TBC Penyebab Kematian Terbanyak Ke-3 di NTT Tahun 2017

Loading

Oleh Karolus Ngambut, SKM, MKes. Ketua Program Studi Kesehatan Lingkungan Poltekes Kemenkes Kupang

Kupang-NTT, Garda Indonesia | Refleksi dalam rangka memperingati Hari TBC Sedunia Minggu, 24 Maret 2019, ditulis dengan gaya apa adanya, santai dan sedikit menyentil tentang kondisi riil saat ini dengan berbagai ritme kehidupan

Hok hok hok… demikian bunyi batuk dari seorang lelaki tua yang berusia hampir 57 tahun pada bulan Mei 2019, ditemani oleh seorang cucunya Indah (nama samaran) yang berdiri persis disampingnya, duduk dimuka rumah mereka yang tampak suram dari kejauhan, berdinding bebak, beratap rumbai dan lantai teras rumah gelap keabuan, maklum, lantai tanah.

Rumah berukuran 6 x 7 meter persegi tersebut di dalamnya juga berlantai tanah, agak lembab, di dinding rumah bagian dalam terlihat pula beberapa gambar lambang partai politik dan sederetan sticker gambar para calon anggota dewan baik pusat maupun calon anggota dewan di daerah, menutupi celah pelepah bebak, sebab kalau tidak, pandangan dari dalam rumah bisa menembus ke pohon beringin yang rindang yang berdiri kokoh disamping rumahnya yang berjarak kurang lebih 10 meter.

Lelaki paruh baya tersebut hidup bersama istri, dua orang anak, seorang laki laki dan perempuan yang berusia sekolah SD dan SMP serta cucunya yang ditinggal ibunya merantau ke negeri seberang mencari nafkah selama hampir 2 (dua) tahun belakangan ini. Di dalam ruang tempat mereka tidur, terdapat kelambu yang nampak jelas mereknya, dari Kementerian Kesehatan, terlihat agak coklat kehitaman, dibagian atas atau plafond kelambu tersebut nampak sehelai kertas putih ditulis tangan dengan digambar rumah dan dan seorang perempuan berdiri disebelah gambar tersebut dan dibawahnya bertuliskan rindu.

Gambar dan tulisannya sudah nampak usang, maklum digambar dan di tulis dengan pensil. Di regel dekat jendela rumah mereka terdapat bungkusan plastik putih yang didalamnya terdapat sejenis obat tertulis rimfapicin, dan aturan pakai di tulis lengkap dan jelas di bungkus obanya.

Ketika ditanya, sudah berapa lama, bapak minum obat ini ? dua bulan katanya dengan tegas, sambil tangan kirinya menutupi mulut yang terlihat menahan batuknya, dan tangan kananya memegang kaleng bekas, seperti bekas kaleng susu kental manis, didalamnya berisi cairan dahak dan air kira kira seperempat bagian dari kaleng tersebut.
Apakah obat ini selalu di minum ? Dengan mengangguk kepala lelaki paruh baya tersebut melanjutkan lagak lebih baik setelah minum obat ini, napas mulai terasa ringan.. berbeda dengan sebelum minum obat ini . Obat ini saya dapat dari puskesmas.

Dia adalah Bapak Ande ( nama samaran ) , seorang petani yang memiliki kebun dengan luas sekitar seperempat hektar menurut pengakuannya , kebunnya ditanami beberapa jenis tanaman seperti pohon kopi, pohon avokad, pohon mangga juga pohon enau serta pohon pelindung yaitu dadap juga enau yang setengah tua, rimbun di kebunnya yang konturnya miring sekitar 45 derajat, tampak juga bebrapa jenis tanaman ubi ketela pohon (singkong /casava) varietas lokal, mereka dan masyarakat lokal lainnya biasa menyebutnya Ubi Bogor. Ubi tersebut isinya putih, dan kalau direbus selama 15 menit rasanya sangat enak, lebih enak dari varietas lainnya yang berwarna kuning. Selain ubi, juga terdapat keladi di sekitar kebun yang mereka miliki. Ubi atau singkong menjadi makanan sarapan pagi sebelum ke kebun di pagi hari dan sebagai makan selingan di sore hari yang biasanya disuguhkan dengan segelas kopi pahit dengan sedikit gula.. itulah keseharian pak Ande ..

