Gus Dur Sang Arsitek “Indonesia Rumah Kita Bersama”

Loading

Oleh Yucundianus Lepa (Ketua DPW PKB NTT Periode 2000—2020)

Gus Dur adalah tokoh pluralisme. Sikap, prinsip hidup, dan pandangan serta perjuangannya bagi tumbuh dan berkembangnya pluralisme adalah legacy-nya bagi bangsa Indonesia yang tak terbantahkan. Itulah sebabnya ketika Indonesia kita sebut sebagai “rumah kita bersama” arsiteknya adalah Gus Dur.

Sebagai tokoh yang dikagumi, kharismatik dan disegani, Gus Dur tidak hanya menggagas tetapi bertindak. Banyak keputusan beresiko dibuat. Di tangannya, kaum minoritas merasa nyaman dan kaum mayoritas merasa ikhlas. Pluralisme tidak hanya nyanyian tetapi fakta yang dibangun di atas kesadaran kolektif akan perbedaan. Bahwa perbedaan adalah hal terbesar yang harus dirawat sebagai pemuliaan kemanusiaan.

Mengenang wafatnya Gus Dur adalah menelusuri kembali pemikiran-pemikiran besar – lintas zaman. Pada haul yang ketujuh tahun 2016, Sejumlah tokoh lintas agama membacakan Ikrar Damai Umat Beragama di kediaman almarhum Gus Dur di Ciganjur, Jakarta, pada Jumat, 23 Desember 2016. Ikrar disampaikan untuk mengingat pesan kedamaian dan perayaan atas keberagaman yang kerap disampaikan almarhum Gus Dur semasa hidup. Acara haul tersebut dihadiri Presiden Joko Widodo sejumlah pejabat negara, negarawan, budayawan, dan tokoh lintas agama.

Sikap, pandangan hidup dan perjuangan Gus Dur, mengingatkan kita pada catatan penting filsuf Ernest Renan tentang negara bangsa. Bahwa negara  bangsa (nation state) adalah satu jiwa, satu prinsip rohani. Yang satunya di masa lalu dan yang lainnya di masa kini. Yang satu adalah kepemilikan bersama kenangan-kenangan yang kaya, yang lainnya adalah persetujuan aktual, kehendak untuk hidup bersama, kehendak untuk terus menilai warisan yang dianut semua orang bersama-sama (Ernest Renan, Imagined communities, 1964).

Pemikiran Renan ini masih terasa resonansinya dalam sekat kehidupan negara bangsa hingga saat ini. Kenangan yang kaya adalah entitas imaginer yang menyatukan kita sebagai sebuah bangsa. Sebaliknya persetujuan aktual, kehendak untuk hidup bersama menguatkan ikrar kita sebagai sebuah negara. Dalam keseluruhan perjalanannya setiap entitas sebagai bangsa sekaligus entitas sebagai negara harus terus dirawat.

Gus Dur sang arsitek hadir dalam simpang pemikiran seperti ini. Kehadirannya memberi arti bahwa sejarah perjuangan, arti kepahlawanan, tidak bisa disederhanakan sebagai artefak yang menghidupi imajinasi bangsa melalui makam para pahlawan. Akan tetapi aktualisasi nilai kehidupan bersama yang harus terus digali, diimplementasikan, karena  ia merupakan persetujuan aktual yang menggerakkan cita-cita bernegara.

Dalam konteks ini ada dua hal esensial yang perlu terus diperhatikan. Pertama, perlu ada tempat tumbuh bagi setiap elemen kebangsaan karena negara kebangsaan adalah kumpulan identitas. Kedua, tidak dibenarkan adanya proses unifikasi yang dipaksakan karena penyatuan tidak sepadan dengan pemberangusan. Jati diri harus senantiasa tumbuh dalam keberagaman sehingga ia menjadi melting point sebagaimana dianjurkan Kallen, dalam Democracy and the Melting Point. Harapannya, antara lain pemerintah berperan membuka ruang publik, atau berlaku adil untuk setiap individu tanpa terkecuali dengan hak-haknya masing-masing.

