Saya Menangis

Loading

Oleh : Iyyas Subiakto

Pagi ini, sudah hampir dua bulan saya merasakan sakit ngilu di pinggul. Sudah di terapi dan diurut, namun tak reda juga rasa sakitnya.

Masalah usaha sudah setahun di tengah pandemi harus bertahan optimal. Ada investasi yang sudah setahun belum bisa berjalan karena pasarnya drop. Keadaan ini cukup berat juga dirasakan karena ada banyak perut yang harus diurus. Bertahan adalah pilihan satu-satunya.

Tapi begitu melihat Jokowi,  tekanan kepada kita tidak ada “Sekulit Ari” kesulitan manusia pilihan ini. Dia tegar, bekerja tanpa banyak bicara, dan jelas hasilnya. Bukan seperti pendahulunya yang cuma prihatin dan mangkrak semua.

Sambil terus mengikuti berita tentang pemerintah di tengah badai pandemi, dan musibah bencana. Pemerintahan kali ini begitu beratnya menanggung semua ini. Belum lagi caci maki tak henti dari oposisi berhati babi.

Mereka tak peduli kondisi, pandemi justru dipinjam untuk amunisi menyerang Jokowi, bahkan musibah pesawat pun sempat mereka jadikan alat menghujat.

Membayangkan Jokowi, dia ibarat berjalan di tengah ranjau. Harus berhati-hati memilih jalan, tapi tatapan ke depan juga diperlukan, belum lagi rakyat kanan kiri yang terus melambaikan tangan dengan  penuh harapan, seolah berpesan, kuatlah Pak Jokowi hidup kami di tangan dinginmu mengurus negeri ini.

Di kesempatan kunjungan meninjau banjir Kalimatan Selatan, kita melihat Jokowi masih sempat membagikan hadiah kepada anak yang menyalaminya. Ini luar biasa, bagaimana dia menata pikiran, hati, mata, dan langkahnya. Terbayang tekanannya.

Mendengar kabar dari Jiran Malaysia dan Filipina yang belum ada tanda kepastian tentang pemenuhan vaksin, bagaimana perasaan mereka. Belum lagi investornya pada lari ke Indonesia.

Sementara kita yang sudah diusahakan vaksin dengan kepastian tetap saja jadi gorengan murahan. Menyoal kualitas, halal, dan seterusnya. Kawan saya ada yang menyoal kalau nanti disuntik lalu mati, saya jawab ya tak apa-apa, wong sebentar lagi juga kau mati, lah usianya kan sudah 65 tahun, yang datang kan cuma dua kematian atau pikun.

Puncaknya adalah perilaku jahanam seorang anggota perlemen yang menunjukkan aslinya, kebanggaannya sebagai anak PKI dia obral murahan. Dendam pribadinya kepada Jokowi sampai menutup nalar nuraninya, bahwa mulutnya didengar jutaan kuping dan dilihat mata rakyat yang kadang langsung percaya.

Penolakannya itu adalah pembangkangan, tapi partainya hanya memindahkan dia dari Komisi IX ke Komisi VII, yang membidangi energi dan lingkungan hidup. Dia bisa redup atau tambah murup. Basah juga di sana.

Bak manusia kehilangan Tuhan, kok rasanya sulit bersyukur dari apa yang diterima. Tapi memang dari angka, Jokowi dipilih 85,6 juta suara, sisanya 68 juta terdiri dari pembenci, tak mengerti, tak peduli. Tapi mereka tetap rakyat yang harus diurusi, dan Jokowi adalah pemimpin sejati yang bertindak dengan dasar hati nurani, bukan pilih kasih dan membenci.

Kondisi ini membuat kita harus bersikap lebih berani kepada musuh-musuh Jokowi, tidak terkecuali. Ada mantan petinggi yang kerap mencuri kekayaan negeri tapi sok suci pakai menasihati Jokowi. Go to hell with you para gali.

Mereka kerap menutupi capaian Jokowi, dan beberapa menteri. Di tengah pandemi Indonesia masih menduduki negara ketiga didunia yg ekonominya bertahan dengan kekuatan prima, ratusan investor mengantre membawa miliaran dollar dan berdampak akan terserapnya jutaan tenaga kerja. Begitu kok diolok-olok makhluk berotak jongkok.

Saya terus mengingatkan kepada anak muda agar mereka waspada kepada “Politisi Tua Bangka” yang hidupnya ditempa oleh lingkungan tak berperikemanusiaan, mereka inilah yang  sedang mengerami keturunannya untuk melanjutkan menguasai kekuasaan.

Jangan beri mereka kesempatan, hadang mereka, karena keberadaan mereka bisa mematikan Indonesia.(*)

Foto utama oleh (*/unsplash/@louiscesar)

Editor (+roni banase)