Soal Salib, Jangan Salibkan Somad

Loading

Oleh Marsel Robot

Kupang-NTT, Garda Indonesia | Memori kita mulai dingin sehubungan kasus video tausiyah Abdul Somad. Ustaz berjuta umat dan konon kondang di kalangan umat Islam itu, belakangan menjadi amtenar di kalangan Kristiani. Pasalnya, ia menimpahkan salib tambahan pada pundak umat Kristiani yang letih lesuh memanggul salib sosial sebagai minoritas di negeri ini.

Salib tambahan itu berupa video tausiyah Somad yang terkesan menyindir patung mengandung atau mengundang setan. Gerakan nonverbal (gesture) Somad jauh lebih getir, ketika ia merentangkan tangan mirip patung Yesus, lalu bertanya ejek “… yang kepalanya ke kiri atau ke kanan itu ya…” Kemudian, disambut tawa umatnya.

Video tausiyah Somad beredar luas di media sosial dan memanen tanggapan dari berbagai kalangan, baik kalangan Kristen maupun kalangan Muslim. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mewanti Somad dengan menggunakan frasa-frasa normatif, “… mengimbau kepada semua tokoh agama. Khusus umat Islam untuk bersikap arif dan bijaksana dalam menyampaikan pesan-pesan agama, menghindarkan diri dari ucapan yang bernada menghina, melecehkan dan merendahkan simbol-simbol agama lain, karena hal-hal tersebut selain dapat melukai hati umat beragama, juga tidak dibenarkan baik menurut hukum maupun ajaran agama…” (merdeka.com, 19 Agustus 2019).

Tak sedikit kalangan Muslim yang menolak cara Abdul Somad bertausiyah. Mereka menilai, Islam adalah agama pewarta damai. Islam hakiki adalah kepasrahan mutlak terhadap kehendak Allah dan siapapun yang pasrah dan tunduk pada kehendak Allah disebut muslimin. Tesis itu mengingatkan saya akan Adnan Aslan (2004) yang pernah menulis: “Islam merupakan kualitas orang-orang yang, terlepas dari agama yang dijalankan, pasrah di hadapan transendensi Tuhan dan tunduk kepada-Nya.

Jika Muslim menilai orang lain, mereka masuk dalam penilain mereka sendiri, karena kata muslim dapat diperluas hingga setiap titik di masa lalu dan setiap titik di masa depan. Inilah revolusi yang diperkenalkan Al-Qur’an kepada sejarah keagamaan manusia dan, dengan demikian, satu revolusi universal: Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad semuanya adalah muslim…Siapa saja di kalangan orang Yahudi dan Kristen serta kaum agama lainnya yang tunduk kepada Tuhan, yang Esa dan satu-satunya, dan secara implisit atau eksplisit tidak menyekutukan Tuhan dengan tuhan lainnya … adalah Muslim.”

Menurut Aslan, dalam Al-Qur’an, Islam bukanlah sekadar sebuah nama yang diberikan kepada suatu sistem keyakinan atau agama, melainkan juga nama tindakan pasrah kepada kehendak Tuhan. Penjelasan ini berpijak pada Al-Qur’an yang menyatakan, “Apakah mereka mencari selain agama Allah? Sementara semua makhluk di langit dan bumi secara sukarela maupun terpaksa pasrah kepada kehendak-Nya (menerima Islam) dan kepada-Nya-lah mereka semua akan dikembalikan (QS Ali Imran (3):83).

Reaksi Kaum Kristiani

Reaksi di kalangan Kristiani pun terdikotomis. Sebagian bereaksi spontan, melaporkan Somad ke pihak kepolisian. Sebagian kaum Kristiani memilih kembali ke dalam gereja dan ke dalam diri. Pendeta dan pastor di gereja-gereja mengingatkan umatnya untuk tidak menggemburkan keadaan dengan menghamburkan kebencian antarumat beragama. Umat Kristiani tidak perlu terprovokasi untuk memercikkan api permusuhan, apalagi meletuskan kerusuhan. Sebab, umat Kristiansi sungguh menyadari bahwa mengikuti Yesus adalah sebuah risiko. Semisal, risiko untuk mencintai dan mengampuni musuh, risiko untuk mengorbankan diri, risiko untuk melawan nafsu, risiko untuk mampu berbagi dalam kekurangan sekalipun, risiko memberikan pipi kira bila ditampar pipi kanan. Persisi yang diingatkan Yesus, “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku (Lukas 9:23; Markus 8:34; Matius 16:24).

