Oleh : Melkianus Nino
Hela Keta adalah sebutan bahasa Dawan Timor yang bermakna “buka jalan”. Hela Keta merupakan tradisi adat istiadat orang Timor di wilayah administratif Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
‘Hela Keta’ sering diartikan oleh tua-tua adat sebagai simbol yang memiliki makna yang besar. Makna yang penting itu, sebagai lambang perkenalan dari hati ke hati. Tradisi adat yang turun – temurun dihelat dengan maksud untuk menyatukan dua insan (laki dan perempuan, red) untuk melangkah ke jenjang selanjutnya.
Penyatuan ini, bermula dari satu kerja sama yang matang yakni kesepakatan di antara orang tua kedua belah pihak. Penentuan kesepakatan sudah diselenggarakan sebelum hari dan tempat perhelatan tradisi adat ‘Hela Keta’ dilangsungkan dengan satu tujuan yang sama, demi jalannya upacara adat ini.
Tradisi adat istiadat Orang Dawan yang satu ini tidak bisa ‘terlewatkan’ begitu saja karena memiliki makna adat yang sangat mendasar dan mendarah daging. Tempat berlangsung prosesi Hela Keta berada di sungai atau kali, di mana tradisi adat dilangsungkan.
Tradisi ini, sudah diawali dengan tahap perencanaan konsep pembicaraan berawal dari adat, gereja dan pemerintah. Ketiga tungku ini, diharuskan sejalan, searah sehingga penuh kesan bermakna.
Tradisi ‘Hela Keta’ akan menjadi cerita baru ketika mengingatkan pada pertemuan para tetuah adat. Konsep yang kompleks, menurut bahasa ibu masing- masing. Entah suku Dawan, Bunak, Tetun, Kemak dan daratan Flores lainnya. Tujuannya agar yang terdahulu (leluhur, red) dapat menyaksikan dari ‘Kegelapan’ serta menyetujui maksud dan tujuan.
Persetujuan yang tidak dengan kasat mata saat binatang (Babi, Ayam dan lainya, red) disembelih sebagai persembahan terlihat pada urat nadi atau ‘Lilo’ dengan sendirinya dapat diketahui oleh tua adat yang dipercaya. Pembiasaan ini, sudah menjadi satu garis yang tidak terpisah-pisahkan.
Tradisi adat ‘Hela Keta’, sering dilangsungkan di sungai yang memiliki air mengalir, sebagai arti untuk melepas semua masa lalu sehingga jalan menjadi terbuka. Saat darah binatang yang disembelih ‘berderai’ yang pertama dan utama yakni dibuang pada air sungai yang mengalir, dengan maksud membuang semua keluh-kesah, kebimbangan, kebencian serta masa yang lalu. Biarkan terbawa arus air .
Tulisan ini, berangkat dari kehadiran pantauan jurnalis Garda Indonesia, saat menyaksikan perhelatan tradisi ‘Hela Keta’, bertempat di Sungai Ekafalo – Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Perhelatan upacara ada ‘Hela Keta’ dihadiri oleh kedua keluarga besar serta undangan lain. Beragam pertanyaan akan ‘membenak’ bakal turut keheranan mengikuti irama di tradisi adat ini.
Tradisi ‘Hela Keta’, akan menjadi satu-kesatuan yang tak dapat terpisahkan karena telah menganut satu pepatah ‘ Tak kenal maka tak sayang’. Pepatah yang sudah menjadi populer dan tampak di situasi adat ‘Hela Keta’.
Cenderung akan menjadikan satu suasana yang hikmah, juga indah. Keindahan tampak dari selembar Selendang Tunbaba dijadikan pengalungan cinta. Niscaya kerinduan dari kedua keluarga besar akan menjadi cerita yang tak terlupakan di momen ‘Hela Keta (*)
Penulis merupakan Pegiat Literasi dan Jurnalis
Foto utama (*/istimewa koleksi pribadi)