Dialektika antar-identitas kebangsaan ini berpotensi melahirkan ketegangan yang mengancam bangun kenegaraan. Dengan demikian, Negara harus menjadi rumah bersama yang menjamin hak hidup warganya dalam keberagaman identitas. Pada titik ini, sosok Gus Dur menjadi tokoh  sentral yang memberi kontribusi luar biasa pada tumbuh dan berkembangnya pluralisme sebagai persetujuan aktual berbangsa.

Pluralisme sebagai Legacy

Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki potensi sosial dan kultural yang mampu menjadikannya sebagai bangsa besar. Kebesaran sebagai negara bangsa (nation state) hanya dapat diwujudkan melalui penelusuran intens sosial dan budaya yang sangat bervariasi. Namun, Indonesia sebagai bangsa majemuk bisa hancur berantakan, jika berbagai elemen sosial dengan identitas yang beragam tidak dikelola secara baik.

Kita bangga sebagai negara demokrasi. Kebanggaan ini patut dan beralasan karena pilar-pilar kemajemukan sudah ada dalam tradisi nusantara ratusan tahun silam. Namun, kita juga tidak dapat menampik bahwa ancaman kegagalan sebagai sebuah bangsa majemuk tampak, tatkala perilaku mendeskreditkan kelompok minoritas agama, etnik, ras dan golongan terus berlangsung. Ini sebuah kegelisahan pada ranah kepemimpinan. Dan kegelisahan ini tidak boleh dibiarkan merajalela. Oleh karena itu, peran dominan pemimpin menjadi sebuah kebutuhan saman.

Sebagai seorang tokoh nasional bahkan dunia, Gus Dur memahami kegelisahan itu dan menghadirkan diri untuk memainkan peran dominan di ranah pluralisme. Pemikiran, pandangan,dan  terobosannya mencerminkan keluasan wawasan dan interaksinya dalam lintasan orbit pergaulan tanpa batas. Ada tiga faktor dominan dapat dipergunakan menakar peranannya, mengapa ia begitu tegar mempromosikan pluralisme di Indonesia.

Pertama, keyakinannya pada nilai-nilai universal dalam Islam yang menjamin hak-hak semua warga negara. Islam adalah agama yang mengusung nilai kemanusiaan universal. Kedua, menjunjung tinggi nilai kosmopolitan, bahwa semua individu dan kelompok dalam sebuah negara memiliki tempatnya sendiri, dan paksaan kelompok mayoritas adalah sebuah malapetaka bagi pluralisme dan demokrasi. Ketiga, meyakini dan mengakui akan adanya perbedaan dengan tulus, merupakan faktor yang membuatnya memiliki integritas lintas etnik, agama, ras dan golongan ( John Haba, Suara Pembaruan, 4 Januari 2010)

Melalui jejak digital yang dapat ditelusuri, dalam sebuah makalah berjudul ”Islam and Pancasila: Development of A Religious Political Doctrine in Indonesia” yang disampaikan di seminar internasional di Seoul, Korea Selatan,  pada 1990. Gus Dur menawarkan perspektif radikal tentang Pancasila sebagai doktrin politik religius bagi bangsa Indonesia

Menariknya, Gus Dur lalu memilih demokrasi sebagai satu-satunya sistem politik yang mampu mewujudkan maqashid al-syari’ah tersebut. Bukan Negara Islam, karena bagi Gus Dur, yang terpenting dari negara bukanlah struktur negara, melainkan hubungan kekuasaan dan rakyat di dalam negara tersebut. Dalam bahasa sederhana, yang terpenting adalah fungsi negara dalam mewujudkan visi Islam. Bukan bentuk Negara Islam. (syaiful Arif, Kompas, 20 Desember 2020). Hal ini terjadi karena menurut Gus Dur, negara bukan tujuan (al-ghayah), melainkan sarana (al-wasilah). Selama sarana tersebut mampu mengantar kita pada tujuan, maka bentuk dari sarana itu tidak lagi menjadi persoalan, selama sarana tidak mengkhianati tujuan.

