Oleh : Denny Januar Ali
RA Kartini sudah menulis sebelum tahun 1911. Di tahun itu, kumpulan suratnya diterbitkan menjadi buku “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Bung Karno sudah menulis di tahun 1917—1925. Tulisannya di era ini kemudian dibukukan dengan judul “Di bawah Bendera Revolusi.”
Para penulis sudah hadir di Indonesia sejak tahun 1911, 1917, seratus sepuluh tahun lalu. Indonesia pun sudah merdeka sejak tahun 1945, 76 tahun lalu. Pertanyaannya, mengapa tak kunjung hadir asosiasi penulis yang bertahan sejak lama di Indonesia?
Bukankah sudah hadir asosiasi kedokteran (IDI, berdiri tahun 1950)? Sudah lebih 70 tahun, asosiasi kedokteran tetap hadir hingga sekarang. Bukankah juga sudah hadir asosiasi arsitek indonesia (IAI, lahir tahun 1959)? Asosiasi arsitek ini juga hadir dan bertahan hingga sekarang, 62 tahun sudah.
Tapi mengapa tak ada asosiasi penulis yang hadir setua IDI atau IAI di atas?
Gus Dur pernah menyatakan. “Mengurus seniman lebih susah ketimbang mengurus negara.” Apakah karena penulis juga orang seperti seniman, susah diurus, sehingga susah membuat mereka berada dalam satu asosiasi dalam waktu yang lama?
Kritik Gus Dur tentu tak berlaku untuk penulis di luar negeri. Di Amerika Serikat, sudah berdiri dan masih berdiri asosiasi penulis bernama: The Author’s Guild.”
Organisasi ini sudah berdiri sejak 1912. Ia bertahan sudah lebih dari 100 tahun. Yang menjadi anggota antara lain mereka yang pernah menerima hadiah Nobel, Pulitzer dan National Book Awards.
Tapi untuk penulis Indonesia, bisa saja kritik Gus Dur itu berlaku.
Imajinasi inilah yang muncul ketika di akhir Juli 2021 saya menerima dua undangan/ pemberitahuan. Ini undangan dari asosiasi penulis yang sama. Bedanya: yang satu dibuat oleh para anggota yang mengklaim mendapat mandat 25 persen anggota. Mereka menamakan diri “Kelompok Peduli.”
Satu lagi dari Ketua Umum resmi asosiasi itu. Juga berupa undangan dan pemberitahuan. Bahwa undangan kelompok penulis lain itu tidak sah. Ketua umum menjelaskan yang sah adalah Rapat Umum Anggota yang jadwalnya berbeda
Saya sengaja tak menyebut nama orang dan nama organisasi. Karena yang penting adalah Lesson to Learn. Saya menghindari keinginan menghakimi pihak mana pun, dalam esai ini. Kepada rekan yang memberi undangan mewakili “Kelompok Peduli,” saya kirimkan surat dari ketua umum resmi. Tanya saya, “mohon info. Ini saya terima surat resmi dari ketua umum resmi menyatakan “Rapat Luar Biasa Anggota” tidak sah.
Jawaban rekan itu: “Tim hukum kami menyatakan sah pak.” Sementara pihak ketua umum juga punya tim hukum yang membela posisi ketua umum.
“Wah,” ujar saya dalam hati. Dua pandangan yang bertolak belakang masing-masing didukung ahli hukumnya.
Pendidikan S2 dan S3 saya memang ilmu politik dan public policy. Tapi S1 saya di bidang hukum, FHUI. Saya teringat tahun 1982, di semester pertama ketika belajar Pengantar Ilmu Hukum. Guru itu menyitir kutipan yang saya ingat hingga sekarang.
Ujarnya, “Jika dua ahli hukum berdebat, maka akan ada tiga pendapat.”
Itu yang saya temui di asosiasi penulis ini. Ada dua ahli hukum. Tapi keduanya mendukung pendirian hukum dua posisi yang sangat berlawanan. Inikah sebabnya Indonesia tak mampu menghadirkan asosiasi penulis yang bertahan lama?
