Potret Guru Perempuan dari Flores Timur, Mengenal Ibu Helmi Tukan

Loading

Oleh: Juan Kromen

Sosok muda nan energik, lincah, dan murah senyum ini seperti perempuan-perempuan Lamaholot pada umumnya. Tentu saja, Ibu Helmi, demikian ia biasa disapa oleh anak-anak didiknya juga adalah seorang perempuan yang tangguh. Guru Sekolah Dasar (SD) ini lahir dari keluarga Tukan-Waibalun, pada 29 Juni 1982 dengan nama lengkap Elisabet Wilhelmina Jawa Tukan.

The more you praise and celebrate your life, the more there is in life to celebrate” (Semakin Anda memuliakan dan merayakan hidup Anda, semakin banyak pula hal yang ada dalam hidup untuk dirayakan), demikian kata Oprah Winfrey dalam suatu kesempatan. Ibu Helmi rupa-rupanya mengamini juga nukilan di atas. Betapa tidak, liku-liku dalam kehidupannya disyukuri sekaligus dirayakan sebagai bagian dari proses untuk menempa diri; menjadi pribadi yang lebih baik. Semuanya ia refleksikan dalam bingkai penyelenggaraan ilahi – In Dei Providentia!

Ibu Helmi juga pribadi yang terbuka, ekspresif, dan blak-blakan. Ia pernah merasa gagal ketika kuliahnya terhenti. Di usia yang masih muda, ia melangkah ke jenjang pernikahan. Kini, bersama sang suami tercinta, Arnold Kromen, mereka dikarunia lima orang anak. Hidup memang penuh dengan kejutan. Seiring waktu bergerak maju, pengalaman-pengalaman yang telah lewat adalah guru terbaik yang senantiasa mendewasakan.

Ibu Helmi tak patah arang dalam hal pendidikan. Ia bahkan terpacu untuk meneruskan kuliahnya yang sempat putus. Pendidikan baginya adalah sarana yang membebaskan; bebas dari belenggu kebodohan, bebas dari stereotipe/label perempuan dalam kungkungan budaya Patriarki yang masih bercokol kuat, dan yang paling penting, seorang ibu juga harus mendapat ‘asupan yang bergizi’ untuk isi kepalanya.

Pose bersama warga belajar paket kesetaraan di Desa Nayubaya, Adonara

Bagaimana seorang ibu mampu mempersiapkan anak-anaknya dengan baik jika akses pendidikannya terbatas, sedang ‘sekolah pertama’ adalah di rumah? Tanpa mengesampingkan dan mengecilkan peran ayah, seorang ibu pun wajib mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Sinergi dan atau kolaborasi dari ayah dan ibu yang seimbang dalam rumah tangga, tentu membantu anak agar lebih matang dalam sosialisasinya dengan lingkungan di luar rumah. Jadi, pendidikan dari rumah merupakan formasi awal yang menjadi fondasi bagi tumbuh-kembangnya generasi bangsa.

Dua setengah tahun kuliah di Waibalun dengan mengambil program studi PGSD, Ibu Helmi lantas mengikuti seleksi CPNS dan dinyatakan lulus. Kuliahnya pun ia tuntaskan dan lulus sebagai seorang Sarjana Pendidikan di Universitas Nusa Cendana. Sungguh, semesta benar-benar bekerja – mendukung ikhtiar dan kerja kerasnya. Mestakung: semesta mendukung!

Jika ditanyai ihwal siapa sosok yang paling menginspirasi guru muda dengan segudang kegiatan dan agenda literasi di Flores Timur ini, maka jawabannya ialah sang ibunda tercinta. “Saya selalu berpegang teguh pada pesan Mama, berpikirlah yang baik tentang orang-orang, tak perlu sibuk dengan urusan (privat) orang-orang, dan doa adalah yang pertama lagi utama dalam hidup,” demikian ia menyitir nasihat sang ibunda. Barangkali amalan akan petuah sang ibunda inilah yang menjadi kompas pengarah hidupnya.

Geliat Literasi Bersama IGI

Sebagai seorang ibu dan guru Sekolah Dasar, Ibu Helmi juga terjun dan aktif dalam organisasi yang mengakomodir aspirasi para guru, yakni Ikatan Guru Indonesia (IGI) – Flores Timur. Di dalam wadah organisasi ini, pelan tapi pasti ia mulai menimba banyak pelajaran. Guru di era digital saat ini tentu saja memiliki tantangannya tersendiri. Selain kompetensi, kreativitas juga sangat dibutuhkan dalam proses belajar mengajar, entah itu dalam pertemuan langsung di ruang kelas, maupun secara daring akibat merebaknya virus korona.

Helmi Tukan (keempat dari kiri) saat bersama teman tutor dan peserta di Desa Waibao, Tanjung Bunga

Saat ini, sumber informasi bisa diperoleh dengan sangat mudah melalui internet. Tantangannya bagi para guru ialah, bagaimana mendidik anak sedari dini agar mampu berkembang menjadi pribadi yang kritis. Para guru mau tidak mau, harus terus memacu diri untuk meng-up grade kompetensinya, selaras dengan perkembangan zaman. Selain itu, guru sejatinya tidak hanya berperan sebagai pengajar tetapi lebih dari itu sebagai pendidik. Sebagai pendidik, ia wajib menanamkan nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan pembentukan karakter dan budi pekerti kepada para peserta didik. Ini merupakan tanggung jawab besar yang diemban oleh para guru.

