Polemik Panjang Hutan Adat Besipa’e, Intervensi Pemprov & Aksi Heboh

Loading

Kupang-NTT, Garda Indonesia | Polemik berkepanjangan lahan Desa Adat di Besiapa’e Desa Mio, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (T.T.S), Provinsi Nusa Tenggara Timur, menyisakan fakta panjang yang seharusnya menjadi perhatian Pemerintah Provinsi NTT.

Hingga pada puncak polemik saat kunjungan mendadak Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) pada Selasa, 12 Mei 2020, yang menyisihkan aksi heboh ibu-ibu Besipa’e dengan bertelanjang dada di hadapan Gubernur NTT dan rombongan.

Baca juga :

http://gardaindonesia.id/2020/05/15/emi-nomleni-ketua-dprd-ntt-angkat-bicara-soal-aksi-heboh-di-besipae-tts/

Seperti apakah kisah panjang tersebut, mari simak petikan wawancara Garda Indonesia dan Pendamping Desa Adat Besipae, Sherly Asbanu, melalui percakapan telepon pada Sabtu, 16 Mei 2020 pukul 12.00 WITA—selesai :

Garda Indonesia: Salam Sehat Kakak Sherly, bisa disampaikan seperti apakah kisah lahan di Besiapa’e yang saat ini menjadi polemik berkepanjangan?

Sherly Asbanu: Di Desa Mio tersebut masyarakat yang tinggal di situ cukup lama. Dulu mereka tinggal di belakang hutan. Sewaktunya masa kepemimpinan Pak Piet Tallo (saat tersebut menjabat sebagai Bupati T.T.S dua periode 1983—1993, red) mereka memiliki kontrak pemerintah NTT dengan Aussie-Australia. Waktu itu Besipa’e digunakan untuk peternakan, kontraknya dari tahun 1982—1987.

Setelah selesai, pemerintah Australia menyerahkan kembali kepada masyarakat adat yang ada di situ, mereka tidak menindaklanjuti dan mereka lapor ke Pak Gubernur (Ben Mboi masa jabatan 1983—1988, red). Dari pemprov mereka buat perjanjian lagi dari tahun 1987—2012, selama 25 untuk tanah tersebut digunakan oleh pemprov melalui Dinas Peternakan.

Setelah itu, tidak ada perpanjangan kontrak lagi akhirnya masyarakat setempat melindungi Hutan Adat itu dengan membuat pagar keliling. Tahun 2012, pada masa kepemimpinan Pak Frans Lebu Raya (Gubernur NTT ke-7 masa jabatan 2008—2018, red), mereka ingin memperpanjang kontrak tapi masyarakat adat tidak mau sampai mereka dipaksa hingga menurunkan polisi, tentara, pol PP hingga dikepung, tetap pemprov tidak bisa melawan.

Akhirnya pemprov tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Yang mereka tuntut adalah pemprov tidak boleh memakai tempat itu lagi karena setelah dipakai tidak ada perawatan.

Warga Desa Adat Besipa’e di Desa Mio, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (T.T.S), Provinsi NTT

Garda Indonesia: Seperti apakah perlakuan masyarakat Besipa’e terhadap lahan tersebut?

Sherly Asbanu: Itu adalah Hutan Adat yang dijaga oleh masyarakat adat setempat.

Mereka boleh membersihkan rumput-rumput sekitar hutan dan menanam hasil bumi hingga menjualnya, tetapi tidak boleh memotong kayu-kayu yang ada di situ. Dari zaman Belanda, masyarakat sudah menegaskan tentang hutan tersebut, akan tetapi pemprov datang dengan seenaknya.

Garda Indonesia: Apa kapasitas Kakak Sherly bagi masyarakat Besipa’e?

Sherly Asbanu :Tahun 2016, kami dengan masyarakat mengadakan demo di Supul, tambang mangan. Saya saat itu sebagai aktivis tambang dan sebagai pendamping pemilik lahan. Pemilik lahan Hutan Adat itu Nabuasa dan Selan. Sewaktu diminta ke Besipa’e, masyarakat menceritakan semua kepada kami.

Mereka meminta agar OSM memfasilitasi mereka sehingga bisa membuat laporan sampai ke presiden. Karena sampai saat itu dari pemerintah provinsi tidak ada mau duduk bersama masyarakat untuk menyelesaikan konflik tersebut.

Garda Indonesia: Sebenarnya, apa yang menjadi permintaan masyarakat Desa Adat Besipa’e terhadap Pemprov NTT?

Sherly Asbanu: Masyarakat di situ sudah meminta agar hutan tersebut tidak boleh dipakai, apalagi mau menanam kelor karena itu Hutan Adat. Jikalau demikian, maka harus duduk bicara dengan pemilik tersebut agar diserahkan.

Jika menanam kelor dan membuat pabrik maka pohon-pohon tersebut pasti harus dipotong sedangkan pohon-pohon tersebut kalau dipotong dan diambil oleh masyarakat lain akan dimasukkan dalam penjara. Pemotongan pohon-pohon tersebut harus melalui acara adat.

Makanya, saya mengatakan bahwa pemerintah provinsi dalam hal ini Pak Gubernur (Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat [VBL]) harus menyelesaikan secara adat dan harus meminta kepada mereka.

Garda Indonesia: Apakah benar bahwa lahan seluas 3.700 hektar tersebut memiliki 2 (dua) sertifikat?

Sherly Asbanu: Kemarin ada yang mengatakan bahwa tanah tersebut memiliki dua sertifikat. Itu betul.

Bahwa setelah selesai masa kontrak, pemprov secara diam-diam membuat sertifikat dan itulah yang membuat masyarakat tidak mau dan marah. Mereka tidak akan keluar dari tempat tersebut, mereka meminta agar Pak Gubernur jangan datang dan meminta mereka untuk keluar dari tempat tersebut.

Penulis dan editor (+rony banase)
Foto utama (*/istimewa, warga Adat Besipa’e)