Cinta dan Amarah pada Coretan Lembar Diari Terakhir

Loading

Oleh : Lejap Yulianti Angelomestius, S. Fil.

“Anakku…. Tidak puaskah engkau dengan cintaku, tidak cukupkah engkau dengan pengorbananku? Cinta saat mengandung dan melahirkanmu. Berkorban saat merawat dan membesarkanmu.

Apakah aku terlalu jelek untuk kau pandang, dan terlalu jijik untuk kau dekati sebagai ibu? Ataukah aku terlalu rewel untuk kau dengar dan terlalu hina untuk kau kasihi sebagai mama?

Ketika engkau masih kanak, kita punya banyak pengalaman yang menggairahkan untuk di kenang. Kau anakku yang pertama, di mana aku pertama kalinya merasakan sakitnya bersalin. Sakit itu tidak ‘ku peduli tetapi justru membuat aku sangat bahagia dan mencintaimu. Bahkan karena cinta, aku seakan melawan lupa di setiap semua usilmu saat aku lelah.

Masih jelas dalam ingatanku, meski kini aku telah beruban, bahwa di setiap malam kita selalu punya waktu untuk bercerita tentang Tuhan. Dan di saat aku bercerita tentang kebaikan Tuhan itu, engkau selalu berlaku tenang dalam mendengarkan. Bahkan sambil memeluk tubuhku dengan sedikit mendongakkan kepalamu menampilkan tatapan polosmu matamu. Kau pegiat cerita tutur.

Pernah di suatu malam, aku mencoba menggantikan cerita Tuhan dengan cerita dongeng. Eh… kamu malah protes dalam tangis, memukul wajahku dengan gemas, berharap aku harus bercerita hanya tentang Tuhan. Aku terpaksa mengalah dan memulai cerita tentang Tuhan. Kau mendengar cerita itu dengan serius sampai tertidur pulas dengan wajah cantik di dadaku setelah ‘ku tutup dengan kisah pengkhianatan Yudas pada Tuhan.

Kau begitu lucu sayang, begitu manja, dan juga pintar.

Ketika engkau tumbuh dewasa, aku selalu berharap dalam doa agar kamu menjadi anak yang takut akan Tuhan: selalu patuh, dan berbakti pada orang tua. Semuanya itu terus ‘ku lakukan dalam petuah dan nasihat. Bahkan sampai ayahmu telah berpulang pada Sang Ilahi, sampai detik ini di mana kamu telah menganggap aku sampah dan tiada.

Mmmmm…. maafkan aku sayang, aku tidak ingin kita bertengkar melalui curahan ini. Aku hanya mau berbagi cerita. Apakah kamu masih mau mendengarkan aku seperti yang dulu, ketika aku bercerita tentang Tuhan? Apakah kamu masih ingin kita tertawa bersama seperti di meja makan saat kamu harus melahap lengkuas yang disangka daging di malam itu?

Aku tahu kamu marah. Aku tahu kamu kecewa, setelah sertifikat tanah warisan ayah kau balik nama menjadi milikmu dengan cara curang, setelah niatmu mempermalukan dan menakuti ibu dengan membawa polisi dan pengacara untuk memuluskan niat busukmu akhirnya kugagalkan. Mengapa kau gunakan polisi dan pengacara yang gila oleh status dan tumpul dalam nurani. Apakah kalian telah bersekongkol dengan dengkul dan rupiah?

Ah…. Itu terlalu murah dan tumpul dalam kecerdasan rasa dan pikiran!

Tetapi itu tidak penting sayang. Yang terpenting adalah aku ingin kita bercerita dan tertawa bersamamu seperti yang dulu. Engkau memanggil aku mama dan aku memanggil engkau sayang.

Dengan deraian air mata, dan luka yang tertusuk di hati, Glory akhirnya menghentikan coretan penanya. Perempuan separuh tua itu menengadah menatap kejauhan langit tak berbintang di Kota Atambua. Dingin, sunyi tak lagi dihiraukannya. Ia seakan tak bosan pada kegairahan menatap sang jauh.

Memang di saat itu, Tuhan seakan membiarkan dia tersakiti oleh cinta dan amarah: cinta kepada anak darahnya yang terus mengalir, dan marah terhadap sikap penghianat putri sulungnya yang berhati buntung. Masakan seorang anak rahim rela datang dengan pengacara dan polisi, meminta kepada ibu kandung mengatakan salah pada kebenaran dan menyebut tidak sebagai keluarga?

Tangannya masih memegang kuat pena, seakan menjadi pengontrol pada sisi diri yang cemburu. Hatinya seakan berusaha menggerakkan tinta di pena tuk ungkapkan rasa cinta di hati dalam diarinya. Dengan kuat hati, sekali ia menyebut nama Tuhan dan cinta, tangannya kembali lincah menoreh kata pada barisan terakhir lembaran akhir diarinya…

”Cinta itu seperti malam gelap, yang cahayanya lebih terang dari pada fajar, menuntun engkau ke tempat di mana tak seorang pun tahu. Dan di sana, di tempat itu, hanya ada damai yang utuh menjadi keyakinanmu, dan ada jiwa yang tenteram terpatri imanmu. Cinta itulah yang menuntun aku tuk memiliki walaupun di sakiti, tuk mencintai walau ditolak, dan tuk merindukan walau pun tidak dianggap. Cinta itu meninggalkan doa dan harap di jiwa pada anak darahku yang telah kehilangan cinta.”

Tuhan, seandainya memiliki dia adalah dosa biarlah aku menanggung segala kutukan, seandainya mencintai dia adalah salah izinkanlah aku menanggung segala perkara, dan seandainya merindukan dia adalah hal yang tabu, biarlah rindu ini menjadi batu.

Setelah lembaran diari terakhirnya tertulis penuh, ia akhirnya lebih kuat bangkit berdiri meninggalkan letih lesu dalam raga di ranjang. Sebuah bantal kapuk peninggalan suami dipeluknya erat, dan ia pun terlelap dalam tidur dengan jiwa yang merdeka.(*)

Foto utama oleh pixabay