Di dalam wadah IGI, Ibu Helmi pelan-pelan belajar berorganisasi dan memanejemen suatu kegiatan. Seiring berproses di IGI, ia akhirnya dipercaya untuk membidani Gerakan Literasi Sekolah (GELIS). Salah satu agenda GELIS ialah melakukan sosialisasi tentang pentingnya literasi (dan numerasi) di sekolah-sekolah, baik di kota maupun di desa. Bentuk konkretnya ialah dengan melakukan latihan/bimbingan menulis, menghitung, mendongeng, dan memotivasi anak-anak didik untuk mencintai buku (membaca dan berhitung).

Literasi (dan numerasi), tentu saja tidak dimaknai sekadar sebagai aktivitas membaca/berhitung tetapi harus lebih radikal daripada itu, yakni sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, menulis, dan mengkomunikasikan gagasan-gagasan substansial yang ia temukan dari aktivitas membaca/berhitung. Namun, kemampuan itu tidak datang sekonyong-konyong. Ia harus dibangun dan dilatih sejak dini. Salah satu caranya ialah menumbuh-kembangkan ekosistem membaca/berhitung. Pertama-tama dengan mencintai buku dan pelan-pelan melatih anak untuk berani berbicara tanpa merasa ditekan. Literasi juga melahirkan pribadi-pribadi berpikiran kritis. Dengan demikian, persoalan-persoalan yang dijumpai dalam realitas dapat diatasi. Jadi, tujuan dari literasi pada akhirnya adalah membentuk pribadi-pribadi berkualitas, yang di kemudian hari mampu menjadi manusia-manusia pembawa solusi atas pelbagai persoalan kehidupan.

Dua tahun belakangan, Ibu Helmi dipercaya dalam struktur kepengurusan IGI. Kurang lebih setahun yang lalu, ia juga menjadi salah satu utusan IGI Flores Timur bersama Ketua dan Sekretaris untuk menghadiri Rakernas yang diselenggarakan oleh IGI Pusat di Jakarta Convention Center. Tentu saja masih banyak kekurangan dan kendala yang dijumpai dalam geliat literasi di daerah. Beberapa di antaranya ialah akses terhadap bacaan dan infrastruktur (jaringan internet) yang belum merata di daerah. Selain itu, IGI juga mendorong Pemerintah baik Pusat maupun Daerah untuk lebih memperhatikan kesejahteraan kawan-kawan guru honorer.

Helmi Tukan bersama salah satu anggota DPRD Flores Timur membuka kegiatan perdana sekolah paket kesetaraan di Desa Pululera, Kecamatan Wulanggitang

PKBM Watogokok: Menerabas Hingga Pelosok

Berbekal pengalaman berorganisasi yang ia dapatkan dari IGI, Ibu Helmi kemudian menginisiasi terbentuknya Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Wato Gokok, yang saat ini bersekretariat di Balai Desa – Waibalun. Inisiatif ini dilatari oleh empati dan kepedulian Ibu Helmi akan nasib orang-orang muda Flores Timur yang putus sekolah, juga warga desa yang bertekad untuk mendapatkan ijazah kesetaraan. Dari lingkaran IGI pula, Ibu Helmi membangun jejaring dan kerja kolektif bersama para Kepala Desa untuk memberikan layanan pendidikan non formal. Tenaga-tenaga guru di desa didorong untuk menjadi tutor lokal di desa mereka sendiri bagi sesama warga desa, demi menurunkan angka putus sekolah.

Selain itu, warga desa juga dibekali dengan keterampilan seperti pengolahan sampah. Pendekatan berbasis kearifan lokal pun dikedepankan. Ada beberapa bidang kerja dari PKBM Wato Gokok, di antaranya ialah: 1). Bidang Pendidikan Kesetaraan; 2). Bidang Literasi; 3). Bidang Pelestarian Kebudayaan; 4). Bidang Pengolahan Sampah. Diharapkan sinergitas antara ke-empat bidang ini agar geliat perekonomian pun bisa tumbuh dan berdampak pada kehidupan masyarakat desa.

Program-program seperti ini juga diharapkan mampu membangkitkan potensi desa dalam konteks kebudayaan (kearifan lokal). Desa-desa di Flores Timur merupakan lumbung kebudayaan yang sangat kaya, baik itu fisik dan non-fisik. Usaha-usaha kreatif dan inovatif PKBM Wato Gokok ini perlu didukung sebagai ikhtiar untuk membangun Lewotana tercinta. Sudah saatnya orang muda dengan inisiatif dan semangat berkarya seperti ini ditampilkan untuk menginspirasi lebih banyak lagi orang muda. Di mana-mana, orang-orang muda dikenal sebagai pionir perubahan dan agen perubahan (the agent of change).

Helmi Tukan bersama rekan wanita pegiat literasi mengelilingi Flores Timur

Ibu Helmi telah menunjukkan, di sela-sela tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu dan guru, ia mampu membagi waktunya bagi ata ribu ratu. Di tengah cengkeraman pandemi, perempuan hebat ini tetap berkarya untuk Lewotana. Tentu saja masih banyak kendala dan kekurangan di sana-sini. Namun demikian, semangat berbagi inilah yang patut kita timba. Semoga makin banyak anak Lamaholot yang bergerak untuk perubahan.

Menutup tulisan ini, ada sebuah kutipan menarik dari Ruth Bader Ginsburg, seorang pejuang kesetaraan gender dan hak-hak perempuan, yang juga adalah seorang Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat. Ia meninggal beberapa hari yang lalu. Ia pernah mengatakan, “Women belong in all places where decisions are being made… It shouldn’t be that women are exception” (Perempuan berada di tempat di mana banyak keputusan dibuat… Perempuan tak seharusnya jadi pengecualian). Salut untuk kerja-kerja koraboratif Ibu Helmi Tukan bersama tim.

Tetap mendebur !

Rehula dan Lewotana merestui.