“Holopis Kuntul Baris” : Identitas Bangsa yang Terlupakan

Loading

Oleh: Yucundianus Lepa, Advisor Menteri Desa PDTT

Ai, tidakkah orang sadar? Bahwa zonder (tanpa) toleransi, maka demokrasi akan karam. Oleh karena demokrasi itu sendiri adalah penjelmaan daripada toleransi. (Soekarno, 17 Agustus 1954). Perbedaan yang timbul, menurut Soekarno dapat merusak semangat gotong-royong yang telah menjadi budaya khas Indonesia.

Menjelang Pemilihan Umum pertama tahun 1955, Soekarno terus-menerus mengingatkan bangsa ini untuk terus menjaga toleransi. Pemilu sebagai implementasi demokrasi tidak boleh menjadi ajang yang menggerogoti gotong royong yang menjadi sendi kehidupan bangsa yang pluralis. Penegasan tersebut memiliki relevansi dengan kehidupan kita saat ini.

Pentingnya toleransi, demokrasi dan gotong-royong dalam kehidupan berbangsa, menjadikan Pancasila sebagai simpul pokok yang memberi arah pada tata nilai, tata laku dan tata sosial. Pancasila adalah filter, Ia menjadi parameter yang sahih dan tak berubah. Oleh karena itu, setiap perubahan yang dihadapi bangsa dan negara dalam hubungan dengan dinamika kehidupan faktual,  akan selalu membawa kita pada pertanyaan, apakah Pancasila masih tetap menjadi filter yang efektif dalam menuntun bangsa ini untuk memilah dan memilih, mengabaikan atau melestarikan, memisahkan atau memadukan setiap elemen perubahan pada titik singgung kehidupan yang terpintal dengan tingkat kerumitan yang semakin tinggi dan sulit terurai?

Banyak fakta menunjukkan bahwa kita semakin limbung bahkan tidak berdaya menghadapi gempuran sistem nilai dalam ekonomi, politik, bahkan ideologi. Azas kekeluargaan dalam ekonomi seolah tidak bermakna ketika diperhadapkan pada ketamakan individu dan kelompok yang dilembagakan melalui konglomerasi dan ranjau-ranjau oligarki. Panggung politik menjadi arena transaksi kekuasaan, dan mengabaikan demokrasi yang membingkai kehendak publik. Musyawarah-mufakat hanyalah himne kepada demokrasi tanpa perbedaan pendapat. Demokrasi mengkultuskan orang perorang dan memberangus kekritisan dan akal sehat.

Sama halnya dengan ideologi. Kita diperhadapkan dengan khilafah, gerakan populisme agama, radikalisme dan terorisme. Kenyamaman kehidupan sosial, menjadi sebuah kemewahan. Kesetaraan warga, terbentur dengan sikap arogan. Kemerdekaan individu, menjadi tidak mendapatkan tempat tumbuh. Demokrasi menjadi kendaraan untuk menyuburkan tindakan-tindakan anti-demokrasi dan ideologi radikal. membawa puritanisme agama yang mengubur toleransi.

Kebebasan berorganisasi diboncengi kelompok fundamentalis yang menjadikan agama sebagai topeng bagi gerakan terorisme. Demokrasi disusupi ideologi khilafah yang menumbuhkan sikap anti-Pancasila, anti-keberagaman dan anti-kemanusiaan.

Individualisme yang Meranggas

Penggerusan tata nilai, gesekan ideologi, yang kita hadapi sekarang akan terus beringas manakala hegemoni individualisme merangsek masuk dan diamini sebagai kehidupan wajar. Semakin kita rasakan bahwa di republik ini, semakin sulit kita temukan tradisi kuat yang menghormati pergaulan secara beradab dalam kehidupan bersama di muka umum antara orang yang tidak saling mengenal secara pribadi. Orang bisa peduli pada lingkungan kehidupannya tetapi sebatas rumah sendiri. Atau sebatas menyangkut keluarga sendiri, kerabat, teman sekerja, rekan seagama, sesuku atau himpunan partai politik. Para pejabat, konglomerat, hanya rajin merawat pribadi dan lingkungannya.

Seperti yang dilukiskan dengan sangat ironis oleh Ariel Hariyanto (Kompas, 11 Februari 2007) bahwa apa yang ada di luar ruang pribadi bukan urusan mereka. Di situ hanya ada hal yang serba menjengkelkan, bahkan mengancam. Di luar itu hanyalah kerumunan pengemis, pengamen, orang kafir, yang mengobral pornografi, debu, kuman flu burung, penggusuran, razia petugas negara, dan kemacetan lalu lintas. Untuk itu, rumah mereka harus dibangun pagar tinggi, dijaga satpam dan anjing galak.

