Waisak di Kota Kupang, Umat Buddha Ambil ‘Tirta’ di Baumata

Loading

Kupang, Hari Raya Waisak 2568 BE/2024 jatuh pada tanggal 23 Mei. Beragam aktivitas pun dihelat oleh umat Budha di Indonesia, termasuk di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Ketua Permabudhi (Persatuan Umat Buddha Indonesia) Provinsi NTT, Indra Effendy, S.E. menguraikan rentetan seremoni perayaan Waisak 2024 dengan melakukan karya bakti tabur bunga dan ziarah di taman makam pahlawan (TMP) Dharma Loka Kupang.

Kemudian, imbuh Indra, pada Rabu, 22 Mei dilakukan pengambilan Tirta atau air suci di Baumata untuk dipergunakan dalam ritual kebaktian Waisak pada Kamis, 23 Mei. Kebaktian akan dilakukan pada malam hari menjelang detik-detik Waisak 2568 BE/2024 yang jatuh pada pukul 20.52.42 WITA. Dan puncak acara Dharmasanti Waisak pada Senin, 27 Mei 2024.

Perlu diketahui, Permabudhi merupakan forum komunikasi umat Buddha yang terdiri dari berbagai Mazhab dan aliran Agama Budha yang ada di Indonesia. Permabudhi layaknya seperti MUI terdapat NU dan Muhammadiyah atau PGI yang menaungi denominasi Kristen dan menurut data Dukcapil, pemeluk agama Buddha di Kota Kupang  terdapat lebih dari 200 jiwa.

Tirta atau Air Suci dari Baumata

Setiap perayaan Waisak, umat Buddha Kota Kupang selalu berupaya mengambil Tirta dari sumber mata air bersih dan tak terlalu jauh dari Kota Kupang. Menurut Indra Effendy, pengambilan Tirta di mata air Baumata dilakukan sejak beberapa tahun terakhir.

“Vihara (tempat persembahyangan umat Buddha, red) mulai dipergunakan sekitar tahun 2021 waktu Covid-19. Jadi, sejak itu kami melakukan ritual pengambilan Tirta di Baumata. Sebelumnya, belum pernah dilakukan,” ungkap Indra Effendy.

Dilansir dari Republika, terdapat sebuah mata air di Desa Baumata, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang. Mata air Baumata terdapat di dalam gua yang dahulunya merupakan gua persembunyian tentara Jepang. Mata air Baumata mengairi berhektar-hektar sawah dan ribuan rumah penduduk yang ada di empat desa.

Bagi masyarakat setempat, gua Jepang tersebut adalah tempat yang dikeramatkan. Menurut penuturan seorang warga bernama Eva Tanof, setiap tahun pada bulan Mei, warga dari 4 (empat) desa mengadakan ritual potong sapi di gua.

Ritual ini dinamakan ansimo oel atau adat menerima air.

Ribuan masyarakat berkumpul di sekitar gua untuk memotong sapi dan memasaknya. Hasil olahan sapi wajib dimakan dan dihabiskan di tempat itu juga. Tidak ada yang berani melanggar ritual karena bagi warga setempat, gua dan sumber mata air itu sangat dihormati.

Bagi penduduk lokal, ansimo oel merupakan salah satu cara menghormati alam dan leluhur agar mata air selalu terpelihara dan air senantiasa mengalir.

Penulis (+Roni Banase)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *