Masih Gampang Tersinggung? Habis Gelap, Kapan Terbit Terang?

Loading

Oleh: Andre Vincent Wenas

“Hentikan semua ucapan atau tindakan yang dapat menyinggung perasaan sesama saudara sebangsa dan setanah air.” – Joko Widodo, 19 Agustus 2019.

Lagi -lagi soal penistaan agama. Seperti tidak ada lelahnya bangsa ini menyibukkan diri dengan soal yang satu ini.

Apa sih sulitnya untuk membawa urusan agama hanya sebagai urusan privat-vertikal? Alias urusan pribadi dengan Tuhan via kepercayaan masing-masing dengan yang di atas.

Kalau ada yang mau membahas soal agama ya perlakukan saja sebagai diskusi terbatas internal, mau antar sesama penganut agama yang sama atau lintas agama yang berbeda. Khususkan saja sebagai forum dialog lintas iman untuk mereka yang memang terbuka hati dan pikirannya.

Untuk mereka yang tidak mau ikut serta dalam dialog itu ya tidak usah ikutan. Sederhana saja kan? Kenapa mesti dibikin ribet sih?

Negara ya fokus saja dalam soal penegakan hukum, ketertiban serta distribusi keadilan sosial. Siapa pun yang melanggar serta bikin keributan sosial dan ya proses secara hukum.

Sementara ini, kita punya kementerian yang mengurusi soal agama, Kementerian Agama. Ini juga sebagai simbol negara ikut-ikutan dalam soal agama yang seyogianya jadi urusan privat.

Beruntung saja saat ini kita dapat Menteri Agama yang rasional-nasionalis serta punya jiwa kepemimpinan. Tapi itu bisa sampai kapan?

Fenomena seperti Joseph Paul Zhang, Yahya Waloni, Rizieq Shihab, Abdul Somad, Lia Eden atau banyak lainnya masih saja bikin kotor belantika wacana sosial politik. Ya fenomena sosial yang rentan dipolitisasi oleh para petualang politik.

Apa tidak bosan? Berapa besar energi bangsa yang larut percuma hanya untuk mengurusi soal-soal tak berfaedah macam itu?

Masih terlalu banyak urusan lain yang jauh lebih penting untuk diurusi oleh bangsa ini. Pandemi pun bikin situasinya jadi lebih menantang untuk disikapi lewat kekompakan, solidaritas yang ekstra solid dari segenap anak bangsa.

Energi bangsa masih sangat dibutuhkan untuk membawa bangsa ini – bersama bangsa-bangsa lain – untuk pertama-tama keluar dengan selamat dari pandemi ini.

Konstelasi regional dan internasional pun mesti mendapat perhatian, pemikiran serta aksi politik yang adekuat. Negara yang dikaruniai sumber daya alam (SDA) melimpah seperti Indonesia ini membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang juga bermental limpah-ruah (abundant mentality) serta cerdas.

Bukan mentalitas baperan (terbawa perasaan), gampang tersinggung, pikiran kotor serta bersumbu-pendek yang gampang disulut oleh isu murahan.

Masih ada tantangan bersama untuk merawat bumi sebagai rumah bersama (isu lingkungan global), menyudahi berbagai perang dan kekerasan, memperjuangkan skema perdagangan dunia yang jauh lebih adil serta yang bisa membawa kesejahteraan bersama.

Siapa pun, dari latar belakang agama apa pun, sudahlah… hentikan semua ucapan atau tindakan yang dapat menyinggung perasaan sesama saudara sebangsa dan setanah air.

Di Hari Kartini ini, kita masih punya optimisme di penghujung gelap. Asalkan kita tetap mau untuk berjalan beriring bersama. Fakta perbedaan (kebinekaan) itu adalah realitas kebangsaan kita.

“Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita, lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam.” – R.A. Kartini

Kapan terang itu terbit? Segera setelah kita semua membuka mata hati.

Rabu, 21 April 2021

Penulis merupakan Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB)

Foto utama oleh lpmpriau