Kokohnya individualisme mengakibatkan menyempitnya ruang perjumpaan antar warga. Kekerabatan dan persaudaraan tak pernah terbangun dan nilai-nilai luhur yang sudah ada tidak lagi dirawat bahkan tidak memiliki tempat tumbuh. Kehadiran teknologi bukan menjembatani interaksi antar-warga di tengah kusutnya ruang publik, tetapi menjadi medan penghujatan, penghinaan dalam absurditas identitas diri.

Carut-marut kehidupan sosial ini mengingatkan kita untuk kembali dan menggali jati diri bangsa Indonesia yang menjadi sumber-sumber nilai yang menjiwai ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya. Tanpa kita menggali lebih dalam nilai-nilai kebangsaan yang lebih hakiki, kita akan terseret oleh arus perubahan dengan aneka interpretasi pada ideologi negara berdasarkan kepentingan orang perorang atau kelompok.

Aktualisasi Gotong-Royong

Gotong Royong bagi Bung Karno adalah jati diri bangsa, nilai luhur dan paham dinamis yang menggambarkan satu usaha bersama, satu amal bersama, satu pekerjaan bersama dan satu karya bersama untuk tujuan bersama-sama. Dalam konteks ini, sebagai bangsa yang memiliki keragaman dalam hal beragama, budaya, suku, ras, juga perbedaan pandangan pada masalah politik dan kemampuan ekonomi. Maka, prinsip dasar gotong royong menjadi kunci pemersatu dalam mewujudkan keadilan sosial.

Dalam bentuknya yang paling sederhana, warga desa berkumpul untuk membersihkan lingkungan bersama. Atau saling membantu menjaga keamaman dan ketertiban dalam perayaan keagamaan yang dilakukan kelompok remaja antar agama. Dalam aktivitas sederhana ini tercipta rasa tanggung jawab individu dalam konteks kehidupan sosial, terbangun rasa saling menghormati, dan tercipta ruang perjumpaan antar warga untuk merajut komunikasi secara berkeadaban dengan suasana kekerabatan dan persaudaraan. Dalam Gotong royong ada ruang interaksi kewargaan, ada rasa senasib sepenanggungan, yang memungkinkan kebersamaan bisa dirajut dalam perbedaan. Banyak masalah sosial seperti intoleransi, timbul karena ruang interaksi antar warga tidak terbangun di wilayah publik.

Sangat membanggakan bahwa capaian NTT dalam menciptakan kerukunan, toleransi, dan kesetaraan melampaui capaian nasional. Berdasarkan laporan Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) pada tahun 2019, NTT berada di kategori tinggi sekitar 80,1 melampaui skor nasional.73,83 . Paling tidak capaian ini dikontribusi oleh tata kehidupan sosial yang masih merawat gotong royong dalam aktivitas kehidupan publik.  Tiga provinsi dengan capaian terbaik adalah Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Bali dengan skor di atas 80 (Kompas, 2 Juni 2021).

Fakta ini menjadi bukti kuat bahwa Holopis Kultul Baris adalah Gelora tentang kebersamaan, toleransi, dan demokrasi yang harus terus dirayakan. Dan oleh karena itu Judi Latif mengingatkan kita bahwa Peringatan Hari Lahir Pancasila semestinya tak berhenti sekadar menangkap abunya, tetapi harus bisa menggali apinya. Menghayati visi dan misi negara berdasar Pancasila dan menjadikan Pancasila sebagai ”ideologi kerja”.

Dalam perspektif demikian, gotong royong seyogyanya ditempatkan sebagai warisan identitas bangsa yang dilestarikan. Demokrasi, toleransi dan gotong royong adalah nilai-nilai dasar itu yang inheren dengan keberadaan Bangsa dan Negara Indonesia. Gotong royong harus menjadi wadah bagi perjumpaan kita  secara personal dan sosial, secara lokal, nasional, dan global, dan, secara historis antara masa lalu, kini, dan yang akan datang.

Dengan gotong royong kita menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama untuk mengembangkan kekuatan-kekuatan internal bangsa, ia solid dalam mengatasi kelemahan-kelemahan bangsa, jeli dalam memanfaatkan peluang-peluang eksternal, serta, tangguh dan progresif dalam menghadapi ancaman-ancaman dari luar. (Inosensius Sutam, Media Indonesia, 1 Juni 2021)

Idealisasi nilai-nilai kehidupan yang dijadikan dasar bagi kehidupan bangsa Indonesia yang maju dan modern tidak selalu berjalan mulus. Kesatuan dan persatuan bangsa dalam keanekaragaman suku, ras, budaya, etnis, tidak bebas dan rentan untuk digerogoti intoleransi dalam kehidupan keagamaan. Dan dalam konteks ini azas gotong royong harus menjadi penangkal individualisme, puritanisme, intoleransi,  yang menggerus nilai-nilai kehidupan sosial. Mari bersama kita gaungkan : Holopis Kuntul Baris untuk Indonesia maju dan sejahtera.(*)

Foto utama (*/istimewa-RT 05 Oeba)