“Sejak batuk saya lebih sering dalam beberapa tahun terakhir, saya tidak kuat lagi bekerja”, ujarnya lirih

Biasanya saya pergi ke kebun di pagi hari, sekarang tidak bisa lagi, badan terasa lemah, napas agak sesak, dan jalan ke kebun sangat susah, maklum kebun kami jaraknya sekitar 4 km dari rumah ini, dan menyusuri pepohonan kadang mendaki, juga kadang menurun.

“Biasanya saya ke kebun butuh waktu 45 menit, sekarang harus butuh waktu 2—3 jam lamanya baru sampai di kebun”, ungkap Pak Ande

Karena saya harus sering istirahat di jalan jika saya ingin sekali ke kebun… sekarang istri saya yang lebih sering ke kebun, dan kadang mencari tambahan upahan uang di orang dengan membersihkan kebun milik orang atau tetangga, demikian pengakuan Pak Ande saat di temui di rumahnya beberapa waktu lalu.

Tidak banyak yang tahu, kalau hari ini tepat tanggal 24 Maret dunia memperingatinya sebagai hari Tuberkulosis sedunia. Setelah 137 tahun lalu, tepatnya 24 Maret 1882 seorang ilmuwan bernama Dr Robert Koch mengumumkan bahwa ia telah menemukan penyebab penyakit TBC.

Saat itu, wabah TBC menyebar di Eropa dan Amerika, menyebabkan kematian 1 dari 7 orang. Kini TBC menyebar ke Indonesia, dan juga di NTT, seperti yang diderita oleh pak Ande di kampungnya.

Data Kementerian Kesehatan RI, menunjukkan jumlah orang yang menderita TBC di Indonesia tahun 2018 sebanyak 842.000 penderita (Incidence Rate, 319 per 100.000 populasi).

Data Indonesian Health Metrix http://viz.healthmetricsandevaluation.org/gb

menunjukkan TBC merupakan penyumbang kematian nomor 4 di Indonesia dan penyumbang kematian nomor 3 di NTT pada tahun 2017.

Dan hanya 29% detection rate TBC di NTT tahun 2018, artinya masih banyak yang belum terdeteksi atau terjaring, dan menjadi sumber penularan. Penyakit ini berdampak pada lebih masiv yaitu hilangnya hati produktif sebesar 7,6% pada tahun 2010 (indonesian health system review, 2018). Selain itu, penderita TBC juga rentan terhadap infeksi lainnya, karena penderita mempunyai daya tahan tubuh yang rendah.

Penyakit TBC, disebut juga penyakit Re Emerging Diseases, artinya penyakit yang muncul kembali, di beberapa belahan dunia lainnya, penyakit ini sudag lenyap, sehingga kalau kita hendak datang ke negeri mereka untuk wisata atau belajar, maka salah satu yang menjadi syarat adalah kita harus bebas dari penyakit TBC yang dibuktikan dari hasil foto dada atau rontgen thorax, pasti mereka sangat takut dengan penyakit TBC, karenanya mereka betul betul screening kepada setiap orang yang masuk ke negeri mereka sebagai bentuk kewaspadaan oleh negaranya terhadap kita yang datang dari negara seperti kita yang banyak penderitanya.

Faktor determinan

H.L Bloom , seorang Ahli Kesehatan Masyarakat di Amerika pada tahun 1974, meneliti tentang faktor yang mempengaruhi status kesehatan masyarakat di suatu tempat, disimpulkan bahwa faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik mempunyai kontribusi masing masing 45 persen, 30 persen, 20 persen dan 5 persen terhadap derajat kesehatan masyarakat.

Faktor lingkungan seperti dialami oleh Pak Ande pada kasus di atas meliputi lingkungan rumah tempat tinggal yang sempit atau padat, lantainya tanah, ventilasi rumahnya juga jarang dibuka, atau hampir tidak ada, penerangan dalam rumah yang gelap. Kondisi tersebut merupakan dampak dari suatu kondisi sosial dan kondisi ekonomi Pak Ande sebagai faktor predisposisi.

