Oleh : Melkianus Nino
“…Seperti waktu yang berkata dalam diam, rencana pulang telah memelukku. Semua akan usai, jika waktu memberi izin. Aku berbisik kepada hari ini. Aku, juga tak menyangka, kalau di bening bola matanya, Dia telah menangis dan pulang dengan sukacita…”
Seiringnya doa malam, aku kadokan kepada Sang Khalik yang menatapku dengan tenang dan sepi. Kesepian menahkodai untuk menundukkan kepala dan bersimbah sujud. Aku tahu, bahwa Aku sedang bersama malam. Aku mendambakannya, sebab malam adalah kesejukan, kegelapan dari sorotan di persimpangan jalan dan kesepian dari hiruk-pikuk pagi menunggu pulang.
Lagamnya malam melamban dengan rayuan dan jatuh si rintik-rintik hujan yang juga redah. Keributan di atas atap, berlantun syahdu tak mengungkapkan kata terakhir. Aku bercerita kepada rintik gerimis, perlahan yang selalu mendamaikan. Seperti pada kelak, di esok. Namun, pagi belum berubah jubah. Kini, malam diiringi suara-suara, Suara itu sepi.
Badan dibungkus selimut mengundang mata turut bersayup-sayup. Kening menggulung bagai gelombang di pesisir. Lautan membentang tertiup angin dari timur meniup ke barat. Semua saling bersahabat.
Berehat pada malam Senin senyap dari murkanya mentari. Pesona bias masih melirik dari balik awan, sebentar menanti sebuah perpisahan. Titik-titik gerimis jatuh membasahi seisinya, peninggalan buah cipta sang pencipta. Tangan-tangan renta berwajah pasi, menjunjung sehelai menutup ubanan. Keringat meleleh pipi, bukan tangisan. Langkah-langkah pergi diundang kepenatan.
Dia, dan si waktu menunggu jejak-jejak kehidupan. Masa kemarin tertinggal dari hadiah kerinduan yang akan pupus pada kapan dan akan ke mana. Badan sudah lusuh dihibur kesempatan menghirup udara terakhir. Aku menatapnya, Mereka pemberi waktu.
Aku seperti sedang bermimpi, bernyanyi dengan komat-kamit bersama kelompok jangkrik-jangkrik yang menghibur remang malam. Namun, kukenang suara-suara itu, juga memutar roda-roda waktu.
Dengan segelas kopi, Aku dan jemari ini menarikan pena di atas kertas buram kosong. Aku anggukan kepala dan menuliskan sebuah pesan, “Langkah Menapaki Waktu”. Tawa kecil ini, menguasai segala yang ada. Alam, juga malam adalah sahabat-sahabat karib di mana diksi-diksi mengajak untuk menaruh hati kepada kertas-kertas putih. Demi Waktu.
Bunga-bunga di taman bersuka ria, menanti kuncup-kuncup baru. Harapan berbenak biar pagi segera tiba. Aku ingin membelai dengan manja. Kebahagiaan hadir di tengah kesepian. Hamparan hijau dan hirup aroma mawar mengusik kalbu. Esok menungguku.
Di pagi tiba, gerimis mengundang deraian derasnya hujan membasahi ruang-ruang bumi. Langkah dihalangi, Aku kembali kepada palung pembaringan. Kehadiran pagi ini, tak seperti cerah kemarin. Tak ada yang mampu terjawab, bibir telah dijahit rasa diam yang terpenjara dalam kebodohan. Derita batin bukan pembatasnya jeruji, namun, meminta kebebasan. Di sini, masih menikmati aroma pagi.
Namun, badai pagi belum juga pulih. Aku ingin keluar dari bayang-bayang, pilu telah menimangku dengan kesabaran. Aku malu dengan deraian membasahi tubuh ini. Aku dan segenap berdiri mematung yang masih mengurungku dengan kepasrahan.
Akhirnya, waktu mengizinkan dan pergi dengan tinggalkan redah. Aku berdiri sembari meremas jari jemari dengan menghitung bunyi itu. Kini, semua telah hening dengan menyaksikan sandiwara senja akan berlabuh. Aku menimang satu harapan kelak, jika memberikan restu bawalah pergi badai pandemi. Sehingga, tahun yang telah silam membawa cerita saat pesona senja melangkah pulang.(*)
Penulis merupakan pegiat literasi & Mahasiswa STISIP Fajar Timur Atambua – Belu
Foto utama (*/koleksi Garda Indonesia)