Status WNI Helio Caetano Moniz Palsu? FKPT2 Bikin Laporan ke Polres Belu

Loading

Belu-NTT, Garda Indonesia | Forum Komunikasi Pejuang Timor–Timur (FKPT2) Kabupaten Belu melaporkan Helio Caetano Moniz De Araujo atas dugaan pemalsuan status kewarganegaraan Republik Indonesia, ke Polres Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Jumat, 30 April 2021.

Salinan surat laporan yang diterima Garda Indonesia, menyebutkan identitas terlapor atas nama Helio Caetano Moniz De Araujo; Jenis Kelamin Laki – laki; Tempat tanggal lahir Tilomar, 21 – 06 – 1972; Alamat Jln. MT. Haryono, RT 008, RW 003, Kelurahan Tenukiik, Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu; Pekerjaan: Pengacara.

Selanjutnya, Helio Caetano Moniz De Araujo diduga bukan Warga Negara Indonesia lantaran telah mengikuti program repatriasi pengungsi Timor – Timur, dengan mendaftarkan diri di SATKORLAK repatriasi atau pemulangan pengungsi ke Timor Leste pada September 2001. Dengan demikian, tegas isi laporan, secara otomatis Helio Caetano Moniz De Araujo telah melepaskan kewarganegaraannya sebagai WNI dan telah menjadi Warga Negara Timor Leste.

Dugaan itu, ulasan lanjut surat laporan, diperkuat dengan kejadian tahun 1998—1999 di Timor–Timur, Helio Caetano Moniz De Araujo ikut terlibat aktif sebagai aktivis pro kemerdekaan, menolak opsi otonomi yang ditawarkan pemerintah RI, bertindak selaku orator dari pihak pro kemerdekaan dan pernah menyampaikan kata–kata berikut:

  1. Mate ka moris ukun rasik an (mati atau hidup berdiri sendiri/ Timtim merdeka);
  2. Mate ka moris duni bapa sai (mati atau hidup Indonesia harus keluar dari Timtim);
  3. Han fatuk han ai ami ukun rasik an (biar makan batu makan kayu, Timtim berdiri sendiri/ merdeka);
  4. Ami la butuh supermi (kami tidak butuh supermi).

Sementara, seperti digambarkan dalam laporan itu, saat ini Helio Caetano Moniz De Araujo berdomisili di wilayah negara RI, memiliki KTP dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) 5304122106720001.

Laporan ini juga dilakukan atas dasar, seperti diberitakan media online Kilas Timor, 23 April 2021, Helio Caetano Moniz De Araujo bertindak selaku Kuasa Hukum perkara tanah hibah Haliwen, melawan kebijakan pemerintah dan menggugat Gubernur NTT sebagai tergugat 1; Bupati Belu sebagai tergugat 2; Pertanahan Kabupaten Belu sebagai turut tergugat 1; Ketua DPRD Provinsi NTT sebagai turut tergugat 2; dan Presiden Republik Indonesia sebagai tergugat 3.

“Untuk itu, FKPT2 mempertanyakan status kewarganegaraan yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan Warga Negara Indonesia, maka kami keluarga besar FKPT2 melarang keras untuk melawan kebijakan pemerintah, karena kebijakan tersebut untuk melayani masyarakat,” tekan isi laporan yang meminta kepada Kapolres Belu melalui surat yang ditandatangani Agustino Pinto, S.IP selaku ketua, Ruben E.F. Goncalves selaku wakil ketua, Dominggos F. Guterres, S.IP selaku sekretaris, agar segera memanggil terlapor untuk dimintai keterangan terkait status kewarganegaraannya.

Jika terbukti yang bersangkutan bukan warga negara RI, maka segera diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. “Apabila Polres Belu tidak segera proses kasus  tersebut, maka kami tidak bertanggung jawab atas hal yang akan terjadi,” akhir isi laporan dengan tembusan ke Presiden RI di Jakarta, Kepala Badan Pertanahan Nasional di Jakarta, Gubernur NTT di Kupang, Kapolda NTT di Kupang, Danrem 161 Wira Sakti di Kupang, Ketua DPRD NTT di Kupang, Ketua DPP FKPT2 di Kupang, Bupati Belu di Atambua, Dandim 1605 Belu di Atambua, Kajari Belu di Atambua, dan Helio Caetano Moniz.

