Manajemen RSUD Gabriel Manek Sesalkan Sikap Arogansi PMKRI Belu

Loading

Belu-NTT, Garda Indonesia | “Kami, rumah sakit siap menerima keluhan apa pun dari pelanggan yang menerima pelayanan. Tapi, kita harus datang dengan sopan, baik – baik, tidak usah nada tinggi untuk menyelesaikan persoalan. Apalagi, ini ‘kan bawa nama organisasi (PMKRI,red.), alangkah baiknya bersurat,” ungkap Direktris Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mgr Gabriel Manek, SVD Atambua, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dr. Batsheba Elena Corputty, MARS dengan nada sesal ketika dikonfirmasi wartawan pada Sabtu sore, 24 April 2021.

Baca juga : http://gardaindonesia.id/2021/04/23/diduga-bocah-28-tahun-jadi-korban-malpraktik-rsud-gabriel-manek/

Direktris Elena Corputty menjelaskan, setelah adanya dugaan malpraktik terhadap pasien bocah Gamaliel Salomo Pobas yang terjadi pada Kamis, 15 April 2021, dirinya dicari tiga kali oleh Ketua PMKRI Cabang Belu bersama sejumlah anggota pada Jumat, 16 April; Senin,19 April; dan Selasa, 20 April 2021.

Pada saat itu, Elena Corputty mengaku, pada tiga hari berbeda itu, dirinya sedang menghantar donasi ke Malaka, rapat internal di Ruang Direktris dan mengikuti Musrenbang RKPD di GOR L.A Bone Atambua. “Secara struktur, kalau saya tidak ada, bisa ketemu KTU atau kabid. Saat mereka bertemu ibu KTU, mereka paksa untuk telepon saya. Akhirnya saya ditelepon, tapi saya tidak angkat karena bapak wakil sementara bicara. Mereka terus memaksa untuk kasih kepastian kegiatan di GOR selesai jam berapa. Mereka bilang, kalau tidak bertemu saya jam 12, maka mereka akan datang lagi dengan jumlah yang lebih banyak dan melakukan tindakan anarkis,” cerita Direktris Elena Corputty.

Bahkan, lanjut Elena Corputty, di hadapan KTU, anggota PMKRI mengancam akan merusak fasilitas RSUD apabila keinginan untuk bertemu direktris tidak terpenuhi. “Ibu KTU telepon beritahu saya. Kalau ada ancaman seperti itu, kita lapor polisi. Setelah dilaporkan, polisi kasih nomor kontak dan berpesan, kalau mereka anarkis segera kontak,” ujar Elena Corputty.

Pada hari yang sama,  sekembalinya Elena Corputty dari GOR, pertemuan pun digelar sekitar pukul 13.00 WITA, dengan diawasi secara ketat oleh tenaga sekuriti RSUD. “Mereka bilang, kami sudah tunggu 20 menit, kami tidak dihargai. Omongnya juga dengan nada tinggi. Mereka tanya saya tentang manajemen pelayanan, saya sampaikan. Dokter Mega juga menjelaskan. Tim kerja yang hadir saat itu mau menjelaskan, tapi mereka bilang ‘lu siapa?’, lu diam! Ngomongnya tidak sopan. Saya bilang kalau datang di orang punya rumah omong baik – baik, tidak usah pakai nada tinggi. Malah mereka bilang, ini bukan rumah pribadinya direktur. Saya bilang, memang ini bukan rumah pribadi direktur, tapi kami yang bekerja di sini merasa, ini rumah kami. Ngomongnya kasar, pakai tunjuk – tunjuk. Itu, Okto yang jawab – jawab saya. Mereka tidak menghargai orang tua bicara, sekuriti sudah tahan – tahan dari awal. Sekuriti tidak terima, makanya sekuriti banting kursi. Itu yang mereka bilang diintimidasi,” aku Elena Corputty.