Di tahun enam puluhan, kita memiliki organisasi penulis yang gegap gempita. Namun mereka dibelah oleh pandangan yang sangat ideologis. Hadir tiga kumpulan penulis sekaligus saat itu. Ada Lekra. Ada Manikebu. Ada Lembaga Kebudayaan Nasional.
Lekta untuk penulis berhaluan kiri. Pendirinya adalah tokoh komunis Aidit dan Nyoto. Anggota yang populer di sana: Pramudya Ananta Toer.
Manikebu bagi penulis yang menganut paham humanisme universal. Yang populer di kelompok ini HB Jassin dan Wiratmo Soekito.
Satu lagi: Lembaga Kebudayaan Rakyat. Ini haluan nasionalis, yang berdiri di belakang Bung Karno. Penulis yang menonjol dalam kelompok ini: Sitor Simorang.
Baik Lekra dan Lembaga Kebudayaan Nasional sangat anti-Manikebu. Inilah era penulis berpolitik, bahkan menjadi alat pertarungan politik. Konflik antara penulis bahkan lebih seru ketimbang konflik politisinya. Jika politisi main kekerasan pula, tapi penulis ini kekerasannya lewat kata. Nafsu saling memukulnya tak kalah garang.
Kini, ketiga organisasi itu sudah sirna. Tapi paham yang diyakini terus hidup dengan aneka modifikasi sesuai zaman baru.
Sudah bagus di tahun 2017 ini berdiri asosiasi penulis. Kesan awal segala hal baik- baik saja. Semua ingin memperjuangkan nasib penulis. Inilah era di mana revolusi informasi semakin membelah dunia penulis. Yang berhasil bersinergi dengan industri film dan TV, sang penulis menjadi triliuner. Sedangkan mayoritas penulis justru kehilangan nilai ekonomis karyanya. Semakin jarang orang membeli buku jika buku itu, Ia bisa dapatkan gratis di internet. Atau substitusi buku itu, bahkan dalam bentuk audio visual bisa ia peroleh gratis di media sosial.
Sungguh para penulis mempunyai niat luhur berhimpun dalam asosiasi untuk memperjuangkan nasib mereka. Bersama mereka ingin mengubah situasi. Tes pertama datang pada para penulis ini. Bagaimana dirimu berhasil mengubah public policy pemerintahan untuk mengubah ekosistem penulis, jika mengurus asosiasimu saja terpecah?
Bagaimana dirimu bisa berhasil meyakinkan pihak luar jika meyakinkan sesama penulis untuk mencari titik temu saja tak bisa?
Yang satu ingin kongres tanggal 1 Agustus. Yang satu ingin kongres tanggal 15 Agustus. Hanya berbeda 2 minggu!
Mengapa 2 minggu saja tak bisa dikompromikan? Apakah dengan 2 minggu itu, misalnya, separuh masalah Covid-19 akan selesai, sehingga seolah ini masalah hidup dan mati?
Apakah dengan 2 minggu itu; ekonomi Indonesia akan baik kembali ke kelas menengah atas sehingga 2 minggu ini vital?
Apakah dunia penulis akan sangat berbeda jika dilaksanakan tanggal 1 Agustus dibanding tanggal 15 Agustus, di tahun yang sama, misalnya?
Seorang teman berceloteh. “Sebagian penulis kita ini sudah berilusi menjadi politisi. Bukan kompromi yang mereka cari untuk kepentingan anggota. Tapi kehendak berkuasanya berlebihan.“
Sebagian lagu menggumam: “Ini sebagian penulis kita berimajinasi menjadi militer model khadafi. Ingin menjajal rasanya mengkudeta pengurus resmi.”
Ada banyak komentar. Tapi dalam hati yang hening; seorang penulis akan bertanya, seperti judul film Asrul Sani di tahun 1969: “Apa yang Kau Cari Palupi?”
“Moral apa yang ingin kau kesankan sehingga memilih memecah asosiasi penulis menjadi dua?” (*)
Juli 2021
Penulis merupakan konsultan politik dan tokoh media sosial.
Foto utama oleh epigram.or.id