Memilih jalan salib (menderita bersama Yesus) berkewajiban mengampuni orang bersalah kepadanya. Yesus menganjurkan dalam risalah radikal, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Matius 5:43-44). Bahkan, dari Kayu Salib tempat tubuhnya dipakukan, Yesus bersuara getar meyerukan, “ Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).

Dalam konteks itulah Ustaz Somad tidak diperlukan meminta maaf kepada kaum Nasrani. Sebaliknya, kaum Kristiani memang tidak memerlukan permintaan maaf dari Somad. Sebab, Somad tidak mengerti apa yang ditausiyahkan. Karena itu, soal salib, jangan salibkan Somad.

Akan tetapi, sebagai warga negara, umat Kristiani mesti meminta kehadiran negara dalam kasus ini. Respon sebagain umat Kristiani yang melaporkan Somad ke pihak kepolisian sesungguhnya bentuk penyampaian hak sebagai warga negara Indonesia. Jalur nomartif yang mereka pilih sesaui dengan konsitusi. Artinya, jika negara membiarkan kasus ini, maka minimal ada dua risiko laten yang hidup dalam negara ini.

Pertama, negara sedang membiarkan rakyat Indonesia yang beragam menjadi hamparan padang rumput kering yang siap terbakar bila terjadi petir konflik. Negara seakan memelihara prahara melalui prasangka-prasangka yang membenarkan klaim-klaim. Dengan demikian, keragaman lebih menampakkan wajah ancaman daripada wajah idaman.

Kedua, rezim mayoritas akan bertindak melampui negara atau konstitusi. Artinya, tekanan sosial-mayoritas menjadi kebenaran yuridis. Dua faktor itu terus-menerus menggerus kualitas solidaritas kebangsaan negeri ini. Kita menjadi masyarakat yang amat rentan dengan perbedaan. Bahkan akan dampaknya sangat luas terhadap kehidupan negara. Hans Kung menulis: without peace between religions there will be no peace between nations (Sugiharto, 200:144). Keadaan itu pula yang mengundang kurcaci-kurcaci asing mengganggu ketenangan kita.

Agama, kemudian menghalangi orang berkomunikasi secara alami sebagai manusia ciptaan Tuhan. W. Cantwell Smith (Aslan, 2004) mengatakan, gagasan agama sesungguhnya dapat menjadikan musuh bagi kesalehan. Apakah semacan risiko keragaman, atau sebagai isyarat tak tulusnya hidup bersama dalam perbedaan. Bukankah agama hanya intrumen yang membantu manusia pasrah kepada-Nya secara total.

Ustaz Muhammad Heba di Ntaram (pedalam Flores) pernah mengingatkan saya dengan potongan tamzil ini, “… agama hanya jalan dari empat mata angin. Anda menempuh jalan dari selatan. Saya menempuhnya dari utara, yang lain menempuhnya dari timur, ada juga yang menempuhnya dari barat. Tak seorang pun yang mampu membedahkan keindahan keempat jalan itu. Sama indahnya, karena sama-sama menuju yang satu itu yakni Allah…” (Robot, 2008).

Sebagai warga negara Indonesia harus menjadikan Pancasila sebagai jalan hidup bersama. Sedangkan agama pilihan jalan masing-masing menuju Allah. Keharmonisan sosial dipandang lebih tinggi nilainya daripada kebebasan berbicara. Karena itu, kasus Somad sesungguhnya mengingatkan negara bahwa kehidupan sosial keagamaan masih memerlukan kurikulum penyiaran dan pengajaran yang mengakomodasikan kebutuhan paham-paham pluralisme.

Gereja, Masjid, atau tempat ibadah lainnya harus menjadi pembawa cahaya pluralisme demi kemuliaan kemanusiaan. Mengajar agama dengan cara menjelekkan agama lain, atau Agama dipakai sekadar baju sosial untuk menista agama lain adalah bentuk kekafiran orang beragama. Bukankah keragaman adalah rahmat yang juga dilimpahkan Tuhan kepada kita? Atau kita sedang mengusir Tuhan di antara kita, seperti gurauan Baudrillard, “Allah telah diusir. Spectres-nya (hantu-hantunya) mengembara di atas gurun postomdernisme.” (*)

Penulis (*/Dosen, Kepala Pusat Studi Kebudayaan dan Pariwisata Undana Kupang)

Editor (+rony banase) Foto oleh kanal73.com