Menjahit Rivalitas di Ruang Duka

Loading

Oleh Marsel Robot – Dosen FKIP Undana

Kupang-NTT, Garda Indonesia | Siapa yang mampu menjahit rivalitas ekstrim calon presiden antara kubu 01 (Jokowi-Ma’ruf) dan kubu 02 (Prabowo- Sandiaga)? Kedua kubu terus menghela belati dan menyerahkan kapak di halaman sejarah. Sementara media sosial sebagai kekuatan ketiga tak pernah redah menghamburkan hoaks hingga suasana horor terus memagut masyarakat.

Pengumuman resmi KPU (Komisi Pemilihan Umum) tanggal 21 Mei 2019 dimenangkan oleh pasangan 01 (Jokowi-Ma’ruf). Pengumuman itu dirayakan dengan demonstrasi anarkis oleh kubu Prabowo-Sandiaga. Bandit-bandit politik ugal-ugalan, dan banyak gara-gara politik yang mengganggu ketenangan masyarakat. Bayangkan, penggerak people power bayaran berusaha copy paste gerakan 1998. Bakar-bakar ibu kota untuk menduplikasi adegan Mei 1998, dan penjarahan serta hasutan melalui media sosial ternyata tidak menyebabkan “akar rumput” (baca, masyarakat) terbakar. Sebab, rakyat pada diam. Kadang melemparkan senyum sinis, lalu berguman, “loh…loh…loh kenapa ni? Persis anak kampung yang merebut daging di pesta kenduri.”

Belakangan ketahuan, para pelaku people power berbayar itu memang kerja dengan kesedihan, tak tulus, atau dilakukan setengah hati. Skema-skema serangan tidak dijalankan sepenuhnya. Demikian, people power berbayar itu hanya gerakan penebus uang receh itu. Karena itu, habis manis sepah dibuang, habis uang segera pulang. Betapa menyedihkan memang, cuma dengan bayaran lima juta rupiah itu, seorang nekat membunuh orang. Keterlaluan, rakyat kecil dieksploitasi untuk melakukan kejahatan. Sudah miskin dipenjara lagi gara-gara diperalat oleh sekelompok orang.

Kini, yang tersisa dan terkesan menyiksa hanyalah spekulasi dari dua kubu. Jokowi terasa gemetaran oleh keterlibatan jenderal purnawirawan yang selama pemerintahannya tidak kebagian kursi di birokrasi atau karena sepak terjang mereka diwanti dan ditertibkan. Datu-datu tua itu kemudian menjadi tengkulak politik kubu Prabowo-Sandi. Sedangkan di kubu 02 (Prabowo-Sandiaga) juga gemetaran. Sebab, satu-satu yang berteriak people power diundang oleh Pak Polisi untuk dimintai keterangan. Situasi kian serem. Masing-masing berusaha mencari jalan untuk selamat. Mereka tiba-tiba menjadi begitu santun, modulasi suara dari teriakan sangar, kini merendah, lembut, lebay, dan maaf-maafan dengan pihak polisi yang sebelumnya dihujat siang dan malam. Sedangkan, arsitek people power diam-diam mulai “cuci tangan” dengan persoalan. Lebih banyak lagi yang mulai bergerilia mencari ventilasi politik, berbalik arah, siapa tahu Pak Jokowi meminta kesediaannya untuk menjadi menteri. Sebab, kadang, rivalitas adalah juga bentuk lain cari muka untuk mendapat jatah jabatan.

Seteru Tersedak di Ruang Duka

Ketika menderasnya arus rivalitas antara dua kubu dan cukong-cukong politik kesurupan, lantas mengancam-ngancam republik yang sudah setua ini, tiba-tiba berita duka datang melanda. Ibu Ani Yudhoyono (Isteri Presiden ke-6 Republik Indonesia) wafat di Singapura (tanggal 1 Juni 2019). Terasa tetes duka jatuh satu-satu di teratak hati setiap orang. Situasi politik pun tersedak seketika. Keadaan tersedot oleh kebutuhan bersedih bersama, kota yang terluka oleh demonstrasi kini ditimpah duka pula. Terasa arus air mata jauh lebih deras menghanyutkan rasa kemanusiaan yang melampaui rasio. Di ruang duka itu, semua orang tertunduk, yang jauh dan yang dekat bertemu dan saling menjamu sedih, diam, sepi, dan reflektif. Semua ini membuktikan bahwa Indonesia adalah bangsa beradab. Urusan kemanusiaan di atas segalanya.