Kondisi sosiologis masyarakat Indonesia dengan latar belakang agama, etnik, ras, dan golongan menjadi pijakan, untuk secara serius dan berkelanjutan membahasakan isu pluralisme dan implementasinya. Nilai universal terhadap penghargaan pluralisme didasarkan pada asumsi akan diferensiasi, yang telah menyatu dengan realitas sosial dan budaya umat manusia, baik setelah dirajut ke dalam sebuah nation state, ataupun tatkala gagasan-gagasan unifikasi berbagai kelompok etnik masih ada pada tataran “imajiner“.

Gus Dur memahami betul bahwa doktrin pluralisme menolak unifikasi paksa segala kekayaan budaya, yang dirajut melalui standar intelektual dan kelembagaan untuk tujuan sempit. Begitu juga pembangunan nasional tidak boleh mereduksi makna dan esensi pluralisme itu sendiri. Kerja besar ini belum selesai, namun gagasan dan keberanian bertindak menjadi legacy yang turut mewarnai sejarah.

Ketokohannya yang Menginspirasi

Hubungan antara agama dan negara atau yang lebih mengerucut hubungan Islam dan Pancasila menjadi pokok pikiran yang terus menginspirasi. Gus Dur menunjukkan secara jelas bahwa sila ketuhanan adalah cerminan dari tauhid. Pemahaman ini dikuatkan melalui Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila oleh Nahdlatul Ulama (NU) dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo, 1983. Pada titik inilah Gus Dur melakukan apa yang dilakukan Soekarno, yakni pribumisasi ide-ide global ke ranah nasional. Dalam perspektif Gus Dur, pribumisasi tersebut dilakukannya hingga ke ranah lokal sehingga Islam membumi dengan budaya nusantara. Pribumisasi nilai-nilai ke-Islam-an ini sekarang terus menguat melalui wacana Islam Nusantara. Sebuah upaya serius untuk meletakkan ajaran Islam di atas budaya nasional sebagai infrastruktur. Ini tentu saja menjadi satu inspirasi baru dalam mempertautkan hubungan agama-negara yang bersifat komplementer.

Di saat berada di puncak kekuasaan sebagai presiden ke-4 Republik Indonesia, Gus Dur mengalami guncangan politik mahadahsyat hingga akhirnya dilengserkan dalam politik “adu kuat”. Sebagai tokoh kharismatik, ribuan Banser NU sedang menunggu komando sang tokoh untuk melakukan pembelaan. Namun, komando itu tidak pernah datang. Kecintaannya pada bangsa dan negara Indonesia, menjadi dorongan tunggal baginya untuk dikorbankan dalam kesia-siaan politik.

Namun politik ala bandit yang melengserkannya dari kursi presiden RI, tidak sedikitpun menggerus kharisma dan adiluhung ketokohannya. Gus Dur tetap dikenang sebagai pahlawan kemanusiaan. Di dalam tangannya yang minoritas merasa nyaman, yang mayoritas pun merasa ikhlas. Karena bagi Gus Dur perbedaan seperti apapun ia harus diberi tempat tumbuh.  Perbedaan merupakan anugerah “kodrati” yang mesti disyukuri dan dipahami sebagai pluralisme sosial atas kemanusiaan manusia Indonesia (A. Nur Alam, Bakhtiar, Jakarta: Kultura. 2008).

Dalam Islam, prinsip ini menjadi bagian dari realisasi semangat rahmatan lil’alamin (menebar kasih sayang bagi semua). Bagi Gus Dur tidak ada monopoli kebenaran politik, karena kebenaran adalah proses dialektika terjadi dari kebebasan berkehendak serta pemikiran bebas manusia.

Sang Fenomenal itu telah wafat dua belas tahun yang lalu. Namun ketokohan dan jasanya tetap dikenang sebagai pahlawan kemanusiaan. Pemikiran inspiratifnya akan terus hidup melampaui batas zaman.(*)