Kupang-NTT, Garda Indonesia | Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional (HPI) ke-110 (International Women’s Day) dirayakan pada tanggal 8 Maret setiap tahunnya, maka Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menghelat sosialisasi Kepedulian terhadap Perempuan dengan tema “Kesetaraan dalam Keluarga, Sumber Daya, dan Kepemimpinan” pada Jumat, 6 Maret 2020.
Baca juga :
Mengambil lokasi di Kantor DPPPA Provinsi NTT Jalan Basuki Rachmat Kupang, kegiatan sosialisasi menghadirkan 3 (tiga) narasumber yakni Pater Yulius Yasinto, Akademisi Unwira Kupang; Pdt. Yandi Manobe, Sinode GMIT; dan Dani Manu dari LBH Apik , serta melibatkan peserta dari Polda NTT, Lanudal El Tari Kupang, Lantamal VII Kupang, Korem 161/WS, Kejaksaan Tinggi NTT, PHDI NTT, WALUBI NTT, MUI NTT, Keuskupan Agung Kupang, Sinode GMIT, Garda Indonesia, International Organization for Migran (IOM) NTT, Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Provinsi NTT, Forkomwil PUSPA NTT, P2TP2A Provinsi NTT, PIA Ardnya Garini Cabang 5/D III Lanud El Tari Kupang, Korcab VII Daerah Jalasenastri Armada (DJA) II, Kartika Chandra Kirana Koorcab Ren 161/Pd IX Udayana, Bhayangkari Daerah NTT, DPD GOPTKI NTT, Dharma Wanita Persatuan Provinsi NTT, dan PKK Provinsi NTT.
Kabid Perlindungan Hak Perempuan DPPPA NTT, Dra. Ita Boekan kepada media ini menyampaikan, tujuan yang ingin menyampaikan kepada kaum laki-laki bahwa peran perempuan saat ini setara dan perlu dilibatkan dalam peran politik, pemerintahan, pendidikan, kesehatan. “Saat ini telah banyak perempuan yang duduk dan berperan dalam legislatif, yudikatif dan eksekutif,” ungkapnya.
Pdt. Yandi Manobe dalam pemaparannya menyampaikan perlu adanya kesetaraan terkait peran yang dimaksimalkan bersama, harus ada ruang komunikasi untuk kehidupan bersama yang baik antara laki-laki ‘suami’ dan perempuan ‘istri’ dalam lingkungan keluarga. “Konteks saat ini kita sedang berbicara tentang kesetaraan dan bukan kesamaan, karena perempuan akan tetap menjadi perempuan dan laki-laki tetap menjadi laki-laki,” urai Pdt Yandi.
Menurut Sekretaris Bidang Hubungan Fungsional dan Profesional Majelis Sinode GMIT, saat ini kita harus memperjuangkan kesetaraan terkait peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan yang dimaksimalkan bersama. “Dalam konteks bekerja dengan risiko besar diambil alih oleh laki-laki, sedangkan pekerjaan dengan risiko kecil dilakukan oleh perempuan, sehingga kondisi ini terus berlangsung hingga saat ini,”ungkapnya.
Sebagai contoh, urai Pdt Yandi, di Sabu Raijua, yang mengiris pohon tuak ‘nira’ adalah laki-laki, sedangkan yang memikul tuak ke rumah adalah perempuan. Contoh lain, sebutnya, yang memasak di rumah adalah perempuan, namun di restoran besar yang memasak adalah laki-laki.
Kondisi ini terus berkembang, dan dalam perspektif agama, laki-laki ‘bapak’ adalah kepala keluarga ‘rumah tangga’. “Lantas sebutan kepala, ketua, pemimpin tak bisa lagi digeser, namun kondisi ini hanyalah administratif dan seharusnya ada ruang komunikasi dan kesepakatan untuk mengelola perbedaan-perbedaan tersebut,” beber Pdt. Yandi dengan ulasan kocak dan rasional sehingga memantik reaksi antusias para peserta sosialisasi Hari Perempuan Internasional ke-110.
Menurut Pdt Yandi, ada 4 (empat) pola yang dibiarkan berbeda agar laki-laki dan perempuan dapat melihat perbedaan antara lain :
Pertama, Pola Pikir, laki-laki dengan pola pikir dan perempuan menggunakan perasaan sehingga kondisi ini seharusnya mampu menghubungkan apa yang dipikirkan laki-laki dan yang dirasakan perempuan;
Kedua, Pola Kerja, laki-laki dengan pola bekerja tunggal dan perempuan dengan pola kerja jamak; sebagai contoh urusan menjaga dan merawat bayi lebih banyak dikerjakan perempuan ‘Ibu’ dan laki-laki ‘bapak’ cenderung hanya membantu seadanya;
Ketiga, Pola Komunikasi, Laki-laki ‘bapak’ cenderung pendiam, sedangkan perempuan ‘ibu’ lebih banyak berbicara. Sebuah penelitian menyebutkan laki-laki berbicara sebanyak 7.000 kata perhari, sedangkan perempuan berbicara sebanyak 21.000 kata sehari. Terkadang komunikasi yang buruk di dalam keluarga yang menyebabkan keluarga membangun komunikasi di media sosial;
Keempat, Pola Ingatan, Laki-laki ‘bapak’ cenderung cepat lupa, sedangkan perempuan ‘ibu’ ingatan sangat tajam.
Pola-pola berbeda di atas, seharusnya dapat dikelola, ujar Pdt. Yandi, karena jika kita mencintai setiap perbedaan, maka hidup ini lebih indah dan berwarna.
Penulis, editor dan foto (+rony banase)