Selain itu, pak Ande yang terlambat berobat ke petugas kesehatan karena ketidaktahuan Pak Ande terhadap kondisi kesehatannya, juga ketidaktahuannya tentang penyakit dan cara penularan serta pencegahan menambah parah konsisinya. Itulah sebabnya faktor lingkungan mempunyai dampak yang besar terhadap status kesehatan Pak Ande.

Faktor lainnya yang juga mempengaruhi Pak Ande adalah kepatuhan pak Ande untuk minum obat yang di berikan oleh tenaga kesehatan (faktor perilaku). Menurut pengakuannya Pak Ande masih rutin minum obatnya, meskipun tidak dijaga oleh istrinya, karena Pak Ande rasakan betul perubahan baik yang didapatnya. Keadaan seperti ini mungkin berbeda dengan yang lainnya yang menderita tuberculosis yang tidak patuh minum obat yang di berikan. Kepatuhan minum obat berdampak pada orang tersebut resistensi obat, atau kebal terhadap obat, sehingga kalau alpa minum obat, maka yang bersangkutan butuh waktu yang lebih lama lagi untuk minum obat supaya sembuh. Di dalam diri seorang penderita, dia akan menjadi pembawa penyakit (carier), yang dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain, jika perilakunya membuang dahak di sembarang tempat.

Faktor ketiga adalah faktor yang terkait dengan layanan kesehatan, seperti upaya penyuluhan terus menerus untuk menyadarkan masyarakat dan orang lainnya yang sama seperti pak Ande (melalui kegiatan promosi kesehatan, dan upaya kesehatan lingkungan perumahan), menjangkau penderita lainya yang belum dijangkau oleh pelayanan, kesehatan juga kepastian diagnosa penyakit melalui penegakan diagnosa laboratorium, dan pengobatan yang tepat dan segera, untuk membatasi keparahan penyakitnya dan juga membatasi penularannya.

Sosok Pak Ande yang dilukiskan dalam kasus ini juga manusia, yang mempunyai hak yang sama dengan dengan kita yang lainnya sebagai warga negara untuk hidup sehat dan produktif sesuai tujuan kita bernegara.

Masih banyak Pak Ande di tempat lain di sudut negeri ini yang butuh perhatian dan bantuan. Bantuan memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya, juga bantuan menyadarkan Pak Ande dan yang lainnya yang sudah sakit maupun yang belum sakit atau rentan tertular penyakit TBC melalui upaya kesehatan masyarakat seperti upaya promosi kesehatan dan upaya kesehatan lingkungan perumahan perlu mendapatkan prioritas dalam upaya kesehatan.
Upaya tersebut akan terlaksana dengan baik jika dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terampil, Kebijakan ketenagaan yang berorientasi pada tenaga terampil untuk kegiatan promotif dan preventif dengan pendekatan komunitas kiranya perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius, jika kita tidak ingin banyak orang yang terus jatuh sakit seperti Pak Ande.

Selain itu, upaya pengobatan yang teratur bagi yang telah jatuh sakit dan penegakan diagnosa sangat penting untuk dilakukan, supaya mereka yang sakit TBC sembuh dan tidak menjadi sumber penyakit bagi yang lainnya.

Sederetan poster lambang partai politik dan wajah para calon anggota dewan yang terhormat dari pusat sampai daerah, yang dilem rapi menutupi lubang pada diding rumah Pak Ande kiranya menjadi setitik harapan akan masa mendatang yang lebih sehat, dengan lahirnya kebijakan daerah baru yang mungkin dalam bentuk rencana aksi daerah untuk penanggulangan TBC.

Sehingga Pak Ande bisa kembali bekerja normal, dan membiayai keluarganya, dan anaknya dapat kembali bersekolah dengan baik. Apalagi pariwisata adalah masa depan perekonomian kita, sebagaimana arah kebijakan pembangunan , NTT bangkit mewujudkan masyarakat yang sejahtera dalam bingkai NKRI.

Selamat Hari TBC, Kami mendoakan semoga Pak Ande lekas sembuh. (*)

Penulis merupakan seorang praktisi kesehatan lingkungan dari Poltekes Kemenkes Kupang

Editor (+rony banase)