Keadaan itu mengingatkan saya akan ucapan Jaques Derrida ketika memberikan semacam eulogi atas kematian gurunya Emmanuel Lavinas: “Kita memang tidak bisa bercakap-cakap dengan kematian. Sebab kematian adalah diri kita sendiri, ada dalam diri kita sendiri. Maka setiap bahasa yang berusaha membicarakan kematian akan selalu berbatas dengan sebuah ketidakmungkinan. Menembus ketidakmungkinan itu berarti masuk ke dalam diri bersama Yang-Lain” (Taufiqurrahman 2018)

Kematian memang urusan orang hidup. Itulah sebabnya, yang di sini dan yang di seberang, yang berseteru dan saling melempar sungut dipersatukan oleh spiritualitas kematian. Semua orang peduli dan di ruang duka itu tak ada lagi orang jahat. Albert Einstain pernah mewanti, “dunia adalah tempat yang berbahaya untuk dialami, bukan karena orang jahat, melainkan karena orang-orang tak peduli.”

Keadaan itulah yang mengetuk hati Megawati Soekarno Putri yang kerasan berpaling dari Susilo Bambang Yudhoyono datang menyapa, tunduk di bawah tenda duka, berpakaian hitam tanda ikut duka di hari itu. Prabowo memperpendek masa istirahatnya di Austria guna bertemu SBY untuk menyampaikan secara langsung rasa duka cita. Memang, di ruang duka hanya terjadi satu hal yakni sacra innocentia (kenakalan yang diterima dan dimaafkan karena mengandung kehendak baik).

Keadaan ini mengingatkan gurauan puitik Nezahualcoyot raja di lembah maha luas Meksiko:
Di sini pun tak seorang pun hidup kekal
Pangeran pun datang untuk mati
Semua kita harus lanjut ke dunia misteri.
Mungkin kedatangan kita ke dunia ini sebuah kesia-siaan?
Paling tidak kita tinggalkan nyanyian (Children of the Days karya Eduardo Galeano, dalam Warda Hafidz, 2019).

Di ruang duka, rivalitas dan tumpukkan kepentingan menjadi tak berarti. Ketahuanlah bahwa orang Indonesia lebih banyak orang yang beriman daripada beragama. Hasrat insaniah untuk ikut bersedih bersama seakan menjadi kebutuhan kemanusiaan. Akan tetapi, seberapa kuat rasa duka atas meninggalnya Ibu Ani Yudhoyono ini untuk menggerus hasrat kepentingan yang sangar dan diperjuangkan dengan cara berbahaya.

Tentu. Setidaknya menurunkan tensi ketegangan yang terus membara di sekam politik Indonesia. Empat hari berselang setelah wafatnya Ibu Ani Yudhoyono, dua putra SBY ( Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono) menyambangi Ibu Megawati meyampaikan salam Idul Fitri. Mereka diterima begitu ramah dan terasa terpulihkan dari luka politik yang selama sepuluh tahun diderita. Inilah salah satu produksi ruang duka terhadap realitas politik terkini. Rekonstruksi ruang duka pada pelataran politik menghapus rasa dendam antara Megawati dan SBY.

Rintik duka melembabkan hati yang sangar. Setidaknya, suara kencang dan wajah sangar antara dua kubu perlahan landai dan terasa dingin. Keganasan politik dan kebuasan antek-antek meredah dengan dua situasi yang terjadi pada orde sangat pendek itu. Situasi duka setidaknya memberikan kesempatan untuk refleksi akan pentingnya kebersamaan dan persaudaraan. Sedangkan politik hanya bagian asesoris atau sejenis perhiasan hidup yang tidak lebih penting dari kebersamaan. Kedua, memeriksa kemungkinan terburuk mulai tercium jejak gerak dalam remang-remang kerusuhan 21—22 Mei lalu. Ada yang menganjurkan agar pihak polisi mengedepankan perspektif hukum kerukunan dalam menangani kasus kerusuhan.

Inilah orde cuci tangan dan mencari lubang penyelamatan ketika dalang kerusuhan 21—22 Mei 2019 perlahan terungkap. Satu-satu disedot dari kamar belakang rumahnya. Risih, resah, dan tak kerasan berada di satu tempat.

Politik adalah sebuah adegan yang selalu tampil minimal dua tokoh yakni protagon (alias yang kita sukai) dan tokoh antagon (yang kita tidak sukai). Namun, keduanya penting dalam dunia politik. Yang protagon membawa pesan positif dengan cara positif, yang antagon membawa pesan positif dengan cara negatif. Akan tetapi, yang paling dirugikan oleh adegan itu adalah rakyat kecil. Sering dicatut namanya dalam segala hal yang berkaitan dengan politik, sering dieksploitasi dan dimanfaatkan untuk membunuh atau melawan negara. Inilah duka panjang yang dialami bangsa Indonesia. (*)