“Tadi (kemarin,red) kami sudah antar surat itu ke Kapolres. Tapi, Kapolres sedang vicon ( video conference) dengan Kapolda NTT. Kami diarahkan bertemu Kasat Intel, dia bilang masalah seperti ini menjadi wewenang Kapolres. Jadi tunggu hari Senin (3 Mei 2021,red), kami antar lagi ke Kapolres. Setelah Kapolres disposisi baru mereka tindak lanjut,” ungkap Ketua FKPT2 Agustino Pinto kepada Garda Indonesia, pada Jumat malam, 30 April 2021.

Forum Komunikasi Pejuang Timor–Timur (FKPT2) Kabupaten Belu, Agustino Pinto

Helio Caetano Moniz De Araujo, ketika dikonfirmasi Garda Indonesia via sambungan telepon pada Sabtu petang, 1 Mei 2021 pukul 15.24 WITA  menjelaskan, ia datang ke Indonesia sejak tahun 1999 dan berdomisili di Desa Kletek, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka.

Pada tahun 2001, ada upaya rekonsiliasi antara pihak pro integrasi dan pro kemerdekaan, khusus Kabupaten Kovalima. Ia pun mendirikan Forum Rekonsiliasi Covalima (Forma) dan ditunjuk secara resmi oleh para tokoh Covalima sebagai Koordinator Umum.

Pada bulan September 2001, ia masuk ke Covalima sebagai koordinator umum dengan menggunakan paspor WNI untuk memastikan semua yang kembali, diberikan hak – haknya, tidak dianiaya dan tidak dilakukan diskriminasi politik. Setelah semuanya dipastikan mendapatkan hak, ia pindah ke Dili untuk mencari pengalaman kerja yang berhubungan dengan rekonsiliasi di UNTAET.

Ketika dirinya berada di Dili, ia mendaftarkan diri ke KBRI sebagai Warga Negara Indonesia, penduduk Timor Leste dengan alamat Delta 2. Semua paspor tahun 2001 yang ia miliki dikembalikan ke kantor imigrasi dan alamat Delta 2 Dili, tercatat.

Kemudian, pada tahun 2003, keluar Keppres nomor 18/ 25 tahun 2003, mewajibkan warga Indonesia yang ada di NTT untuk menentukan opsi, menjadi WNI atau WNTL. Karena aturan itu, Helio Caetano Moniz bersama istri memilih kembali ke Indonesia melalui pintu batas Motaain menggunakan paspor tahun 2001, menetap di Desa Kletek dan memiliki kartu kuning.

“Semua lengkap! KTP, paspor, KK, kartu advokat. Semua masih berlaku”, tegas HCM, sapaan akrabnya, ketika ditanya soal identitas kewarganegaraan Indonesia yang dimilikinya saat ini.

Terkait laporan yang akan dilakukan FKPT2 pada Senin mendatang, HCM mengatakan, bahwa melapor itu adalah hak setiap warga negara. “Dicek dulu ke imigrasi tentang paspor saya, tentang saya keluar masuk Timor Leste sejak September 2001. Ada atau tidak, di paspor yang lama? Cap – nya itu kedatangan. Jadi, saya masuk Timor Leste itu selalu dengan paspor. Jangan, sedikit – sedikit main lapor dengan berdasarkan sentimen dan lain – lain. Dan, saya tidak cukup goblok untuk gegabah, untuk bertindak sembarang,” celoteh HCM.

Pada tahun 2001 itu, lanjut HCM, dirinya bekerja untuk membantu program repatriasi  pemerintah Indonesia. Dari segi kemanusiaan, menolong pengungsi empat Kabupaten di Betun (Malaka Tengah,red), yang pada saat itu tidak memiliki tanah dan mata pencaharian. Akibatnya, warga baru mulai membuka lahan kebun di hutan lindung Wemer. Dan akhirnya, mulai muncul perlawanan dari warga lokal dan pihak gereja.

“Maka solusinya repatriasi itu. Bagi yang mau pulang, bagi yang bukan PNS, yang bukan tentara, kita fasilitasi untuk kembali ke kampung halaman untuk hidup secara baik – baik,” tandas HCM. (*)

Penulis: (*/ Herminus Halek)

Foto utama (*/koleksi pribadi)