa kabarnya?

Kita sama-sama tahu bahwa motif ekonomi dalam tindak pidana korupsi adalah memperkaya diri lewat duit, fulus alias uang… lagi-lagi uang…

Tentu saja kalkulasi cost-benefit (untung-rugi, insentif-risiko) adalah basic-instinct mereka. Begitu pun dalam keterlibatannya saat merancang tipikor (tindak pidana korupsi), baik langsung maupun tidak langsung.

Soal risiko ketangkep? Yaah inilah risiko terburuknya… paling-paling masuk Hotel Sukamisk-Inn, dan bisnis pun tetap bisa dijalankan dari sana. Masih ada kompensasi benefit-nya kok. Pelesiran bisa kapan saja, ijin sakit jadi semacam visa keluarnya.

Dan itu semua sudah tahu sama tahu, dan tempe sama tempe. Ada uang abang disayang, tak ada uang bisa atur operasi korupsi lagi dari dalam. Maka, kenapa mesti takut? Selama masih ada uang, semua yang ada di sana bisa dibeli kok.

Ya itu selama masih ada uang kan. Kalau sudah tidak ada? Nah itu baru deh nyahok!

Contohnya, seperti yang diceritakan Bro Rian Ernest (politisi PSI) di kanal Cokro-tv belum lama ini. Kasusnya tentang mantan Bupati Kendal Hendy Boedoro yang mengorupsi APBD-nya. Sudah divonis 7 tahun penjara, di tingkat kasasi di MA (Juni 2008). Sudah inkrah, berketetapan hukum. Plus ia pun mesti bayar denda serta uang pengganti sekitar 13,1 miliar rupiah.

Begitu de-jure, tapi de-facto ia toh tak pernah membayar kewajibannya itu, sampai tahun 2010! Bahkan, nah ini yang bikin kening berkernyit… nyit… nyit! Istrinya, Widya Kandi Susanti, lalu ikut kontestasi pilkada untuk kursi Bupati Kendal pada Mei 2010, berkampanye (tentu butuh dana kan), dan… menang! Hip…hip…huraaa!

Tentu saja kita bertanya, kenapa tak bisa dirampas saja hartanya?

Ya itulah pentingnya RUU Perampasan Aset tadi segera disahkan oleh DPR-RI. Padahal di laman DPR-RI tentang Prolegnas, sudah disebutkan,

Latar belakang dan tujuan RUU ini lantaran adanya kebutuhan suatu perangkat hukum yang memungkinkan penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana secara efektif dan efisien, yang memperhatikan nilai-nilai keadilan dengan tidak melanggar hak-hak perorangan.

Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dinilai belum secara komprehensif dan rinci mengatur tentang perampasan aset yang terkait dengan tindak pidana, dan masih memiliki banyak kekurangan (loophole) jika dibandingkan dengan Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) yang direkomendasikan oleh PBB dan lembaga-lembaga internasional lainnya.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme dan Konvensi Menentang Korupsi. Konvensi tersebut antara lain mengatur mengenai ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan upaya mengidentifikasi, mendeteksi, dan membekukan serta perampasan hasil dan instrumen tindak pidana.

Pemerintah Indonesia harus menyesuaikan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang ada dengan ketentuan-ketentuan di dalam konvensi tersebut. Tujuannya ialah: untuk menekan tingkat kejahatan dan memenuhi kebutuhan hukum.

Sasaran yang ingin diwujudkan: menyita dan merampas hasil tindak pidana dari pelaku tindak pidana tidak saja memindahkan sejumlah harta kekayaan dari pelaku kejahatan kepada masyarakat, tetapi juga akan memperbesar kemungkinan masyarakat untuk mewujudkan tujuan bersama yaitu terbentuknya keadilan dan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat.

Jangkauan dan Arah Pengaturan: aset yang diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana yang dapat dirampas; aset yang tidak seimbang dengan penghasilan; penelusuran aset; ketentuan pemblokiran dan penyitaan perampasan aset; permohonan perampasan aset; tata cara pemanggilan; wewenang mengadili;  acara pemeriksaan di sidang pengadilan; pembuktian dan putusan pengadilan; pengelolaan aset; tata cara pengelolaan aset; ganti rugi dan/atau kompensasi; perlindungan terhadap pihak ketiga;  kerjasama internasional; pendanaan; ketentuan peralihan; ketentuan penutup.

RUU ini adalah inisiatif pemerintah, diajukan sejak tahun 2012, kabarnya sudah masuk Prolegnas sejak 2015 (menurut laman DPR-RI), tapi nggak kelar-kelar sampai sekarang. Sudah 9 tahun sejak diajukan, dan sudah 6 tahun sejak masuk Prolegnas.

Mengapa begitu?

Mari kita tanyakan pada rumput yang tak pernah bergoyang (lantaran rajin dipangkas) di halaman Gedung DPR-RI Senayan.

Sabtu, 31 Juli 2021

Penulis merupakan pemerhati ekonomi-politik

Foto utama oleh freepik