Kepala bidang Pelayanan, Sipri Mali juga menjelaskan, pada Jumat 16 April 2021, dirinya yang menerima Ketua PMKRI, Okto Tefa dan dua anggota di ruang kerjanya. Saat itu, Sipri Mali merasa lucu saat mendengarkan penyampaian Ketua PMKRI terkait kondisi telinga bocah Gamaliel Pobas. “Saya tertawa karena pak Okto bilang, setelah orang tua bawa anaknya periksa di Sito Husada, dokter senter dari sebelah tembus di sebelah, lihat ada batu di dalam. Saya tertawa, ada ilmu baru. Saya bilang pak Okto, saya bukan dokter, tapi saya tanya dulu dokter di sini. Apa benar senter telinga bisa tembus? Saat itu Okto langsung diam,” kisahnya.

Ketika ditanya Okto, kenapa dokter tidak merawat – inapkan bocah Gamaliel?, cerita lanjut Sipri Mali, alasannya ada dua kemungkinan, dokter memberikan resep obat untuk rawat jalan dan dokter memikirkan risiko terjelek bagi anak di masa Covid.

Selanjutnya, sesuai salinan klarifikasi yang diterima wartawan, dr. Mega menguraikan, pasien anak atas nama Gamaliel Salomo Pobas yang mengeluh sakit telinga, dihantar orang tuanya ke IGD RSUD Atambua, pada Kamis malam, 15 April 2021, tepat pukul 21.30 WITA. Orang tuanya sudah memeriksa menggunakan senter di rumah dan melihat seperti ada batu di kedua liang telinga.

Sesuai prosedur, dua perawat mengukur tanda – tanda vital pasien, laju denyut nadi 115 kali per menit, laju pernapasan 24 kali per menit, suhu aksila 36,7 derajat Celsius, saturasi oksigen 94,4 dan berat badan 10 kg. Perawat mulai memeriksa bocah itu di Ruang Triase, menemukan cairan minyak yang dioles orang tuanya semasih di rumah, bukan batu seperti yang disampaikan orang tua pasien.

Pemeriksaan dilanjutkan oleh dr. Mega yang bertugas jaga IGD malam itu dengan menggunakan alat periksa telinga (otoskop), setelah terima laporan dari kedua perawat. Pasien diperiksa dalam keadaan digendong ayahnya. Hasilnya, tidak ditemukan batu; membran timpani utuh; dinding telinga tampak merah (iritasi); dan sisa minyak di ujung corong otoskop. Dokter Mega melihat ada infeksi sehingga menulis resep obat tetes dan diserahkan ke orang tua pasien untuk membeli di apotek.

Akan tetapi, orang tua pasien yang melihat telinga anaknya telah berdarah, menuduh dr. Mega telah melukai telinga anak itu dengan memasukkan otoskop, yang disebut orang tua bocah itu sebagai jarum.

Mega dan kedua perawat berusaha meyakinkan orang tua pasien sembari menunjukkan otoskop, bahwa alat itu terbuat dari plastik, bukan benda tajam sehingga tidak mungkin melukai telinga anak. Orang tua pasien tidak mau terima penjelasan, marah – marah dan akhirnya ditinggalkan dr. Mega untuk periksa pasien gawat lain di IGD.

Seorang perawat pria yang datang untuk memeriksa ulang dengan otoskop dan membersihkan darah di telinga pun tetap tidak diizinkan orang tua pasien. Bahkan, orang tua pasien mengancam akan melapor. Perawat pria itu pun mempersilakan, jika berniat melapor sembari berkata, “kalau bapak mau lapor, silakan lapor sekarang, jangan tunggu sampai besok!”.

Ancaman melapor itu pun diungkapkan ibu pasien sambil menunjuk ke arah dokter lain yang berada di ruangan IGD itu. Diajak berulang – ulang untuk tenang oleh petugas malam itu dan dibantu sekuriti agar anak itu dibawa masuk lagi ke Ruang Triase untuk pemeriksaan lanjut, tetapi ditolak.

“Kami tidak mau lagi di sini, kami mau ke RS Sito Husada. Kalau andainya di Sito ditemukan batu, kami mau tuntut. Perawat baju biru itu bodoh!” ujar Ibu bocah Gamaliel Salomo Pobas. (*)

Penulis + foto: (*/ Herminus Halek)